Mak Jum menggeser posisi duduknya. Aku pun melakukan hal yang sama. Berada di dekat kaki Riana. Sedang Mas Ilham berada di dekat kepalanya.Lelaki itu memberi kode pada empat temannya. Sejurus kemudian keempat lelaki tadi mendekat ke arah kami. Yang satu menempatkan diri di atas kepala Riana, yang satu di kaki dan di sisi kanan kiri.Lelaki pertama menengadahkan kedua telapak tangannya. Berdoa. Setelahnya mengusap wajah Riana. Kemudian meraba bagian diantara kedua alis Riana. Menekan-nekan bagian itu. Dalam hati aku bertanya-tanya, "Apa yang sedang dilakukan lelaki itu?"Dan aku sangat terkejut melihat benda keemasan keluar dari sana. Hal serupa dia lakukan di kedua pipi Riana beserta hidung dan dagunya. Setelah itu kebagian dadanya. Aku benar-benar tidak menyangka. "Itukah yang dinamakan susuk?" tanyaku dalam hati.Selesai bagian dada lelaki itu beralih ke bagian bawah Riana. Aku benar-benar tak percaya, gadis yang dulu terlihat begitu polos seperti Riana. Memiliki benda-benda sepe
Kuhapus air mata yang membasahi pipi, kemudian menatap mata sendu Delia. Meminta persetujuannya. Aku tak bisa memutuskan ini sendiri seperti saat masih gadis. Kini ada Delia yang harus aku jaga perasaannya.Gadisku tersenyum dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca. Dengan mantap ia mengangguk meyakinkan bundanya. Bersamaan dengan air mata yang jatuh membasahi pipinya.Ekspresi Hilda juga sama, yang tadinya begitu ceria kini matanya pun berkaca-kaca dengan ujung hidung yang sudah memerah. Sahabatku pun mengangguk mantap mendukungku.Aku menunduk menarik nafas panjang kemudian perlahan-lahan menghembuskannya. Sedikit kuangakat wajah menatap Mas Yudis dan berkata, "sebelum saya jawab, saya ingin bertanya, Mas.""Ya, silahkan," jawab Mas Yudis."Usia saya kan sudah tak muda lagi. Sedang Mas Yudis baru kali ini akan berumah tangga. Nah, kalau nantinya ternyata saya sudah tidak diberi kepercayaan lagi untuk mendapatkan buah hati bagaimana?"Mas Yudis menatapku. Tak ada sorot keraguan di
"Ayah!" panggil Delia lagi sembari mendekati tubuh kurus Mas Ilham.Delia memeluk ayahnya sambil menangis. "Ayah kenapa sakit seperti ini? Ayah cepat sembuh ya!" pinta Delia dalam tangisnya."Maafin Ayah, Sayang. Maafin Ayah!" pinta Mas Ilham menangis memeluk putrinya."Iya, Yah. Ayah harus segera sembuh.""Ayah kangen banget, Sayang. Rasanya seperti bertahun-tahun kita enggak bertemu. Ayah kangen banget!" ungkap Mas Ilham."Iya, Yah. Delia juga kangen banget sama Ayah. Ayah harus sembuh ya, biar nanti kita bisa jalan-jalan sama-sama lagi," bujuk putriku."Iya, Nak. Ayah sayang sekali sama Delia. Maafin sikap Ayah selama ini ya!""Iya, Yah. Delia juga sayang banget sama Ayah. Ayah cepat sembuh ya!""Iya, Sayang."Mereka kembali berpelukan dalam lautan kerinduan. Putriku kembali menangis. Begitu juga dengan Mas Ilham. Aku kembali merasakan cinta Mas Ilham untuk Delia. Seperti dulu lagi.Delia dan Mas Ilham mengurai pelukan mereka. Kini Mas Ilham menatap lurus kepadaku. Mata itu menyoro
"Kok kaya galau, Buk? Bukannya seneng besok mau dilamar?" tegur Hilda saat aku duduk di kantor menatap layar laptop.Mataku beralih menatap Hilda. Kemudian menghembuskan nafas kasar."Delia enggak mau ikut, Hil," ucapku kemudian menjatuhkan dagu bertumpu pada punggung tanganku."Kenapa? Bukannya dia yang semangat banget ngejodohin kamu sama Mas Yudis?" tanya Hilda heran."Mas Ilham di rumah sakit," jelasku."Masih belum baikan juga dia?"Aku mngedikkan bahu. Moodku hancur. Tak punya semangat lagi. Tujuanku melakukan apapun adalah untuk Delia, tapi sepertinya anak itu mulai tak membutuhkanku."Coba nanti aku bilang sama Delia ya?" lanjut Hilda."Enggak usah dipaksa kalau enggak mau." Aku mengingatkan Hilda."Ya Allah, kagak, kagak. Terus kalau dia enggak mau kamu mau batalin rencana kita?" tanya Hilda sambil memajukan kepalanya."Aku bingung, Hil. Tanpa Delia semua yang kulakukan ini untuk siapa?" ucapku lemas."Yaelah, ya untuk kamu sendiri dong, May. Kamu tuh gimana sih! May, dengark
Semua mata kini tertuju pada Mas Gani. Tampak lelaki berwibawa itu menatap Mas Yudis. Senyum penuh arti mengembang di bibirnya. Diikuti anggukan Mas Yudis. Kemudian tangan suami Hilda memegang bahu Mas Yudis."Dia sahabatku, Mas," jawabnya kemudian.Mas Ilham mengangguk sambil tersenyum pada Mas Yudis. Aku bernapas lega. Bukan ingin menutupi kenyataan dari Mas Ilham tapi aku takut kondisinya akan semakin buruk. Mengingat cerita Delia soal ayahnya."Gimana kondisimu, Mas?" tanya Mas Gani."Alhamdulillah ini sudah mendingan," jawab Mas Ilham."Istirahat dan makan yang cukup, Mas, biar cepat pulih." Kali ini Mas Yudis yang berbicara."Iya, terima kasih." Mas Ilham tersenyum tulus pada Mas Yudis. Dari sorot matanya aku lihat Mas Ilham ingin mengungkapkan sesuatu. Tapi ditahannya."Betul tuh yang dibilang Yudis," sambung Mas Gani.Mas Yudis tampak mengamati mantan suamiku saat Mas Ilham ngobrol dengan Mas Gani. Entah apa yang ada di pikirannya. Dalam hati lembut sekali menyusup rasa takut.
