“Kamu kenapa? Kok pucat?” Tanya Dion menautkan alis sambil fokus menyetir, sesekali ia melirik Adisti yang kian memucat. Tak kunjung ada jawaban, akhirnya Dion memilih menepikan mobil lalu menghentikannya. Laki-laki itu memiringkan tubuhnya menghadap Adisti, disentuhnya wajah ayu yang kini memucat. “Are you okay?” tanya Dion sekali lagi. Suaranya terdengar lembut dan mampu menghipnotis Adisti untuk menatapnya. “A–aku ....” Adisti tidak mampu meneruskan kalimatnya. Di satu sisi ia tidak tega melihat Dion kembali bersusah payah memikirkan nasibnya, tetapi jika dirinya diam bisa saja janin itu akan berkembang pesat seperti sebelumnya. Dion menaikkan alisnya, kemudian kedua tangannya berakhir di pundak Adisti. Ditatapnya dalam-dalam wanita yang telah mencuri hatinya sejak lama itu. Mencoba menelaah apa yang terjadi padanya. “Katakan saja, ada apa? Siapa tahu aku bisa membantu.” Lagi, suara lembut Dion membuat Adisti semakin dilema. Antara tidak tega dan memikirkan nasibnya sendiri s
“Ada apa dengan perutku? Kenapa tiba-tiba keras sekali?” gumam Adisti keheranan.Sekali lagi ia meraba perutnya yang masih tampak datar. Kemudian ia mengetuknya perlahan, suara seperti besi dipukul terdengar lirih.Kembali wajah Adisti memucat. Ada apa dengan kehamilannya kali ini? Seingatnya, kehamilan yang sebelumnya tidak seperti itu. Lantas, apa yang membuat berbeda kali ini?Adisti mengerang frustrasi, ia mengacak rambutnya dengan kasar, ditatapnya wajah yang kini terlihat pucat. Bagaimana ia menyelesaikan masalahnya kali ini? Apa Ia harus pergi ke rumah Ustaz Ramli sendirian tanpa memberitahu Dion, tetapi apa itu solusi yang baik? Apa yang harus ia katakan pada Dion nantinya?“Sialan!” umpat Adisti kesal karena tidak menemukan cara yang tepat. Ia melirik jam di tangan, masih terlalu pagi jika pergi ke rumah Ustaz Ramli sekarang.“Harus bagaimana ini?” gumam Adisti lelah. Ia benar-benar lelah mental dan fisik menghadapi masalahnya yang tak kunjung berakhir. Jika sebelumnya kehami
“Mas Dion, kamu laki-laki terbaik yang selama ini aku kenal. Tapi, maafkan aku yang tidak sempurna ini selalu memberimu banyak masalah. Jika kamu membaca surat ini, itu artinya mungkin aku telah pergi jauh. Salam.” Bibir Dion bergetar membaca setiap kata yang tertulis pada secarik kertas itu. Ia takpercaya Adisti menulis demikian, apa yang kurang dengannya selama ini? Mengapa wanita itu tega meninggalkannya di saat dirinya mulai merasa bahagia? Padahal dirinya tidak mempermasalahkan yang terjadi selama ini, tetapi mengapa Adisti menyerah dan pergi darinya?Dion meremas selembar kertas itu dengan perasaan campur aduk. Antara marah, cemas, dan kecewa menjadi satu. ia mengacak rambut dengan kasar. pergi ke mana lagi wanitanya itu? seingatnya Adisti tidak memiliki banyak teman, kecuali ... Sesil. Ya, hanya wanita itu yang ia ketahui dekat dengan Adisti. Apakah mungkin Sesil tahu ke mana perginya Adisti? Tidak. Mustahil Adisti memberitahu Sesil tentang masalahnya. Sesil tidak pernah menan
“Pergi ke mana kamu, Adisti,” gumam Dion sambil menatap trotoar, berharap menemukan Adisti dari sekian banyak pejalan kaki.Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, itu artinya sekitar 2 jam dirinya memutari kota demi mencari Adisti. Namun, Dion sama sekali belum menemukan sosok Adisti. Pikirannya campur aduk, memikirkan keberadaan Adisti dan misteri testpack yang ia temukan. Ia yakin itu anak Abimanyu karena selama menikah ia belum menyentuh Adisti sama sekali.Ada sesal di hati Dion, mengapa tidak segera membawa istrinya ke rumah Ustaz Ramli.Tiba-tiba Dion mengernyit, ia teringat dengan Ustaz Ramli. Mengapa dirinya tidak meminta bantuan untuk mencari sosok Adisti? Ya, setahu Dion Ustaz Ramli bisa mencari orang yang hilang dengan mata batinnya.Senyum tersungging di wajah Dion, segera ia menginjak pedal gas lalu membelokkan mobil menuju rumah Ustaz Ramli. Namun, naas baginya karena tidak fokus menatap jalan dari arah berlawanan sebuah truk membunyikan klakson menabrak mobilnya dengan c
