Mungkin kurang lebih itulah makna dari tatapan tersebut.
Angel kembali terhenyak di saat tatapan keduanya bertemu, Ia tidak menyangka suara dengan ala dengungan nyamuk barusan, telah tertangkap telinga Anggara.Namun, ketika tak mendapat respon lain dan Anggara kembali terfokus pada makan siangnya, rasa takut serta ke khawatiran dalam hati sedikit berkurang."Ambil piring lain." Anggara."Hah..". Angel."Yang polos.." Anggara lagi."Oh...Baik .." Jawab Angel yang sempat terjeda sejenak.Wanita itu dengan cepat menuju ruang kecil di ujung ruang, mengambil piring keramik putih polos dengan ukuran sedikit lebih besar dari yang sebelumnya, serta sepasang sendok dan garpu lagi."In...ni...?" Angel bingung harus meletakkan piring polos tersebut dimana, sebab di depan Anggara telah ada piring sebelumnya dan juga sudah di isi dengan beberapa hidangan. Sebelum Angel menyelesaikan perkataan untuk bertanya, Anggara kembali"Terimakasih." Ucapnya dengan wajah yang masih bersemu merah."Sudah makan siang?." Lanjut Anggara lagi, sambil menoleh kearah Handoko dan sengaja mengabaikan ucapan Angel barusan.Ketika mendengar perkataan tersebut, Angel bukannya merasa tersinggung, justru ia segera berdiri dari duduk, dan hendak mengambil piring untuk Handoko. Akan tetapi, saat melihat Anggara menoleh kearahnya dengan tatapan tajam, wanita itu membeku sejenak dan secara alami melenggangkan tubuh duduk kembali.Entah itu insting atau pemahaman kilat yang di dapat, Angel merasa bahwa sang bos tidak ingin ia bergerak dari sana, atau dengan bahasa lain dirinya harus melanjutkan makanan yang belum terselesaikan.Dengan tatapan tak berdaya wanita itu menatap kearah Handoko sejenak, sebelum akhirnya menunduk kembali melanjutkan makan.Menyaksikan kepatuhannya, wajah Anggara sedikit melunak. Di tambah lagi, ketika melihat punggung Handoko yang berjalan menuju ruang kecil di ujung untuk mengambil piring sendiri, sebuah tari
"Ada apa dengan kalian?, mengapa tidak melanjutkan makan?."Handoko merasa sedikit tidak nyaman ketika menyaksikan ketertarikan diantara keduanya. "ketertarikan" setidaknya itulah bahasa yang terlintas di benak pria tersebut, yang menyebabkan rasa tak nyaman dan terancam perlahan menyeruak dalam hati. Handoko berimajinasi bahwa kedua sosok di depannya saat ini saling menunjukkan apresiasi, ketertarikan, serta tengah menyelam kedalam dunia indah milik berdua.Perasaan menggelitik tak enak di awal masuk keruangan tersebut kini kembali bergelayut, sehingga senyum yang dapat di deskripsikan sebagai "Jarang terlihat" pada wajah itu, seketika lenyap hanya dalam hitungan detik saja.Handoko berjalan mendekat dan langsung duduk di sisi sebelah kanan Angel. Mengambil makanan, dan bersiap untuk menikmati hidangan yang ada tanpa menghiraukan pemikiran, serta tanggapan kedua orang di sana perihal pertanyaan yang baru meluncur dari bibirnya. Seolah
"Yo...ternyata sebagian orang di kantor ini cukup berkemampuan, bahkan sudah bisa makan bersama dengan bos besar dalam hitungan hari saja." Karena Angel merasa bahwa perkataan tersebut tidaklah penting, sebab saat ini ia tidak merasa bahwa sosok yang sedang di utarakan oleh pemilik suara bukan dirinya.Wanita itu dengan tenang menghela nafas ringan ketika telah duduk di meja kerjanya, dan meraih ponsel dari dalam tas kecil.Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab selain dirinya di sana, masih ada seorang lain lagi tak jauh dari tempatnya sekarang.Ia tidak berfikir bahwa masalah orang lain akan masuk dalam nominasi perhatian, dan menyita waktu untuk di perhitungkan.Angel memang seperti itu, baginya hal-hal yang menyangkut orang lain tidak perlu di ambil pusing, terlebih jika terhubung dengan sesuatu yang memperburuk atau menjatuhkan orang lain(bergosip), dia paling anti dalam hal tersebut.Namun, jika itu mengenai dirinya sendiri apakah Angel akan menyikapi sama, biarlah waktu yang ak
waktu berlalu tak menunggu siapapun, dalam sepenggal hari terakhir terlewati dengan segudang kegiatan dan pikiran beraneka ragam milik setiap penghuni mayapada. Di gedung perkantoran APC, Angel dengan cepat merapikan meja kerjanya setelah jarum jam menunjukkan pukul 3 sore. Dengan secepat mungkin berjalan menuju lift seperti anak panah yang lepas dari busur, dan enggan berbalik sekedar untuk menoleh kebelakang.Iya...selain menghindari sesuatu kejadian yang mendadak(panggilan /tugas tambahan dari Anggara) di luar jam kerja, wanita itu juga ingin segera pulang menuju peraduan indahnya yang nyaman. Maklum, semalam Angel memang tidak tidur dengan baik demi menjaga Anggara. Meskipun, ia telah cukup beristirahat sebelum datang ke sana(di rumah sakit).Entahlah, jika hal tersebut mencakup tentang tidur tak ada perdebatan yang berarti baginya." Lebih oke.....kurang jangan!." Mungkin bahasa itu cocok untuk mendeskripsikan tentang kebiasaannya yang sedikit unik.
