Suara gemerincing kunci pada pintu di hadapan kedua wanita itu pun berbunyi keras, mengakibatkan Camellia dan Irene yang tadinya terlelap segera terjaga dengan tubuh menegang. Mereka saling tatap, menanti kedatangan para pria-pria di luar sana. Dengan perasaan cemas, Irene yang tadinya setengah terlelap, mencoba untuk beringsut ke kaki kursi dan tanpa sadar merapatkan diri pada Camellia.“A-aku tidak suka ini,” bisik Irene, sembari memegangi ujung bajunya erat, menahan jerit ketakutan ketika sebuah tubuh dari seorang pria dewasa masuk dan berdiri di ambang pintu. Seketika saja kedua wanita itu menahan napas, sedangkan mata mereka menatap lurus pada sosok di hadapan. “Cobalah untuk tenang, dan jangan menarik perhatiannya,” bisik Camellia, ikut merasakan ketakutan yang baru saja Irene tularkan. Gadis muda itu tanpa sadar menundukkan kepala, menatap pada perutnya yang masih datar. Entah apa yang ada di kepalanya tersebut, tetapi jelas sekali bahwa dia juga diselimuti oleh kecemasan.
Suara derap langkah yang semakin ramai mulai memenuhi ruangan, mengakibatkan Camellia dan juga Irene menunggu antisipasi dengan tatapan lurus ke depan pintu. Sementara itu, Copper yang juga menunggu waspada terlihat bersiap-siap hendak melukai Camellia bila terjadi sesuatu padanya. Dia menjadikan gadis muda itu sebagai tameng, dengan memosisikan diri di belakang kedua wanita tersebut. “Kemarilah bajingan,” desis Copper yang semakin menekan moncong senjatanya pada kepala belakang Camellia. “Aku akan menyambut kalian dan membunuh wanita-wanita ini hingga tak bernyawa.”Suara napasnya yang memburu mulai mengisi ruangan, membuat Irene tanpa sadar menggigil sembari melipat kedua tangan dan kaki, menjadikan dirinya begitu kerdil di tengah-tengah ruangan kosong dan dingin itu. Ekor mata wanita tersebut tidak lepas ke arah pintu, sementara hatinya berdoa, siapa pun di sana dapat mengeluarkannya dari perasaan tidak berdaya. Sama halnya dengan Camellia. Gadis itu bahkan merasakan matanya se
Kaki Hagen berlari cepat hingga memasuki sebuah pekarangan sebuah rumah. Dia bahkan mengabaikan peringatan Frank yang memintanya untuk memperlambat diri di tengah-tengah hiruk pikuk bawahan Jaxon yng tersebar di sekitar halaman. Napas Hagen terdengar memburu, dan jantungnya berdegup cepat, sebelum akhirnya kaki itu pun terhenti di sebuah ruang tamu sesaat setelah matanya mendapati pemandangan darah ada di mana-mana. Dengan jakun naik turun, hingga kesulitan menelan saliva, Hagen pun mengedarkan pandangan pada sekitar; mencari-cari wajah yang familiar. Dan saat itulah dia mendapati Rey Fredrik berada di lorong penghubung ruangan itu dengan ruangan satunya. Mata Hagen yang melirik tepat pada Rey seakan bertanya; bagaimana Camellia? Dan seketika dia pun mendapatkan balasan dengan pandangan sayu yang sama; kemarilah, dan lihat sendiri. Bersama langkahnya yang lebar, Hagen pun mendekat ke arah Rey yang saat itu menaruh kedua tangan pada masing-masing saku celana. “Katakan padaku ...
