Menyadari kehadiranku Mas Yudis menoleh sambil tersenyum manis."Sini, Dek! Ini ada Tante Desi adik kandung almarhum ibu dan Nirmala nih!"Aku mendekat sembari tersenyum ramah pada Tante Desi dan Nirmala. Kami pun saling berjabat tangan."Cantik istrimu ya, Yud," komentar Tante Desi."Jelas lah, Tan," gurau Mas Yudis."Mas Yudis mah mentang-mentang sudah punya istri jaim!" protes Nirmala. "Masa aku kangen dia enggak mau peluk aku!" Bibir Nirmala maju beberpa senti. Merajuk.Mas Yudis dan Tante Desi tertawa, aku hanya tersenyum kecil mengimbangi mereka. Merasa bersalah sempat terbersit curiga."Maaf, maaf. Mas enggak mau bikin Mbakmu mikir yang enggak-enggak. Nanti kamu disangaka pacar Mas gimana?" jawab Mas Yudis."Ih, amit-amit. Masa pacar Nirmala om om sih!" komentar Nirmala sambil bergidik ngeri. Membuat semua yang disitu tertawa.Aku mengajak mereka masuk ke ruang keluarga. Kemudian ke dapur menyiapkan minuman untuk mereka. Aku keluar dengan nampan berisi empat gelas orange juice.
Kutuntun masuk putriku yang masih terisak. Mas Yudis mengiringi di belakang. Kududukkan tubuh kami di sofa ruang keluarga."Kalau Delia sudah siap buat cerita, cerita aja, Sayang! Jangan dipendam sendiri!" pintaku."Ayah, Nda," ucapnya sesenggukan."Iya, Ayah kenapa?" tanyaku bingung."Ayah ngenalin aku sama calon istrinya." Tangis Delia langsung pecah. Aku menatap Mas Yudis meminta pendapatnya sembari memeluk Delia. Hatiku sesak dengan masalah seperti ini. Jika tak ada drama perselingkuhan Mas Ilham, tak akan anakku menderita begini.Saat begini ingin rasanya untuk marah. Tapi sama siapa? Siapa yang harus kupersalahkan untuk jalan hidup yang membuat putriku bersedih seperti ini. Memang tak akan mudah bagi seorang anak yang harus menerima perceraian orang tua. Meskipun ia diam, aku yakin dalam hati teramat banyak ganjalan dan pertanyaan.Mungkin orang tuanya bisa memulai lembaran baru dengan pasangan barunya. Tapi, anak? Tak semudah itu bisa menerima kehadiran orang asing dalam hidupn
Mas Yudis terlihat sedang sibuk dengan ponselnya saat aku membuka mata. Di sampingnya berdiri tiang penyangga infus. Kupijit pelipis yang masih berdenyut. Ternyata tanganku terpasang jarum infus."Dek, kamu sudah siuman? Syukurlah," ucap lelakiku. Terlihat kelegaan terpancar dari wajah teduhnya."Aku kenapa, Mas?" tanyaku sambil melihat sekeliling ruangan. Seperti yang kuduga, ini di rumah sakit."Enggak kenapa-napa, Sayang. Kamu kecapean aja, terus pinsan tadi karena ternyata di dalam sini ada dedenya," ucap Mas Yudis sambil mengelus perut rataku.Lelakiku tersenyum lebar kemudian mengecup keningku. Aku masih tak percaya mendengarnya."Beneran, Mas?" tanyaku tak percaya."Bener, Sayang. Makanya kamu enggak boleh cape-cape ya!"Aku langsung memeluk Mas Yudis. Aku sangat bersyukur untuk semua anugrah yang Tuhan beri padaku. Aku baru menyadari memang bulan kemarin aku tidak datang bulan tapi tak begitu kuperhatikan. Aku pikir karena tidak teratur saja."Alhamdulillah, akhirnya," ucapku
Pagi ini tak seperti biasa Delia masih belum keluar kamar. Aku yang sudah duduk di meja makan berniat menemuinya. "Mas, aku ke kamar Delia dulu ya!" pamitku."Iya, silahkan. Pelan-pelan ya kalau tanya-tanya sama dia! Kalau belum mau cerita jangan dipaksa!" pesan Mas Yudis."Iya, Mas."Aku bergegas menuju kamar Delia. Kuketuk pintu kamar yang masih tertutup rapat itu."Del, Bunda masuk ya!" pintaku.Tak ada sahutan dari dalam. Membuatku semakin tak tenang. Pelan kubuka pintu kamar. Tampak putriku masih meringkuk di kasur."Del, kamu sehat, kan?" tanyaku khawatir sambil meraba keningnya. Tak panas. Fisik anakku tak sakit tapi perasaannya pasti sedang sakit."Ada apa, Sayang?" tanyaku sembari mengusap-usap pundaknya.Delia berbalik menghadapku. Mata bengkaknya menatapku."Delia benci sama Ayah, Nda!" ucapnya penuh emosi."Kenapa?" tanyaku bingung."Ayah jahat sama Delia!" serunya.Kuusap-usap punggungnya. Berusaha meredakan emosi Delia."Coba cerita sama Bunda, ada apa?" bujukku.Mas Y
