Serangan Ki Ageng Suryajaya menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Dengan lebih dari separuh kekuatannya, dia yakin pemuda yang menjadi lawannya kali ini akan dibuatnya tidak berkutik. Namun sayangnya yang dia terima hanyalah rasa pahit karena serangannya masih bisa di imbangi Jalu.Sementara itu, Ki Pranasuta yang harus menghadapi seratus lebih anggota perguruan Pedang Tunggal harus dibuat kerepotan setengah mati. Meski lawan yang dihadapinya jika diukur dari kemampuan individu masih jauh di bawahnya, tapi karena jumlah mereka yang banyak dan memberi serangan dari semua sisi, mau tak mau dia harus menggunakan senjata pusakanya untuk melakukan perlawanan.Ada sedikit penyesalan di dalam batinnya ketika harus menghadapi begitu banyak lawan dalam satu waktu. Menurutnya dia lebih baik memilih bertarung melawan Ki Ageng Suryajaya meski kemampuannya sedikit di bawah ketua perguruan Pedang Tunggal tersebut.Selain itu, andai dia tidak berusaha memanfaatkan kekuatan Jalu untuk bisa turut serta
Adu kelincahan dan kecepatan pun terjadi. Jalu yang gerakannya seperti asal-asalan dan tidak terpola ternyata tidak kesulitan menghindari serangan Ki Ageng Suryajaya. Tapi gerakan ketua perguruan Pedang Tunggal yang semakin bertambah cepat hampir saja membabat leher Jalu andai pemuda itu tidak melakukan tangkisan. Jalu mengangkat lengannya dan menangkis sambaran cakar yang hampir membuat nyawanya melayang. Benturan di antara keduanya menimbulkan tubuh pemuda tampan itu terdorong mundur beberapa langkah.Ki Ageng Suryajaya menyeringai sambil berusaha memanfaatkan kesempatan bagus itu untuk bisa memasukkan serangannya. Dia terus mencecar Jalu dengan serangan demi serangan untuk membuka celah pertahanan lawan. Lelaki tua tersebut kemudian melompat seperti singa yang hendak menerkam mangsanya ketika melihat lawan sedikit lengah."Mati kau!"Jalu yang sudah terlanjur salah langkah dan gerakan terpaksa menggunakan perisai tak kasat mata untuk melindungi dadanya.Ketua perguruan Pedang Tun
Jalu menatap dingin titik ledakan yang baru saja terjadi. Helaan napasnya memburu kuat untuk melepas beban di dada.Di saat bersamaan, pertarungan yang terjadi antara Ki Pranasuta dengan anggota perguruan Pedang Tunggal ternyata berakhir dengan kematian dialami ketua perguruan Kelabang Hitam tersebut. Dia tidak mampu bertahan dari serangan yang terus membombardir pertahanannya.Melihat ketua mereka sudah tewas di tangan sang pendekar muda, anggota Perguruan Pedang Tunggal yang sebenarnya sudah kelelahan sehabis menghadapi perlawanan Ki Pranasuta memilih untuk menyerah. Mereka tidak mau mati secara sia-sia. Ketua perguruan Pedang Tunggal saja mati di tangan pendekar muda itu, apalagi mereka yang hanya berstatus anggota.Jalu berjalan mendekati sekitar tiga puluh anggota perguruan Pedang Tunggal yang tersisa. Tatapannya begitu dingin dan datar mengintimidasi sisi ketakutan yang terdalam dari orang-orang di depannya."Jika kalian tidak memilih untuk melawan dan mau mengakuiku sebagai yan
Dua langkah Ayu Wulandari berjalan dan berhenti di samping ibunya. Pandangnya tertunduk ke bawah dan hanya sesekali melirik ke arah Jalu yang berada di depannya."Jadi begini, Ayu. Ibu harap kau jangan salah paham dengan Jalu. Dia memang sengaja ibu suruh untuk mengikutimu dari jauh. Entah kenapa ibu memiliki firasat yang tidak baik ketika kau memaksa untuk mencari bunga anggrek di hutan. Dan firasat ibu terbukti ketika Purnomo hendak memperkosamu, bukan?" Ayu Wulandari terdiam mendengar penjelasan dari ibunya. Dia merasa malu karena telah berburuk sangka dan menuduh Jalu yang tidak-tidak."Sekarang minta maaflah kepada Jalu. Ibu sangat yakin dia pemuda yang baik dan tidak memiliki niat buruk sedikitpun terhadapmu maupun kepada keluarga kita," lanjut Nyi Sundari sebelum kemudian memegang lengan putrinya."Tidak perlu, Bi, Ayu tidak perlu meminta maaf kepadaku," sela Jalu sebelum Ayu Wulandari menanggapi permintaan ibunya, "Aku tidak pernah merasa sakit hati dengan ucapan ataupun tin