Perkataan Angel tidak terselesaikan, ketika dengan jelas melihat sosok yang kini menyunggingkan senyum tepat di depannya. Dan ketika manik mata cantik itu beralih menatap tangan kiri sang pria yang tengah memegang segerombol kunci, serta sedikit menggoyangkan benda tersebut."Krincing...krincing." Suara kunci yang bergoyang di tangan Handoko.Secara reflek Angel berdiri dengan cepat, akan tetapi karena sudah berjongkok cukup lumayan lama, kakinya menjadi sedikit kaku dan kesemutan sehingga tak mampu menopang tubuh itu dengan baik."Hati-hati." Seru pria yang tak lain adalah Handoko tersebut, serta dengan cepat meraih pergelangan tangan Angel dan membantunya stabil berdiri."Sudah berapa lama kau duduk di sini?." Sambung Handoko lagi, ketika melepas pergelangan tangan Angel setelah dirasanya wanita itu telah seimbang berdiri.Angel yang merasa beruntung dengan kecepatan gerak Handoko hanya bisa tersenyum canggung, terlebih ketika posisi
"Masuk dulu kak.... kopi buatanku lumayan enak lho." Angel.Handoko yang telah selesai memutar gagang pintu rumah dan bersiap untuk pamit pulang, masih menampilkan wajah yang sama ketika mendengar tawaran Angel. Seakan apa yang di dengar barusan adalah hal biasa dan sebuah keharusan.Namun hanya tuhan dan hatinya saja yang tahu, bahwa sebaris pendek kalimat wanita ini adalah sebuah harapan besar, yang telah ditunggu sejak melangkah ke halaman rumah tadi."Benarkah?, patut di coba kalau begitu." Jawabnya ringan dengan sedikit mimik wajah yang seolah tengah berpikir sejenak."Tentu saja kakak harus mencobanya, meski tidak bisa di bilang mahir tapi tidak akan buruk juga." Sahut Angel dengan senyum lembut terpasang di wajah.Wanita itu merasa senang dan tulus mengundang Handoko, sebab saat ini sosok itu seperti "Superman" yang turun dari langit, dalam tanda kutip pria super pembawa "kunci" keberuntungan baginya."Ayo masuk dan duduk dulu kak...anggap rumah sendiri." Wanita itu berjalan men
"5 Menit lagi." Handoko."????." Anggara."Tidak di rumah?." Anggara ingin kembali bertanya, namun dari sisi Handoko sambungan telpon telah terputus.Pria tersebut melipat kening sejenak sebelum mematikan ponsel, ada sekilas pemikiran terlintas di benak. Namun dengan cepat segera di tepis sembari bergumam lirih. "Toh bukan urusanku." Bahasa tersebut terdengar seperti sebuah ketidak pedulian yang tengah menggambarkan kenyataan atas diri orang asing. Akan tetapi dari ekspresi yang terlihat pada wajah tampan miliknya, pada kenyataan yang ada jelas sedang menampilkan sisi tolak belakang dari yang terlontar barusan.Handoko tiba lebih cepat 2 menit dari yang dia janjikan. Dan itu memang sudah diperhitungkan nya, hal ini menjadi kebiasaan bagi sosok Handoko, bahwa ia akan menambahkan sedikit perpanjangan waktu ketika mengucapkan sebuah janji, meskipun tahu dengan benar bahwa dirinya akan tiba di sana hanya dalam hitungan 2-3 menit saja.Handoko berpikir banyak hal yang dapat terjadi di luar
"Apa kau masih perlu meragukan itu?, bahkan sejak kalian kuliah dulu bukankah dia sudah mengejar mu seperti orang gila." Handoko."Ngiiiing...."Sorot mata Anggara yang sedikit menunjukkan semangat beberapa menit lalu, segera lenyap tersapu kekuatan bibir Handoko."Hah...mengemudi saja dengan benar." Ucap Anggara kesal.Ia menyadari bahwa sosok di sampingnya saat ini tidak sedang berada di dunia yang sama dengan dirinya. "Sungguh membuat kesal." Lanjutnya masih dengan suara pelan."Kenapa?, salah?." Handoko. "Tidak...hanya mulutmu berbau busuk." Sarkas Anggara, dengan pandangan yang telah beralih ke depan.Wajah Anggara tidak menampilkan sedikitpun bias kebencian untuk Handoko, namun dengan pemahaman yang di miliki, Anggara menyadari bahwa ada gejolak asing di dalam hati untuk sahabatnya ini, ketika mengingat kedekatan diantara keduanya(A dan H)." Apa aku sedang kesal?, mengapa?." Pertanyaan itu sering hadir dalam benak Anggara beberapa hari terakhir, bahkan hingga sekarang belum jug