Sekilas aku menatap wajah teduh Mas Yudis kemudian kembali menekuri meja. Kutautkan kedua jemari. Menata hati untuk menjawab pertanyaannya."Sebelumnya saya minta maaf, Mas. Jika selama ini ada perbuatan saya yang kurang berkenan di hati Mas Yudis sehingga menimbulkan prasangka-prasangka mengenai diri saya."Aku menghirup udara dengan rakus. Terlalu nerves untuk menjawab pertanyaan Mas Yudis tentang perasaanku."Tentang Mas Ilham, bagi saya dia adalah masa lalu. Semua tentangnya sudah kukubur dalam-dalam. Tak mungkin untuk kugali lagi. Saya sudah memaafkannya dan bagi saya semua sudah berakhir. Jika terpaksa saya harus berinteraksi dengannya, itu tak lain karena Delia. Karena bagaimanapun Mas Ilham adalah ayah Delia."Aku memberi jeda. Debar di dada semakin menggelora kala mata teduh itu kini menatapku."Untuk selanjutnya Mas Yudis mau melanjutkan pinangan terhadap saya atau tidak, semua keputusan ada pada Mas Yudis. Saya tak bisa memaksa. Jika mau dilanjutkan saya sangat bersyukur, j
Sekali lagi kutatap wajahku di cermin. Cantik paripurna. Perias pengantin yang dipilih Mas Yudis benar-benar luar biasa. Mampu membuat wajahku lebih bersinar dalam riasan yang tak terlalu tebal. "Makasih ya, Mba. Hasilnya luar biasa!" ucapku pada Mba Sindy yang telah merias diriku di hari bahagia ini."Ah, dasar Mbanya yang sudah cantik dari sononya kok," jawabnya merendah sembari tersenyum menatap hasil riasanya di cermin.Aku berdiri melihat bayangan diri dibantu Mba Sindy. Rasanya seperti mimpi, saat ini aku kembali mengenakan busana pengantin yang begitu indah. Kebaya muslim putih dengan ekor panjang dan semakin keujung semakin melebar. Kuraba taburan mute mutiara dan aneka payet yang menghiasi kebaya ini. Sangat indah.Aku tersenyum sendiri membayangankan akan merenda asa bersama seseorang yang sama sekali tak pernah terbayang dalam kepala. Lelaki sopan yang sangat berhati-hati dalam segala hal. Hatiku berdebar-debar membayangkannya."Mba Mayang sudah siap?" tanya Adista saat me
Mas Yudis berbalik ke arahku, mendekat dengan senyum mengembang. Sementara aku masih menyembunyikan tubuh di dalam selimut. Hanya terlihat kepalaku saja."Apa ACnya terlalu dingin, Sayang?" tanya Mas Yudis lembut. Dipanggil sayang begitu pipiku terasa panas. Dadaku seperti ada yang menggedor-gedor."Oh, enggak, Mas," jawabku gugup.Mas Yudis mengernyitkan dahi, kemudian duduk di tepi ranjang. Tepat di sebelahku."Terus kenapa selimutan sampai atas begitu?" tanyanya heran.Aku menggigit bibir, malu mengatakannya. "Emh, itu, Mas, emh ... aku ... aku enggak ada baju ganti," jelasku malu-malu."Loh, bukannya Adista sudah aku minta buat nyiapin perlengkapanmu?"Tak menunggu jawabanku, Mas Yudis langsung melangkah menuju lemari yang khusus disediakan untukku. Aku menutup mata dengan kedua telapak tangan saat dia membukanya. Penasaran dengan reaksi Mas Yudis aku mengintip dari celah jari.Lelaki itu terlihat memegangi lingerie merah menyala. Senyum lebar tampak di wajahnya. Kemudian menaruh
Menyadari kehadiranku Mas Yudis menoleh sambil tersenyum manis."Sini, Dek! Ini ada Tante Desi adik kandung almarhum ibu dan Nirmala nih!"Aku mendekat sembari tersenyum ramah pada Tante Desi dan Nirmala. Kami pun saling berjabat tangan."Cantik istrimu ya, Yud," komentar Tante Desi."Jelas lah, Tan," gurau Mas Yudis."Mas Yudis mah mentang-mentang sudah punya istri jaim!" protes Nirmala. "Masa aku kangen dia enggak mau peluk aku!" Bibir Nirmala maju beberpa senti. Merajuk.Mas Yudis dan Tante Desi tertawa, aku hanya tersenyum kecil mengimbangi mereka. Merasa bersalah sempat terbersit curiga."Maaf, maaf. Mas enggak mau bikin Mbakmu mikir yang enggak-enggak. Nanti kamu disangaka pacar Mas gimana?" jawab Mas Yudis."Ih, amit-amit. Masa pacar Nirmala om om sih!" komentar Nirmala sambil bergidik ngeri. Membuat semua yang disitu tertawa.Aku mengajak mereka masuk ke ruang keluarga. Kemudian ke dapur menyiapkan minuman untuk mereka. Aku keluar dengan nampan berisi empat gelas orange juice.
