Ketenangan yang biasanya Hagen tunjukkan, kini seolah sirna. Pria itu tampak kehilangan kendali akan emosinya yang mulai memuncak.
Dengan pembawaan yang resah, segera Hagen mengeluarkan ponsel dan menghubungi beberapa pria.Orang kedua yang menjadi tujuan panggilannya adalah Jaxon Bradwood.Dia tidak peduli, apakah Jaxon masih tertidur pulas, karena kepala Hagen hanya dipenuhi oleh kecemasan akan situasi yang dihadapi.Begitu panggilan pada ponsel dalam genggaman tersambung, yang terdengar adalah suara serak Jaxon ketika bangun tidur.“Ada apa kau menghubungi di jam seperti ini?” geram pria itu sembari bersungut-sungut kesal, karena dia paling benci dibangunkan saat terlelap.Hagen yang tangannya bergetar terlihat mengusap wajah dan menyisir rambut dengan satu tangan. Dia menggigit ujung bibirnya hingga terasa amis darah di dalam mulut.“Aku butuh bantuan,” ucapnya, mencoba menekan emosi yang hendakIrene berjalan sedikit tertatih saat keluar dari mobil. Dia memeluk diri sembari menundukkan kepala, menyembunyikan sisa-sisa tangis yang tadinya pecah. Wanita muda itu meninggalkan taxi, dan tidak sedikitpun memerhatikan sekitar. Karena kepalanya dipenuhi oleh rasa kecewa, amarah dan sedih secara bersamaan. Dengan kedua tangan berada di tengah-tengah tubuh, wanita itu pun terus berjalan memasuki halaman sebuah rumah penginapan yang dirinya sewa selama beberapa hari belakangan. Langkahnya pun terhenti di anakan tangga, sedangkan tatapannya yang kosong menatap daun pintu. Cukup lama gadis itu berdiam, sembari sesekali menarik napas dengan mata terpejam sesaat. “Hhh...,” helanya berat. Tampak jelas raut wajahnya dipenuhi pikiran yang berkelebat. Setelah mengambil waktu untuk menenangkan diri, Irene pun melanjutkan langkah kembali. Namun, baru saja dia tiba di beranda, saat pintu di hadapannya terbuka secara tiba-tiba dan menampilkan sosok Hestia yang bermimik marah. “Aku menghub
Pagi itu, Irene yang masih terbaring di kasur dengan mata menatap nyalang pada langit-langit kamar, tampak tenggelam dengan pikirannya. Sejak semalam, wanita muda itu kesulitan memejamkan mata. Dia bahkan harus meminum obat tidur jika ingin terlelap, tetapi malam tadi dia memutuskan untuk terjaga sebagai bentuk penghukuman pada diri. Masih sangat jelas dalam ingatannya, Kata-kata yang Jaxon Bradwood berikan sesaat setelah dirinya diseret ke sebuah ruangan. Jauh dari keramaian pesta di compound. Di sebuah ruangan kedap suara yang diisi enam pria tampan dari Red Cage, Irene dapat merasakan aura kemarahan dari mereka semua. Terlebih lagi, pria bernama Jaxon tampak sangat ingin melumatnya saat itu juga, membuat Irene tanpa sadar menundukkan wajah untuk menghindari mata mereka bertabrakan. “Aku sudah mendengar bahwa kau selalu membuat masalah untuk Camellia,” ucap Jaxon, mengejutkan Irene dengan suara berat baritonnya yang tinggi. Dengan sedikit gugup, Irene pun menatap pria itu seben
Kesadaran Irene kembali sepenuhnya, dan matanya membelalak ketika dia memasuki ruang tengah yang menampilkan sebuah pemandangan mengerikan. Di mana, tepat di tengah-tengah ruangan terlihat Hestia terbaring tidak sadarkan diri di atas lantai. Sedangkan, tidak jauh dari tempat wanita itu, terdapat seorang pria yang berdiri dengan satu tangan memegang senjata api, sementara satu tangannya yang lain berada di saku celana. Saat itulah Irene berteriak keras, dan menarik perhatian beberapa kepala di dalam ruangan. “Sumpal mulutnya, Copper,” ucap salah seorang pria dengan jas hitam formal yang membalut tubuh. Mendengar perintah tersebut, Irene pun mundur ke belakang dengan kepala menatap sekitar. Dia tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, serta alasan mengapa sang Bibi tergeletak di lantai dalam posisi setengah meringkuk dan membelakangi dirinya. Hal itu menyulitkan Irene untuk mengetahui kondisi bibinya saat ini. Oleh karena itu, fokusnya kembali pada pria-pria asing dalam ruanga
Suara bising pembicaraan dari luar sebuah kamar tertutup membangunkan Irene yang saat itu terbaring di atas lantai. Kelopak mata wanita muda itu bergerak hendak membuka, dan ketika suara-suara tersebut semakin ribut, akhirnya Irene dapat terjaga sepenuhnya. Kepala wanita tersebut bergerak pelan ke arah pintu, dan rasa dingin seketika menyergap kulit, membuatnya sedikit menggigil sembari memeluk diri. Tanpa sadar, kedua kakinya pun melipat, hingga membentuk angka lima. “Apa kau yakin mereka akan baik-baik saja?” Terdengar suara seorang pria yang bertanya dari luar pintu. Yang terang saja membuat Irene menajamkan pendengaran. “Tentu, kenapa kau bertanya seperti itu?”Irene mengerutkan dahi ketika mendengar jawaban tersebut. Dia hendak meminta minum, begitu merasakan kering pada mulutnya. Namun, suaranya kembali tertahan saat mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Lebih baik dia mati kehausan, dibandingkan harus bertemu pria-pria dengan senjata yang tidak akan segan membunuh ataupun
