Lelaki itu menyunggingkan senyum mengerikan ke arah kami. Tubuhku gemetar ketakutan. Dalam hati aku terus berdzikir mengharap pertolongan Allah."Buka!" perintah laki-laki itu sembari memukul bagian kaca pintu mobilku.Aku masih bergeming. Tak berani menuruti perintahnya. Dalam hati bertanya-tanya siapa lelaki ini. Aku tak mengenali wajahnya."Buka!" teriaknya melihat aku hanya bergeming.Delia memegang erat lenganku. Anakku pasti sangat ketakutan."Bunda!" lirihnya."Tenang, Sayang. Kamu ambil ponsel Bunda dan telepon Tante Hilda atau Om Gani ya? Cepat!" perintahku.Sementara lelaki itu berjalan kembali menuju pagar rumahku. Entah apa yang akan ia lakukan pada kami. Dalam hati aku terus berdoa dengan perasaan tak karuan.Lelaki itu berjalan kembali menuju mobil. Dengan tongkat di tangannya. Nyaliku semakin menciut. Aku sangat takut."Keluar kalian!" perintahnya sambil memainkan tongkat besi dengan kedua tangannya.Delia semakin erat memegang lenganku. Anakku ketakutan."Bunda, takut.
"No problem, Yud. Silahkan duduk!" ucap Mas Gani seraya tersenyum ramah.Mas Yudis duduk di samping Delia. Kemudian di sebelahnya ada Mas Gani, di sebelahnya lagi ada Hilda, aku dan Clara.Hilda tersenyum lebar dengan tatapan aneh ke arahku. Memberi kode yang aku sendiri tak mengerti. Sesuatu banget itu orang. Aku jadi merasa kurang nyaman."Ini, Om, daftar menunya. Silahkan Om Yudis pilih menunya dulu!" ucap Delia membuatku terkejut. Kapan Delia kenal sama Mas Yudis? Ketemu juga tak pernah."Makasih ya." Yudis menerima buku menu yang diberikan Delia seraya tersenyum."Kamu sudah pesan, Del?" tanya Mas Yudis."Sudah dong."Aku heran kenapa mereka bisa seakrab ini. Delia benar-benar deh."Heran ya, May, Delia kenal sama Yudis?" tanya Mas Gani.Aku jadi malu ternyata Mas Gani mengamatiku. Aku mengangguk sambil tersenyum sungkan menjawab pertanyaan Mas Gani."Jawab nanti ya? Tuh makanannya udah datang," ucap Mas Gani sambil menunjuk karyawan resto yang berjalan menuju meja kami."Mas, ta
Delia bergegas membuka pintu pagar. Tanpa meminta persetujuanku. Aku tahu anak itu pasti sangat merindukan ayahnya. "Ayah!" panggilnya.Mas Ilham masih terpaku dan membisu menatap Delia. Kaca-kaca terlihat jelas di matanya. Mas Ilham pun pasti sangat merindukan Delia.Delia menatap intens laki-laki di depannya. Pasti Delia sangat sedih melihat penampilan ayahnya kini. Mas Ilham masih mengenakan sendal jepit lusuh yang sama dengan kemarin. Kemejanya juga warnanya sudah pudar. Celananya pun tak jauh beda. Tubuh Mas Ilham terlihat kurus. Tulang pipiya sampai menonjol dan kulitnya terlihat gelap. Mas Ilham tampan yang dulu dielu-elukan teman-temanku kini telah berubah."Ayah!" panggil Delia lagi. Kemudian anak itu langsung memeluk laki-laki di depannya. Lama sekali. Mereka tergugu. Hanyut dalam lautan kerinduan.Mereka menguraikan pelukan. Mas Ilham memegangi lengan Delia. Masih berdiri di tempat yang sama dan saling mengamati satu sama lain."Kamu sudah besar, Sayang. Anak Ayah cantik s
Mak Jum menggeser posisi duduknya. Aku pun melakukan hal yang sama. Berada di dekat kaki Riana. Sedang Mas Ilham berada di dekat kepalanya.Lelaki itu memberi kode pada empat temannya. Sejurus kemudian keempat lelaki tadi mendekat ke arah kami. Yang satu menempatkan diri di atas kepala Riana, yang satu di kaki dan di sisi kanan kiri.Lelaki pertama menengadahkan kedua telapak tangannya. Berdoa. Setelahnya mengusap wajah Riana. Kemudian meraba bagian diantara kedua alis Riana. Menekan-nekan bagian itu. Dalam hati aku bertanya-tanya, "Apa yang sedang dilakukan lelaki itu?"Dan aku sangat terkejut melihat benda keemasan keluar dari sana. Hal serupa dia lakukan di kedua pipi Riana beserta hidung dan dagunya. Setelah itu kebagian dadanya. Aku benar-benar tidak menyangka. "Itukah yang dinamakan susuk?" tanyaku dalam hati.Selesai bagian dada lelaki itu beralih ke bagian bawah Riana. Aku benar-benar tak percaya, gadis yang dulu terlihat begitu polos seperti Riana. Memiliki benda-benda sepe