“Camellia,” panggil Hagen dengan nada suara bergetar, menunjukkan luapan emosinya yang tertahan.Satu tangan pria itu mengusap lembut pipi Camellia, sedangkan satunya lagi menggosok pelan pada permukaan tangannya yang terlepas dari ikatan di pegangan kursi.Tampak Jaxon dan dua bawahannya mencoba melepaskan sisa ikatan yang lain.Tanpa memedulikan sekitar, Hagen memeriksa setiap inci tubuh gadis itu. Namun, yang dia temui hanyalah beberap luka dan memar di sekitar ikatan, juga bekas tamparan di pipi.Melihat hal itu, mata obsidian Hagen seketika menyala. Dia melirik ke arah tubuh tak bernyawa yang berada tidak jauh dari kakinya.Jika saja Copper masih bernapas, dapat dipastikan jantung pria itu berhenti berdetak hanya karena tatapan yang Hagen lemparkan padanya.“Dia sudah tidak bernyawa, jadi berhentilah menatap tubuh kosong itu,” ucap Jaxon tepat di dekat telinga.Kedua pria itu pun saling bertatapan untuk beberapa waktu, hingga akhirnya keduanya kembali sibuk sendiri. Jaxon dengan
Blake Hagen tampak berdiri di depan kaki ranjang dengan kepala menunduk lelah, sedangkan matanya menatap pada satu tubuh feminim yang terbaring lemah tak berdaya di sana. Sudah dua hari dia melakukan hal yang sama, seolah-olah itu adalah satu-satunya yang dapat membuatnya tetap berpikir secara waras. Rasa marah dan kebencian yang selama beberapa hari ini menguasai akal sehat tampak memudar seiring waktu. Meskipun dia tidak dapat memaafkan orang-orang yang berani mengusik Camellia, tetapi setidaknya mereka sudah tertanam bersama cacing di bawah sana. Jika saja Jaxon Bradwood beserta bawahannya tidak datang tepat waktu, mungkin saja cerita hari ini akan berbeda. Dan jauh dalam dirinya, Hagen tahu, bahwa kematian Camellia bisa saja menghitung langkah. Sembari memejamkan mata dan mengangkat kepala, Hagen pun mengusap wajah dengan kedua tangan. Suara tarikan napasnya terdengar sangat berat dan penuh penekanan di dada. “Shit,” umpat Hagen pelan, sembari kedua telapak tangannya menyapu
Camellia tidak mampu berkata-kata. Dia terlihat terkejut dengan lamaran pria itu, tetapi kesadarannya mulai kembali. Terutama saat Camellia menyadari bahwa Hagen tidak sedang meminta, melainkan memberi sebuah pernyataan. Itu artinya, tidak ada pilihan. Sama halnya dengan kehamilannya saat ini.Dengan rasa marah di dada, satu tangan Camellia pun mendarat di pipi pria itu. Hingga terdengar suara keras benturan kulit bertemu kulit, yang menyebabkan suara-suara bergema dan menyebabkan keheningan setelahnya.Tanpa sedikit pun mengusap wajahnya yang memerah, Hagen pun memalingkan kepalanya kembali ke arah Camellia yang wajahnya sangat memerah dengan napas memburu.“Keluar dari kamar ini, sekarang!” jerit gadis itu.Melihat wajah Camellia yang hendak menangis keras, Hagen pun menariknya ke dalam dekapan.Tidak sekalipun dia mendengarkan permintaan gadis itu yang mengusirnya keluar dari ruangan.“Sssshh … maaf kan aku,” bisik Hagen dengan nada rendah dan suara menenangkan.Kedua tangannya mel
“A-aku ….” Beberapa kali Camellia menarik napas sembari terbata saat memberikan jawaban.Gadis itu bahkan menggigit sudut bibirnya, yang seketika saja menarik perhatian Hagen ke sana.Sadar akan apa yang baru saja dilakukannya, Camellia pun melepas gigitan tersebut, lalu, dengan susah payah dirinya kesulitan menelan saliva, hingga pada akhirnya gadis itupun memejamkan mata sembari menghembuskan napas pelan.“Baiklah … ok.”Untuk beberapa waktu, suasana di sekitar keduanya terasa mati.Bahkan, jam dinding pun tampak enggan berdetak, seolah-olah sadar akan ketegangan di dalam ruangan.Ketika Camellia hendak membuka suara kembali, tiba-tiba saja Hagen menaruh satu jemari telunjuknya di bekas bibir yang gadis itu baru saja gigit.Dan dengan gerakan lembut, Hagen mengusap permukaan sensitive yang tampak sangat sensual di manik obsidiannya yang … lapar.“Aku tahu ini sangat tiba-tiba, tetapi yakinlah Princess, aku tidak akan pernah mengabaikanmu ataupun menyakitimu,” bisik Hagen, sebelum ak
Setelah meninggalkan Camellia di kamar perawatan, Hagen pun bergegas keluar dan menemui Frank yang saat itu menunggu di luar pintu. Dengan tatapan sangat pasif, bawahannya itu terlihat menanti antisipasi perintah selanjutnya.Dan benar saja, begitu mata mereka bertabrak pandang, Hagen pun mengeluarkan kata pertamanya setelah dua hari pria itu diam di dalam ruangan Camellia.“Aku ingin pergi ke toko perhiasan,” ucap Hagen, yang seketika mendapat perhatian penuh dari tangan kanannya tersebut. “Kita membutuhkan berlian sebesar telur angsa dan benda-benda berkilau lainnya.”Jelas sekali, hal itu bukanlah apa yang Frank duga sebelumnya.Namun, dengan pembawaannya yang tenang, pria itu pun mengangguk sembari memberikan Hagen jalan.“Aye, Boss.”Baru saja keduanya menelusuri lorong rumah sakit, saat tiba-tiba Jaxon bersama beberapa anggota Red Cage lainnya datang dari arah berlawanan.Tampaknya, mereka memang sengaja menunggu di sekitar. Dan terang saja kehadiran mereka tidak disambut dengan