Mulut Camellia menganga, tampak terkejut dengan perkataan Irene barusan.Ketika kesadarannya kembali, barulah dia dapat mencerna ucapannya tersebut. Dengan mulut yang membuka dan menutup, serta kelopak mata mengedip pelan, gadis itu terlihat terkejut bercampur tidak percaya. Bahkan, dia sampai kehabisan kata-kata, hingga lidahnya terasa kelu.Sementara itu, Irene yang masih bersandar di dekat kaki kursi tampak tersenyum sinis. Seolah-olah puas akan reaksi yang dia dapatkan. Bahkan, senyumnya semakin lebar, menunjukkan barisan gigi yang rapih dan putih.“A-apa maksudmu dengan … memberitahumu tentang kehamilanku? Memangnya, siapa yang hamil?” tanya Camellia, sedikit tergagap.Dari cara Irene memandangnya, dia tahu bahwa wanita itu berkata sesuatu hal yang benar.Tetapi, mungkinkah?Seketika saja tangan Camellia berontak dari ikatan pada sisi-sisi pegangan kursi. Dia hendak memastikan sesuatu, tetapi rasa tidak percaya mulai menguasai, sehingga tanpa sadar rontahannya semakin kuat hingga
Hagen menelusuri jalanan dengan mobil yang tadi dibawanya di rumah sakit. Dia sengaja berputar-putar ke beberapa tempat, mencari keberadaan Camellia layaknya orang gila. Rasa khawatir bahkan mulai menguasai diri, membuatnya tidak sabar untuk segera menghubungi Jaxon dan menuntut pria itu agar segera menemukan Camellia. Sementara itu, Frank yang berada di sebelah tampak diam sembari mengawasi jalanan dan juga ponsel di tangan. Matanya tampak menatap awas pada sekitar, dan rasa cemas perlahan merangkak ke kepala pria berjiwa tenang tersebut. Ketika ekor matanya mendapati Hagen yang memegang stir kemudi dengan keras, Frank pun ingin menepuk bahu atasannya itu pelan. Namun, dia mencoba menahan diri dan terus mengedarkan pandangan pada sekitar. Di tengah-tengah keheningan yang panjang, tiba-tiba saja ponsel dalam genggaman Frank pun berbunyi nyaring, menarik perhatian keduanya pada benda pipih yang bergetar. Sesekali Hagen melirik ke arah ponsel tersebut, sementara matanya juga mengawa
Suara gemerincing kunci pada pintu di hadapan kedua wanita itu pun berbunyi keras, mengakibatkan Camellia dan Irene yang tadinya terlelap segera terjaga dengan tubuh menegang. Mereka saling tatap, menanti kedatangan para pria-pria di luar sana. Dengan perasaan cemas, Irene yang tadinya setengah terlelap, mencoba untuk beringsut ke kaki kursi dan tanpa sadar merapatkan diri pada Camellia.“A-aku tidak suka ini,” bisik Irene, sembari memegangi ujung bajunya erat, menahan jerit ketakutan ketika sebuah tubuh dari seorang pria dewasa masuk dan berdiri di ambang pintu. Seketika saja kedua wanita itu menahan napas, sedangkan mata mereka menatap lurus pada sosok di hadapan. “Cobalah untuk tenang, dan jangan menarik perhatiannya,” bisik Camellia, ikut merasakan ketakutan yang baru saja Irene tularkan. Gadis muda itu tanpa sadar menundukkan kepala, menatap pada perutnya yang masih datar. Entah apa yang ada di kepalanya tersebut, tetapi jelas sekali bahwa dia juga diselimuti oleh kecemasan.
Suara derap langkah yang semakin ramai mulai memenuhi ruangan, mengakibatkan Camellia dan juga Irene menunggu antisipasi dengan tatapan lurus ke depan pintu. Sementara itu, Copper yang juga menunggu waspada terlihat bersiap-siap hendak melukai Camellia bila terjadi sesuatu padanya. Dia menjadikan gadis muda itu sebagai tameng, dengan memosisikan diri di belakang kedua wanita tersebut. “Kemarilah bajingan,” desis Copper yang semakin menekan moncong senjatanya pada kepala belakang Camellia. “Aku akan menyambut kalian dan membunuh wanita-wanita ini hingga tak bernyawa.”Suara napasnya yang memburu mulai mengisi ruangan, membuat Irene tanpa sadar menggigil sembari melipat kedua tangan dan kaki, menjadikan dirinya begitu kerdil di tengah-tengah ruangan kosong dan dingin itu. Ekor mata wanita tersebut tidak lepas ke arah pintu, sementara hatinya berdoa, siapa pun di sana dapat mengeluarkannya dari perasaan tidak berdaya. Sama halnya dengan Camellia. Gadis itu bahkan merasakan matanya se