Kutuntun masuk putriku yang masih terisak. Mas Yudis mengiringi di belakang. Kududukkan tubuh kami di sofa ruang keluarga."Kalau Delia sudah siap buat cerita, cerita aja, Sayang! Jangan dipendam sendiri!" pintaku."Ayah, Nda," ucapnya sesenggukan."Iya, Ayah kenapa?" tanyaku bingung."Ayah ngenalin aku sama calon istrinya." Tangis Delia langsung pecah. Aku menatap Mas Yudis meminta pendapatnya sembari memeluk Delia. Hatiku sesak dengan masalah seperti ini. Jika tak ada drama perselingkuhan Mas Ilham, tak akan anakku menderita begini.Saat begini ingin rasanya untuk marah. Tapi sama siapa? Siapa yang harus kupersalahkan untuk jalan hidup yang membuat putriku bersedih seperti ini. Memang tak akan mudah bagi seorang anak yang harus menerima perceraian orang tua. Meskipun ia diam, aku yakin dalam hati teramat banyak ganjalan dan pertanyaan.Mungkin orang tuanya bisa memulai lembaran baru dengan pasangan barunya. Tapi, anak? Tak semudah itu bisa menerima kehadiran orang asing dalam hidupn
Mas Yudis terlihat sedang sibuk dengan ponselnya saat aku membuka mata. Di sampingnya berdiri tiang penyangga infus. Kupijit pelipis yang masih berdenyut. Ternyata tanganku terpasang jarum infus."Dek, kamu sudah siuman? Syukurlah," ucap lelakiku. Terlihat kelegaan terpancar dari wajah teduhnya."Aku kenapa, Mas?" tanyaku sambil melihat sekeliling ruangan. Seperti yang kuduga, ini di rumah sakit."Enggak kenapa-napa, Sayang. Kamu kecapean aja, terus pinsan tadi karena ternyata di dalam sini ada dedenya," ucap Mas Yudis sambil mengelus perut rataku.Lelakiku tersenyum lebar kemudian mengecup keningku. Aku masih tak percaya mendengarnya."Beneran, Mas?" tanyaku tak percaya."Bener, Sayang. Makanya kamu enggak boleh cape-cape ya!"Aku langsung memeluk Mas Yudis. Aku sangat bersyukur untuk semua anugrah yang Tuhan beri padaku. Aku baru menyadari memang bulan kemarin aku tidak datang bulan tapi tak begitu kuperhatikan. Aku pikir karena tidak teratur saja."Alhamdulillah, akhirnya," ucapku
Pagi ini tak seperti biasa Delia masih belum keluar kamar. Aku yang sudah duduk di meja makan berniat menemuinya. "Mas, aku ke kamar Delia dulu ya!" pamitku."Iya, silahkan. Pelan-pelan ya kalau tanya-tanya sama dia! Kalau belum mau cerita jangan dipaksa!" pesan Mas Yudis."Iya, Mas."Aku bergegas menuju kamar Delia. Kuketuk pintu kamar yang masih tertutup rapat itu."Del, Bunda masuk ya!" pintaku.Tak ada sahutan dari dalam. Membuatku semakin tak tenang. Pelan kubuka pintu kamar. Tampak putriku masih meringkuk di kasur."Del, kamu sehat, kan?" tanyaku khawatir sambil meraba keningnya. Tak panas. Fisik anakku tak sakit tapi perasaannya pasti sedang sakit."Ada apa, Sayang?" tanyaku sembari mengusap-usap pundaknya.Delia berbalik menghadapku. Mata bengkaknya menatapku."Delia benci sama Ayah, Nda!" ucapnya penuh emosi."Kenapa?" tanyaku bingung."Ayah jahat sama Delia!" serunya.Kuusap-usap punggungnya. Berusaha meredakan emosi Delia."Coba cerita sama Bunda, ada apa?" bujukku.Mas Y
Mas Ilham masih tak sadarkan diri ketika kami membesuk di rumah sakit. Tubuhnya mengalami luka bakar cukup parah. Sedang kepalanya terluka akibat terkena reruntuhan kayu ketika berusaha menyelamatkan Aina anak Wulan. Aina juga mengalami luka bakar meski tak separah Mas Ilham. Sedang ibunya Wulan dan saudaranya yang lain saat kejadian sedang tidak di rumah.Sintya sesenggukan di sisi tubuh Mas Ilham. Wajah tangan dan kaki serta beberapa bagian tubuh mantan suamiku itu dibalut kasa. Matanya masih terpejam. Kening dan pipinya pun terluka akibat api yang menyerang rumah mereka. Sedang wulan duduk sambil mengipasi Aina yang mungkin masih merasa panas pada luka-lukanya.Pemandanga pilu terlihat di ruangan ini. Putriku tak menangis melihat kondisi mengenaskan ayahnya. Dia hanya mematung menatap lelaki yang berulang kali menyakiti perasaannya."Terima kasih, Mas, Mba, sudah menyempatkan datang kesini," ucap Sintya ketika Mas Yudis menyampaikan rasa prihatinnya."Iya, Sin. Semoga Masmu dan pu