Seharian ini Haris menghabiskan waktunya berdua dengan Brisya. Rasanya seperti mimpi karena Haris bahkan tak pernah membayangkan akan tiba hari di mana ia bisa berdua dengan Brisya seperti dulu di panti. Hanya berdua. Usai membantu membuat camilan anak-anak, Haris menyantap sarapan buatan Brisya dengan lahap. Ia juga membantu Brisya bersih-bersih karena Haris tidak ingin pujaan hatinya itu kelelahan. Haris menyapu, mengepel bahkan mencuci piring-piring kotor dan membersihkan kamar anak-anak. Melelahkan memang, namun ia menyukainya, terlebih setelah melihat Brisya tersenyum rasanya semua letih lenyap begitu saja. "Om, aku bikinin es teh, ya?" tawar Brisya saat melihat Haris duduk tepar di halaman belakang untuk beristirahat. Haris menoleh dan tersenyum, "Nggak usah, Briy. Nanti kamu capek. Kemarilah, temenin aku aja di sini." "Nggak capek, kok, lagian daritadi yang kerja kan Om Haris, aku cuma jadi mandor. Bentar ya aku bikinin dulu!" Brisya beringsut ke dapur dan lekas membuatka
'Lokasi update pemilik nomor ponsel 082555662x berada di kota xxxxxxx ' Aji mengernyitkan keningnya bingung, ini kan di panti? Apa yang Brisya lakukan di panti?? Tubuh Aji berkeringat dingin, apa mungkin Brisya ke sana untuk menemui Haris?! Beraninya Brisya pergi ke sana tanpa Aji!! Brisya is calling ...Aji tersentak memegang ponselnya yang tiba-tiba berdering. Nafasnya tertahan penuh emosi. "Halo!" sapa Aji dingin. "Halo, tadi kamu telefon aku, ya, Ji? Ada apa?""Lagi di mana kamu!"tanya Aji berusaha sabar."Hmmm, kenapa emangnya? Kamu sudah makan, Ji?""Jangan mengalihkan pembicaraan! Aku tanya kamu lagi di mana?" tukas Aji mulai emosi."Tapi kamu jangan marah, ya? Aku lagi di Panti sekarang.""Ngapain? Kenapa nggak pamit?!" "Bu Rahmi sakit, Ji, aku pulang karena aku kangen mereka," terang Brisya sedih."Kangen sama Haris juga?!" cecar Aji dingin. "Kenapa, Ji? Suara kamu putus-putus ...""Di sana lagi ada Haris, kan? Kamu lagi ketemuan sama dia juga kan!" Brisya tak menyah
Brisya lebih dulu sampai di apartemen sebelum Aji datang. Ia memasak makanan kesukaan Aji dan berharap kesalahpahaman diantara mereka terselesaikan. Brisya bersalah sudah pergi tanpa pamit namun ia sendiri tak ingin disalahkan bila Aji menuduhnya sengaja janjian dengan Haris. Hingga petang Aji tak juga muncul, Brisya menatap layar ponselnya bimbang. Ia ingin menelefon namun sepertinya Aji tak akan merespon. Masakan yang tadi Brisya siapkan sudah dingin, tentu Aji tak akan mau menyentuhnya lagi. Saat jam sudah menunjukkan angka 10, Brisya mulai pasrah. Sepertinya Aji tak akan pulang hari ini. Brisya masuk ke dalam kamar dan meletakkan ponselnya di meja nakas di samping tempat tidur. Twins mulai bergerak aktif di jam malam seperti ini, kadang Brisya tak bisa tidur nyenyak bila twins sedang asyik bermain sepak bola di dalam perutnya. Hampir saja Brisya terlelap saat kemudian ia mendengar suara pintu di tutup. Brisya membuka mata, Aji berdiri di depan pintu dan berjalan memasuki kamar
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya Brisya menangis. Hatinya teramat sakit, penghianatan dan kehilangan membuatnya hancur. Brisya tak tahu harus berbuat apa, ia tak memiliki tujuan selain kembali ke panti. Setiba di Rumah Sakit, Brisya diberi kesempatan terakhir untuk melihat Bu Rahmi. Tangisnya kembali pecah saat melihat jasad wanita yang sangat ia cintai itu begitu cantik seperti sedang tertidur. Wanita yang berjasa membesarkannya dengan penuh kasih sayang, wanita yang mengajarinya untuk hidup mandiri dan kuat di tengah kehidupan yang tak selamanya mulus. Brisya tiba-tiba rindu coklat panas buatan Bu Rahmi yang kini tak akan bisa lagi ia rasakan. Bu Rahmi di semayamkan di panti untuk menghormati jasa-jasanya selama ini. Pendiri sekaligus pemilik panti yatim piatu itu kini telah berkumpul lagi dengan keluarga kecilnya yang telah berpulang lebih dulu puluhan tahun yang lalu. Bu Rahmi sudah bahagia bersama mereka. Brisya hanya tidur 2 jam karena ia bahkan tak bisa memejamkan mat