"Oh, Mas Yudis, silahkan, silahkan!" sapa Mas Ilham seraya tersenyum lebar dan beranjak dari tempat duduknya."Duduk aja, Mas Ilham. Maaf nih malah mengganggu acaranya," ungkap Mas Yudis. Aku bisa menangkap raut wajahnya yang tegang meski dia buat sebiasa mungkin."Ah, enggak kok. Mas Yudis dari mana nih?" tanya Mas Ilham."Sengaja ke sini, Mas. Adista yang ngajak. Katanya ada warung bakso yang enak."Aku tersenyum kaku pada Adista. Begitupun sebaliknya. Aku benar-benar seperti seorang pesakitan. Entah seperti apa wajahku saat ini. Rasa malu, rasa bersalah dan marah bercampur menjadi satu.Kenapa bisa seceroboh ini aku tak menanyakan dengan jelas tujuan Delia? Kalau sudah seperti ini perasaan orang jadi tersakiti. Aku yakin Mas Yudis tak suka melihatku bersama Mas Ilham. Bagaimanapun dia berusaha menutupinya."Ah, bisa aja Mas Yudis ini. Ya sudah, silahkan duduk dulu. Atau mau gabung sama Dek Mayang dan Delia?" tanya Mas Ilham polos dengan menjauh dari tempat duduk.Dahi Mas Yudis men
Sekilas aku menatap wajah teduh Mas Yudis kemudian kembali menekuri meja. Kutautkan kedua jemari. Menata hati untuk menjawab pertanyaannya."Sebelumnya saya minta maaf, Mas. Jika selama ini ada perbuatan saya yang kurang berkenan di hati Mas Yudis sehingga menimbulkan prasangka-prasangka mengenai diri saya."Aku menghirup udara dengan rakus. Terlalu nerves untuk menjawab pertanyaan Mas Yudis tentang perasaanku."Tentang Mas Ilham, bagi saya dia adalah masa lalu. Semua tentangnya sudah kukubur dalam-dalam. Tak mungkin untuk kugali lagi. Saya sudah memaafkannya dan bagi saya semua sudah berakhir. Jika terpaksa saya harus berinteraksi dengannya, itu tak lain karena Delia. Karena bagaimanapun Mas Ilham adalah ayah Delia."Aku memberi jeda. Debar di dada semakin menggelora kala mata teduh itu kini menatapku."Untuk selanjutnya Mas Yudis mau melanjutkan pinangan terhadap saya atau tidak, semua keputusan ada pada Mas Yudis. Saya tak bisa memaksa. Jika mau dilanjutkan saya sangat bersyukur, j
Sekali lagi kutatap wajahku di cermin. Cantik paripurna. Perias pengantin yang dipilih Mas Yudis benar-benar luar biasa. Mampu membuat wajahku lebih bersinar dalam riasan yang tak terlalu tebal. "Makasih ya, Mba. Hasilnya luar biasa!" ucapku pada Mba Sindy yang telah merias diriku di hari bahagia ini."Ah, dasar Mbanya yang sudah cantik dari sononya kok," jawabnya merendah sembari tersenyum menatap hasil riasanya di cermin.Aku berdiri melihat bayangan diri dibantu Mba Sindy. Rasanya seperti mimpi, saat ini aku kembali mengenakan busana pengantin yang begitu indah. Kebaya muslim putih dengan ekor panjang dan semakin keujung semakin melebar. Kuraba taburan mute mutiara dan aneka payet yang menghiasi kebaya ini. Sangat indah.Aku tersenyum sendiri membayangankan akan merenda asa bersama seseorang yang sama sekali tak pernah terbayang dalam kepala. Lelaki sopan yang sangat berhati-hati dalam segala hal. Hatiku berdebar-debar membayangkannya."Mba Mayang sudah siap?" tanya Adista saat me