“Sudah Anda bersihkan semua?” Tanya Kartilan was-was. Ia takut terjadi hal buruk lagi pada diri cucu satu-satunya. “Insyaallah, Mbah.” Ustaz Ramli tersenyum menanggapi pertanyaan Kartilan. Ia paham bagaimana khawatirnya sang kakek itu. Lagi pula, semua yang terjadi pada Adisti salah satunya karena dirinya tidak segera membersihkan tubuh wanita itu. Sehingga Abimanyu kembali menguasai Adisti. “Alhamdulillah. Saya sangat takut Ustaz kejadian sebelumnya kembali terjadi. Karena hanya dia satu-satunya keluarga yang saya miliki.” Ustaz Ramli mengangguk. Kemudian tersenyum lagi pada Kartilan, kemudian ditatapnya Adisti yang duduk di sebelah Kartilan. “Apakah masih ada yang sakit?” tanya Ustaz Ramli pada Adisti saat melihat wanita itu memijat pelipisnya. “Tidak ada, Ustaz. Hanya sedikit pusing saja.” “Baiklah. Setelah pulang dari sini jangan lupa solat tobat dan berzikir seribu kali. Jangan tinggalkan solat lima waktu dan rajinlah mengaji. Semua penyakit dan kejadian yang kita alami mu
Lastri dan Abimanyu menyusuri jalan setapak yang mengarah ke Bukit Sa’i. Wanita itu terus menyeret anaknya agar menjajarkan langkah, ia ingin segera sampai di puncak bukit untuk menghilangkan pengaruh Hartanto pada Abimanyu.“Tidak bisakah kita berjalan pelan?” tanya Abimanyu tampak kepayahan, kondisi tubuhnya belum sepenuhnya normal seperti semula.“Tidak! Kita harus segera sampai di atas sana.” Lastri tidak memedulikan bagaimana wajah Abimanyu yang mulai memucat. Yang ada dalam pikirannya hanya satu, yaitu segera sampai di puncak bukit untuk mengembalikan ingatan Abimanyu.Sebelumnya Lastri sudah mengantisipasi Kedatangan Hartanto, sengaja ia menghilangkan jejak sejak keluar dari gerbang rumah. Lastri tidak mau suaminya itu mengganggu ritualnya nanti.“Masih lama?” tanya Abimanyu lirih. Napasnya mulai tersengal-sengal.“Sebentar lagi kita sampai puncak, Abimanyu. Sudah, diamlah!” bentak Lastri kesal.Demi menghindari kemarahan Lastri, Abimanyu memilih diam sekarang. Kepalanya sakit
“Sialan! Hei! Aku perlu tahu dan bukti keberadaan istrimu.” Bella tidak mau mengalah. Ia masih berharap Dion membuka hati untuknya. Ia tidak tahu mengapa hatinya mudah terpaut pada Dion, yang notabene baru saja dikenalnya saat menolong laki-laki itu yang kecelakaan. “Bukti?” tanya Dion sambil mengernyit. Ia membalikkan badan sebelum membuka pintu. Ditatapnya wajah Bella yang hampir sempurna itu dengan tatapan kagum. Ya, dirinya kagum dengan wajah Bella yang terpahat sempurna. Hanya saja, Dion adalah laki-laki yang memegang teguh kesetiaan. Dia tidak akan mudah berpaling tanpa alasan yang masuk akal. Adisti tidak pernah mengecewakan dirinya secara sadar, jadi bagi Dion tidak ada alasan untuk berpaling. “Iya! Tetapi, walaupun aku tahu siapa dan bagaimana rupa istrimu, tetap saja hal itu tidak menggoyahkan keinginanku untuk mendapatkan kamu!” tantang Bella. Sudut bibirnya terangkat sebelah. Ditatapnya dengan tajam wajah Dion yang tampak kesal. “Buang buang waktu!” sergah Dion kesal sa
“Akhirnya aku menemukanmu.” Seorang laki-laki berperawakan tinggi menatap botol yang berada di dalam ruangan khusus milik Hartanto. Ia adalah Baskara, Ayah Lastri. Baskara tersenyum miring, kemudian mengambil botol lalu membukanya dengan mudah. Beberapa detik kemudian, muncul asap dari dalam botol sedikit demi sedikit. Asap itu kemudian membentuk sebuah tubuh, yaitu Lastri. Wanita itu terlihat seiring dengan hilangnya asap yang mengelilingi tubuhnya. Detik berikutnya, Lastri tampak sempurna. Asap telah hilang sepenuhnya. Wanita itu membuka mata perlahan, kemudian terbuka sempurna. Matanya berbinar saat melihat Baskara berdiri di depannya. “Ayah!” pekik Lastri senang. Seketika wanita itu menghamburkan diri dalam pelukan laki-laki yang disayangnya. “Hmm.” Baskara tidak menjawab panggilan anaknya. Namun, tangannya terulur mengelus rambut anaknya itu dengan lembut. “Aku merasa tidak enak, ternyata kamu dikurung di dalam sana. Apa yang terjadi?” tanya Baskara lembut. “Hartanto mengur