Satu jam Haris menunggu di apartemen, akhirnya Hendri datang. Mereka berdua sudah duduk di meja makan dan saling menatap serius."Brisya ingin melahirkan di kota kami, Kak!" Hendri nampak berpikir, kedua tangannya menyatu dan menahan dagunya yang sudah bersih dari rambut-rambut halus. "Apa tidak bisa kamu membujuknya untuk melahirkan di sini?"Haris menggeleng lemah. "Mungkin besok atau besok lusa Brisya menghubungimu, Kak. Coba bujuklah dia agar mau melahirkan di sini. Aku lebih tenang bila kamu yang menghandle kelahiran twins," pinta Haris memohon."Akan aku coba. Semoga dia mau mendengarkan saranku.""Bujuk dia semampumu, Kak!" Hendri mengangguk dan meneguk air mineral botol yang tadi ia bawa dari Rumah Sakit."Bagaimana hubunganmu dengan Brisya? Apa sudah membaik?" tanya Hendri penasaran."Tentu saja, kamu tahu sendiri kalo aku benci berdebat, kan, Kak!""Jadi kamu sudah lega sekarang?""Lega untuk?" Haris mengawasi Hendri heran, pertanyaan yang sama dengan milik Brisya tempo h
Usai makan siang, Haris mengantar Brisya ke kota untuk kontrol ke tempat praktek Hendri. Sebelumnya, Haris sudah menyusun rencana dengan Hendri agar sandiwara mereka tak terbongkar sebelum twins lahir. Tidak ada yang bisa menjamin bagaimana reaksi Brisya nanti seandainya ia tahu bila Dokter Eka adalah kakak kandung Haris. Maka dari itu untuk lebih amannya, Haris masih akan bungkam sampai twins lahir. "Apa aku boleh menemani kamu masuk?"Brisya menoleh, ia menggeleng cepat."Terus kalo nanti Dokter Eka tanya, aku mau jawab gimana?""Bilang aja aku Ayahnya twins!"Brisya terbelalak, ia mencubit lengan Haris dengan gemas."Om tunggu di parkiran saja, aku sudah janjian dengan Zunita. Dia akan menemaniku masuk.""Apa kamu percaya pada Zunita?""Tentu saja! Dia sudah kuanggap seperti kakakku sendiri," sahut Brisya naif.Haris tergugu, ia kembali fokus pada kemudinya. Ada sedikit rasa bersalah di hati Haris karena diam-diam dia sudah mengenal Zunita tanpa sepengetahuannya. "Briy, apa aku b
Aji memandang ke arah tivi namun pikirannya berkelana. Sudah hampir dua jam ia duduk sendirian, melamun, kelaparan dan kesepian. Suara tivi yang nyaring tak juga membuat suasana hatinya membaik, malah ia semakin merasa sunyi tanpa siapapun yang peduli. Ponsel yang ia geletakkan di meja bergetar, Aji menatapnya sekilas. Zunita is calling ...Aji berpaling dan kembali menatap ke arah tivi. Ia sedang menonton channel National geography, menonton hewan-hewan itu berlarian dengan bebas membuat Aji berpikir betapa nikmatnya menjadi seperti mereka yang tidak memiliki perasaan. Terlahir sebagai manusia terkadang ibarat kutukan. Tak terasa Aji mulai terlelap sambil menggenggam remote tivi. Seminggu ini rasanya hidupnya jadi porak poranda, Aji tak bersemangat lagi untuk hidup. Ting!tong!ting!tong!Sayup-sayup suara bel di pintu membuat Aji mengerjap dan membuka mata. Ia merenggangkan tubuhnya yang sempat terbujur kaku tadi. Ting!tong!ting!tong!Aji menghela napas berat sembari menatap taja
Haris menyetir dengan kalap, sesekali ia menoleh pada Brisya yang memejamkan mata sejak mereka menuju ke Rumah Sakit. Sejak lima menit yang lalu, Haris berkali-kali mencoba untuk menghubungi Hendri namun tak diangkat. Sepertinya Hendri masih sibuk dengan pasien-pasiennya di tempat praktek."Briy," panggil Haris khawatir."Hmm...""Bertahan ya, sebentar lagi kita sampai," ucap Haris panik.Brisya tak menyahut, ia merasakan bagian bawah tubuhnya sudah basah. Perutnya mulai terasa mulas. Apakah ia akan bertemu twins hari ini? Apakah tidak apa-apa bila ketubannya pecah lebih dulu sebelum ia sampai di rumah sakit? Konsentrasi Haris terbagi saat kemudian ponselnya bergetar dan berdering. Hendri is calling ..."Halo, Kak! Aku menuju Rumah Sakit sekarang, ketuban Brisya sepertinya pecah!" cecar Haris panik"Apa? Kok bisa, sih! Kalian habis ngapain!?""Kak, nanti aku jelaskan! Tolong selamatkan anakku, Kak!" Suara Haris mulai bergetar takut, sudut matanya basah karena terlalu khawatir deng