Kuhapus air mata yang membasahi pipi, kemudian menatap mata sendu Delia. Meminta persetujuannya. Aku tak bisa memutuskan ini sendiri seperti saat masih gadis. Kini ada Delia yang harus aku jaga perasaannya.Gadisku tersenyum dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca. Dengan mantap ia mengangguk meyakinkan bundanya. Bersamaan dengan air mata yang jatuh membasahi pipinya.Ekspresi Hilda juga sama, yang tadinya begitu ceria kini matanya pun berkaca-kaca dengan ujung hidung yang sudah memerah. Sahabatku pun mengangguk mantap mendukungku.Aku menunduk menarik nafas panjang kemudian perlahan-lahan menghembuskannya. Sedikit kuangakat wajah menatap Mas Yudis dan berkata, "sebelum saya jawab, saya ingin bertanya, Mas.""Ya, silahkan," jawab Mas Yudis."Usia saya kan sudah tak muda lagi. Sedang Mas Yudis baru kali ini akan berumah tangga. Nah, kalau nantinya ternyata saya sudah tidak diberi kepercayaan lagi untuk mendapatkan buah hati bagaimana?"Mas Yudis menatapku. Tak ada sorot keraguan di
"Ayah!" panggil Delia lagi sembari mendekati tubuh kurus Mas Ilham.Delia memeluk ayahnya sambil menangis. "Ayah kenapa sakit seperti ini? Ayah cepat sembuh ya!" pinta Delia dalam tangisnya."Maafin Ayah, Sayang. Maafin Ayah!" pinta Mas Ilham menangis memeluk putrinya."Iya, Yah. Ayah harus segera sembuh.""Ayah kangen banget, Sayang. Rasanya seperti bertahun-tahun kita enggak bertemu. Ayah kangen banget!" ungkap Mas Ilham."Iya, Yah. Delia juga kangen banget sama Ayah. Ayah harus sembuh ya, biar nanti kita bisa jalan-jalan sama-sama lagi," bujuk putriku."Iya, Nak. Ayah sayang sekali sama Delia. Maafin sikap Ayah selama ini ya!""Iya, Yah. Delia juga sayang banget sama Ayah. Ayah cepat sembuh ya!""Iya, Sayang."Mereka kembali berpelukan dalam lautan kerinduan. Putriku kembali menangis. Begitu juga dengan Mas Ilham. Aku kembali merasakan cinta Mas Ilham untuk Delia. Seperti dulu lagi.Delia dan Mas Ilham mengurai pelukan mereka. Kini Mas Ilham menatap lurus kepadaku. Mata itu menyoro
"Kok kaya galau, Buk? Bukannya seneng besok mau dilamar?" tegur Hilda saat aku duduk di kantor menatap layar laptop.Mataku beralih menatap Hilda. Kemudian menghembuskan nafas kasar."Delia enggak mau ikut, Hil," ucapku kemudian menjatuhkan dagu bertumpu pada punggung tanganku."Kenapa? Bukannya dia yang semangat banget ngejodohin kamu sama Mas Yudis?" tanya Hilda heran."Mas Ilham di rumah sakit," jelasku."Masih belum baikan juga dia?"Aku mngedikkan bahu. Moodku hancur. Tak punya semangat lagi. Tujuanku melakukan apapun adalah untuk Delia, tapi sepertinya anak itu mulai tak membutuhkanku."Coba nanti aku bilang sama Delia ya?" lanjut Hilda."Enggak usah dipaksa kalau enggak mau." Aku mengingatkan Hilda."Ya Allah, kagak, kagak. Terus kalau dia enggak mau kamu mau batalin rencana kita?" tanya Hilda sambil memajukan kepalanya."Aku bingung, Hil. Tanpa Delia semua yang kulakukan ini untuk siapa?" ucapku lemas."Yaelah, ya untuk kamu sendiri dong, May. Kamu tuh gimana sih! May, dengark
Semua mata kini tertuju pada Mas Gani. Tampak lelaki berwibawa itu menatap Mas Yudis. Senyum penuh arti mengembang di bibirnya. Diikuti anggukan Mas Yudis. Kemudian tangan suami Hilda memegang bahu Mas Yudis."Dia sahabatku, Mas," jawabnya kemudian.Mas Ilham mengangguk sambil tersenyum pada Mas Yudis. Aku bernapas lega. Bukan ingin menutupi kenyataan dari Mas Ilham tapi aku takut kondisinya akan semakin buruk. Mengingat cerita Delia soal ayahnya."Gimana kondisimu, Mas?" tanya Mas Gani."Alhamdulillah ini sudah mendingan," jawab Mas Ilham."Istirahat dan makan yang cukup, Mas, biar cepat pulih." Kali ini Mas Yudis yang berbicara."Iya, terima kasih." Mas Ilham tersenyum tulus pada Mas Yudis. Dari sorot matanya aku lihat Mas Ilham ingin mengungkapkan sesuatu. Tapi ditahannya."Betul tuh yang dibilang Yudis," sambung Mas Gani.Mas Yudis tampak mengamati mantan suamiku saat Mas Ilham ngobrol dengan Mas Gani. Entah apa yang ada di pikirannya. Dalam hati lembut sekali menyusup rasa takut.