Salah satu dari empat tetua di perguruan Lembah Ular itu mendengus geram sebelum kemudian berdiri dan menatap dua tetua lainnya. "Jika kalian mau membantuku menghabisi dia, maka akan kuberikan hadiah besar untuk kalian berdua."Kedua tetua lainnya saling berpandangan sebelum kemudian tersenyum lebar."Kami pasti akan membantumu, Gandara. Terpenting kau bisa menyediakan gadis perawan untuk memuaskan hasrat kami berdua. Kau tahu sendiri jika hanya kau dan Singgih yang bebas bepergian keluar dari perguruan ini, sedangkan kami setiap hari hanya berkutat melatih anggota." ujar tetua yang bertubuh pendek kekar dan berkepala plontos. Di wajahnya terdapat bekas luka memanjang di bagian pipi kanan."Kalau hanya itu permintaan kalian, aku akan bisa menyediakan berapapun gadis perawan yang kalian mau," jawab Gandara penuh dengan senyum kemenangan.Selain ingin menyingkirkan Singgih yang merupakan tetua pertama, dia juga ingin menyingkirkan Ny
Selang beberapa saat lamanya menyegarkan tubuh dengan segarnya air sumur yang ditampung dalam bak mandi, Jalu pun kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Tubuhnya sudah kembali segar dan pancaran aura di wajahnya juga begitu bersinar.Dengan langkah tegap, pemuda yang memiliki wajah tampan di atas rata-rata itu beranjak menuju ruang keluarga. Aji, Nyi Sundari dan Ayu Wulandari menatap takjub kehadiran Jalu yang berjalan mendekat. Meski berpakaian sederhana, tapi tetap saja aura yang dimunculkan pemuda tampan itu layaknya seorang bangsawan. "Duduklah!" kata Aji mempersilahkan. Jalu mengangguk dengan senyum terkembang di bibir. Dipandangnya sekilas Ayu Wulandari yang menatapnya tanpa berkedip sama sekali. Nyi Sundari menyenggol bahu suaminya. Senyum simpulnya tercetak seraya melirik ke arah putri mereka yang memperlihatkan rasa sukanya kepada Jalu. Aji turut mengulum senyum seraya mengangkat kedua alisnya. Dia juga mengetahui respon yang ditunjukkan Ayu Wulandari terhadap kedat
Ayu Wulandari terkejut setengah mati bahkan sampai tidak bisa berkata-kata sedikitpun. Bukan karena takut ketinggian, melainkan Jalu yang tanpa memberitahu terlebih dahulu langsung membawanya ke atas pohon. Tapi dari kejadian itu dia juga merasa bersyukur. Dia kini sedang dalam pelukan pemuda yang sudah membuatnya jatuh hati. Jantungnya berdebar kencang bagai deru laju kuda yang dipacu di lintasan. Sssst!Jalu memberi isyarat agar gadis cantik itu diam. Matanya tajam melihat kejauhan. Meski tidak terlalu jelas karena tertutupi dedaunan yang lebat, tapi pemuda tampan itu masih terus menajamkan penglihatannya. "Kenapa?" Ayu Wulandari berbisik pelan. “Ada serombongan orang yang juga ada di tempat ini. Aku tidak ingin mengambil resiko dan harus menjaga keselamatanmu," jawab Jalu pelan.Bibir Ayu Wulandari bergerak-gerak tapi sulit untuk bicara. Suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Ucapan Jalu barusan bagai es yang menyejukkan isi hatinya. Dalam beberapa tarikan napas, terdengarl
Tak ingin Ayu Wulandari mengalami celaka karena terpatuk ular hijau yang terkenal berbisa cukup tinggi, Jalu pun berpikir untuk membawa tubuh gadis cantik itu ke pohon lain. Dilihatnya sekitar sebelum memutuskan memilih satu pohon yang berjarak kurang lebih sepuluh meter jauhnya."Berpegangan yang erat dan jangan mengendurkannya sedikit pun! Aku tidak akan memegangimu," ucapnya sebelum menarik napas panjang. Ayu Wulandari seketika memeluk tubuh Jalu dengan erat. Meski makna berpegangan dan memeluk itu jauh berbeda, tapi gadis cantik putri pasangan juragan kaya itu tidak memperdulikannya. Saat ini yang terpikir di dalam benaknya malah bukan keselamatan nyawanya, melainkan mungkin tidak akan ada kesempatan kedua bisa bersentuhan fisik dengan begitu dekat dan erat. Jalu merasa sedikit kesulitan bernapas akibat pelukan yang dilakukan Ayu Wulandari kepadanya. Namun dia berpikir jika gadis itu ketakutan sehingga harus memeluknya seerat itu. "Tenang saja. Kupastikan mereka tidak akan bisa