Mas Ilham masih tak sadarkan diri ketika kami membesuk di rumah sakit. Tubuhnya mengalami luka bakar cukup parah. Sedang kepalanya terluka akibat terkena reruntuhan kayu ketika berusaha menyelamatkan Aina anak Wulan. Aina juga mengalami luka bakar meski tak separah Mas Ilham. Sedang ibunya Wulan dan saudaranya yang lain saat kejadian sedang tidak di rumah.Sintya sesenggukan di sisi tubuh Mas Ilham. Wajah tangan dan kaki serta beberapa bagian tubuh mantan suamiku itu dibalut kasa. Matanya masih terpejam. Kening dan pipinya pun terluka akibat api yang menyerang rumah mereka. Sedang wulan duduk sambil mengipasi Aina yang mungkin masih merasa panas pada luka-lukanya.Pemandanga pilu terlihat di ruangan ini. Putriku tak menangis melihat kondisi mengenaskan ayahnya. Dia hanya mematung menatap lelaki yang berulang kali menyakiti perasaannya."Terima kasih, Mas, Mba, sudah menyempatkan datang kesini," ucap Sintya ketika Mas Yudis menyampaikan rasa prihatinnya."Iya, Sin. Semoga Masmu dan pu
Mas Yudis berlari ke arahku. Tergopoh lelaki itu langsung berlulut di depanku. Sekilas melihat darah yang tercecer. Kemudian kembali beralih menatapku."Sayang, maafin Mas. Maafin Mas!" ucapnya sembari mencium tanganku. Matanya berkaca-kaca saat menatapku. Lelakiku, tak akan mampu rasanya aku hidup tanpa cintanya."Sakit, Mas!" keluhku sembari meringis menahan mulas yang luar biasa."Iya, Sayang, sabar dulu ya!" ucapnya lembut padaku. "Pak Umar! Bi Sumi! Cepat kesini!" teriak Mas Yudis.Tergopoh Bi Sumi dan Pak Umar mendekati kami."Cepat siapkan mobil!" perintah Mas Yudis. Pak Umar langsung berlari ke garasi. Bi Sumi mondar-mandir terlihat begitu panik."Rasanya kaya udah mau keluar, Mas," keluhku sambil mencengkeram kuat lengannya"Iya, Sayang. Tahan ya!" ucap Mas Yudis sambil mengelus-elus perutku.Perutku sudah luar biasa mulas. Dedek seperti sudah enggak sabar ingin keluar. Rasanya sangat sakit ketika di bawah sini terasa ada yang memaksa ingin keluar. Punggungku, pingganggku se
"Sayang! Bangun!" seruku saat mata Mayang terpejam beberapa saat setelah anak kami lahir. Jantungku berdegub kencang melihat wajah istriku pucat pasi dengan mata terpejam. Pikiran buruk silih berganti menghantui."Sayang!" panggilku berusaha mengusir ketakutan yang semakin menyiksa. Kuremas jemarinya yang lemas terkulai. Kuusap-usap puncak kepalanya berharap dia bisa merasakannya.Dokter, bidan serta perawat yang membantu proses persalinan istriku terlihat begitu sibuk ke sana ke mari mengecek kondisi Mayang. Mengecek tekanan darahnya. Memeriksa matanya. Memeriksa detak jantungnya dan lain sebagainya."Sayang, bangun! Lihat anak kita!" bisikku di telinganya dengan suara bergetar menahan sesak. Namun wanitaku tak juga membuka mata. Hari yang seharusnya sangat membahagiakan bagi kami kini terselimuti mendung pekat."Sayang!" panggilku lagi. Mayang masih tetap terpejam. Ingin kuguncang tubuh istriku tapi itu tak mungkin. Aku sangat takut. Takut mata itu tak akan terbuka lagi. "Sayang!" p
"Ya Allah, Yah, ini kan Cleo." Delia menangis sambil mengangkat kucing oren peliharaan Mas Yudis yang telah dipenggal kepalanya."Siapa yang tega melakukan ini sama Cleo?" tanya Adista terlihat begitu shock menatap Cleo yang sudah kaku di tangan Delia dengan darah yang sudah mengering."Bi, siapa orang yang datang ke sini saat kami tak di rumah?" tanya Mas Yudis pada Bi Sumi."Enggak ada orang asing kok, Tuan. Keluarga semua yang ke sini. Apa mungkin orang lain soalnya kan Cleo suka jalan-jalan keluar pagar sampai depan rumah," ungkap Bi Sumi."Bu, dedek dibawa ke atas aja yuk!" pintaku karena merasa ngeri bayiku berada di sini.Hilda memapahku berjalan ke kamar diikuti ibu. Bekas jahitan dan kuretase masih menyisakan rasa sakit di bagian bawah tubuh. Sehingga kami jalan perlahan-lahan."Kamu enggak usah mikir yang enggak-enggak, May! Fokus aja sama babymu ya!" titah Hilda."Tapi siapa ya, Hil? Niat banget itu orang ngerjain kami.""Kalau prediksimu siapa, May?" tanya Hilda."Entahlah