Sudah hampir seminggu berlalu sejak kematian Bu Rahmi dan itu berarti sudah seminggu juga Brisya berada di Panti. Sejak terakhir kali bertemu Haris tak sekalipun Brisya bertemu dengannya lagi hingga hari ini. Brisya sengaja mematikan ponselnya karena ia tak ingin Aji menghubunginya lagi. Lagipula Aji tahu ke mana harus mencari Brisya bila memang ia masih ingin. Foto perempuan tanpa busana itu kadang masih menghantui Brisya, siapa perempuan itu? Sudah berapa lama Aji bersamanya? Mengapa Brisya demikian bodohnya hingga tak menyadari bila Aji menyukai perempuan lain? Brisya merasakan sakit di hatinya setiap kali mengingat foto itu. Apakah ini yang dinamakan karma? Apakah seperti ini sakit yang dulu Aji rasakan? Brisya mencoba untuk menata hatinya lagi. Ia ingin mencari tahu siapa yang paling ia sayangi diantara Haris dan Aji, namun berpikir ratusan kalipun tetap Brisya tak bisa memutuskannya. Brisya mencintai Haris, namun ia juga tak ingin Aji terluka. Harusnya minggu ini adalah jadw
Haris mengawasi layar ponselnya lama, ia seolah terjebak oleh emosinya sendiri. Ia rindu Brisya tapi tak tahu harus memulai obrolan dari mana. Saat sedang mempertimbangkan akan menghubungi Brisya atau tidak, ponsel ditangannya bergetar dengan tiba-tiba, Haris tersentak kaget.Hendri is calling.."Halo, iya, Kak?" sapa Haris cepat."Haris apa kamu sedang bersama Megan di sana??" sosor Hendri menginterogasi. "Hmm, dia di Panti, ada apa memangnya?""Kalian nggak tinggal bersama di ruko, kan??""Nggak, lah! Aku masih tahu batasannya, Kak!" kilah Haris.Terdengar tarikan nafas Hendri yang berat, "Harusnya minggu ini jadwal Megan kontrol untuk yang terakhir kali, usia kandungannya sudah memasuki HPL."Haris terhenyak, kenapa Brisya justru masih betah berada di panti? "Bisa kamu bujuk dia untuk datang kemari? Sepertinya sedang ada masalah di antara dia dan suaminya," pinta Hendri lugas.Haris tak menyahut."Semalam saat aku makan malam dengan Zunita, Aji tiba-tiba telefon dan minta dijemp
Suara musik yang mellow membuat suasana di mobil Haris berubah sendu. Sesekali Brisya tampak menguap dan gelisah. Ia beberapa kali menggeser posisi duduknya agar lebih nyaman. Perut besarnya membuat ia kesusahan tiap kali bergerak.Haris yang nenyadari itu lantas menarik tangan Brisya yang terkulai dan menggenggamnya erat. Ia ingin Brisya tahu bila Haris selalu ada di sisinya."Maaf untuk kejadian tempo hari. Aku seharusnya lebih bersimpati padamu," ucap Haris lirih.Brisya tak menyahut, ia membuang muka dan mengawasi pemandangan di luar jendela."Briy," panggil Haris saat Brisya tak bergeming."Hmm,""'Maaf ..." pintanya sekali lagi sambil mempererat genggamannya.Brisya menghela nafas, ia menoleh dan menatap Haris."Apa Om Haris lega sekarang?""Lega untuk?""Lega karena akhirnya Aji beneran menyakitiku? Bahwa akhirnya dia betul-betul berkhianat di belakangku."Haris menggeleng cepat. "Demi tuhan, aku tidak pernah mendoakan hal buruk pada kalian.""Oh, ya?"Haris melepas genggamanny
"Bagaimana menurutmu?" Haris mematut pantulan wajahnya di cermin."Terserah, silahkan saja kalo kamu mau mencoba menghubungi dia. Aku sarankan sebaiknya kalian bertemu di tempat yang netral, untuk berjaga- jaga seandainya Aji kalap melihat wajahmu!" Zunita memberi saran. Haris menghela nafasnya berat, "Tapi setidaknya aku harus berbicara empat mata dengannya, Zun. Aku harus membuat kesepakatan dengannya. Minggu depan Brisya sudah harus melahirkan.""Seperti yang aku bilang tadi, terserah. Aku akan mengirim nomor Aji lewat chat sebentar lagi kalo kamu memang keukeh ingin bertemu dengannya.""Oke, kirim saja!" Haris beranjak keluar dari kamar dan menghampiri meja kerjanya. "Oke, bye!" Tut.Haris mendesah lega, keputusan untuk menemui Aji sudah ia pikirkan masak-masak semalaman. Walau bagaimanapun, Aji sudah menjaga Brisya dengan baik selama ini. Haris ingin membuat kesepakatan dengannya secepat mungkin, setidaknya mereka harus membicarakan nasib twins kedepannya. Ponsel Haris berget