"Katakan Harsha, di mana anak itu!?" teriak seorang lelaki bertubuh tinggi besar, berpakaian necis bak di film-film bos besar. Di sebelahnya, ada seorang perempuan berpakaian tak kalah anggun, wajahnya basah oleh air mata, tubuhnya bergetar naik turun dengan intens. "Katakan atau kubunuh kau!" Wanita bernama Harsha itu mendongah, ia menatap lelaki di hadapannya dengan terluka. "Bunuh saja aku, sekarang!!" ucapnya sakit hati."Bunuh aku, Ron! Bunuh!!" Lelaki yang ia sebut Ron itu berdiri, mendekat ke tempat Harsha bersimpuh dan mencekal lengannya agar berdiri. Saat tubuh Harsha sudah sepenuhnya berdiri dengan lunglai, Ron menatap mata teduh itu dengan penuh kebencian."Membunuhmu tidak akan membuat keadaan membaik, aku akan tetap membiarkanmu hidup." Harsha menatap Ron dengan nanar."Dan aku akan membuatmu tersiksa seumur hidupmu karena telah membuang darah dagingku!!""Dia bukan anakmu!" teriak Harsha melengking. Ron mendengus, ia mencekal dagu Harsha dan menciumnya. Harsha yan
Brisya terbangun dan sadar dari pengaruh obat bius setelah 8 jam kemudian. Orang yang pertama kali ia lihat adalah Haris dan Dokter Eka. "Syukurlah dia sudah sadar, bagaimana perasaanmu?" Dokter Eka mendekat ke ranjang Brisya.Brisya tak sanggup membuka mulut, ia hanya tersenyum."Jangan terlalu banyak di ajak ngobrol dulu, Kak. Dia masih belum sepenuhnya sadar, tuh!"Dokter Eka menoleh pada Haris. Brisya mengernyit, Kak? Haris menyebut Dokter Eka dengan Kakak? Brisya merasakan matanya kembali berat, ia memejamkan mata lagi dengan lemas. Haris mendesah, kenapa lama sekali Brisya tersadar! Ia sudah rindu ingin bercerita tentang twins padanya. "Oh, iya, Ris. Apa tas Megan sudah ketemu?"Haris terkesiap, betul. Malam itu saat bagian administrasi meminta ID card Brisya, Haris kebingungan mencari tasnya. Ia mencari di mobil namun tak ada. Sepertinya tas itu tertinggal di rumah Aji. "Zunita belum kembali ya, Kak?" tanya Haris sambil memperhatikan jam tangannya. "Belum, sepertinya ba
Sesaat setelah Haris menggendong Brisya keluar dari rumahnya, sekujur tubuh Aji melemah. Ia tersungkur di tempatnya berdiri tanpa sanggup berkata apa-apa lagi.Apa dia membunuh twins? Apa twins celaka karena ulahnya? Aji menggeleng cepat. Tidak! Bukan dia yang bersalah. Harislah yang sudah membuat semuanya jadi hancur berantakan seperti sekarang! Harislah yang harusnya bertanggung jawab. Dengan panik, Aji berdiri dan menghampiri meja sideboard untuk mengambil kontak mobilnya. Ia harus segera menyusul Brisya! Twins harus selamat! Satu jam kemudian, Aji sudah berada di Rumah Sakit Pelita Kasih tempat Brisya di rawat. Di depan ruang IGD ada Haris yang sedari tadi menunggui. Entah mengapa Aji jadi takut untuk mendekat meskipun statusnya adalah suami sah dari Brisya. Saat sedang mengawasi Haris dengan waspada dari kejauhan, tiba-tiba seorang wanita yang sangat Aji kenal mendekat. Zunita??? Tunggu, bagaimana Zunita bisa mengenal Haris? Sejak kapan mereka saling mengenal?! Apa yang suda
Menjelang sore, Brisya benar-benar tersadar dari pengaruh obat bius. Ia sudah bisa membuka mata dan menanggapi sekitar. Meski masih tak bisa bergerak banyak, namun Brisya sudah tak sabar untuk bertemu twins.Sudah ada Zunita dan Bu Shila di kamarnya. Siang tadi mereka datang saat Hendri sedang menunggui Brisya. "Ibu sudah melihat bayi-bayiku?" tanya Brisya saat melihat Bu Shila sibuk melipat baju-baju twins.Bu Shila menoleh, ia tersenyum. "Tentu saja! Ibu lebih dulu menjenguk cucu daripada menjengukmu!" Brisya merengut. Bu Shila dan Zunita tertawa. "Bayimu cantik sekali, Briy! Persis kamu waktu kecil, gembul-gembul tembem!" ucap Bu Shila menerawang."Jadi penasaran seperti apa Brisya waktu bayi?" Zunita mendekat ke ranjang Brisya.Bu Shila terhenyak, Brisya juga. Tidak ada yang indah di memori masa kecilnya. Semua kenangan buruknya ada di sana."Oh, maaf. Aku nggak bermaksud menyinggungmu, Briy!" sambung Zunita merasa bersalah. "Nggak apa-apa, Zun. Masa kecilku memang nggak ada s