Mas Yudis berlari ke arahku. Tergopoh lelaki itu langsung berlulut di depanku. Sekilas melihat darah yang tercecer. Kemudian kembali beralih menatapku."Sayang, maafin Mas. Maafin Mas!" ucapnya sembari mencium tanganku. Matanya berkaca-kaca saat menatapku. Lelakiku, tak akan mampu rasanya aku hidup tanpa cintanya."Sakit, Mas!" keluhku sembari meringis menahan mulas yang luar biasa."Iya, Sayang, sabar dulu ya!" ucapnya lembut padaku. "Pak Umar! Bi Sumi! Cepat kesini!" teriak Mas Yudis.Tergopoh Bi Sumi dan Pak Umar mendekati kami."Cepat siapkan mobil!" perintah Mas Yudis. Pak Umar langsung berlari ke garasi. Bi Sumi mondar-mandir terlihat begitu panik."Rasanya kaya udah mau keluar, Mas," keluhku sambil mencengkeram kuat lengannya"Iya, Sayang. Tahan ya!" ucap Mas Yudis sambil mengelus-elus perutku.Perutku sudah luar biasa mulas. Dedek seperti sudah enggak sabar ingin keluar. Rasanya sangat sakit ketika di bawah sini terasa ada yang memaksa ingin keluar. Punggungku, pingganggku se
"Sayang! Bangun!" seruku saat mata Mayang terpejam beberapa saat setelah anak kami lahir. Jantungku berdegub kencang melihat wajah istriku pucat pasi dengan mata terpejam. Pikiran buruk silih berganti menghantui."Sayang!" panggilku berusaha mengusir ketakutan yang semakin menyiksa. Kuremas jemarinya yang lemas terkulai. Kuusap-usap puncak kepalanya berharap dia bisa merasakannya.Dokter, bidan serta perawat yang membantu proses persalinan istriku terlihat begitu sibuk ke sana ke mari mengecek kondisi Mayang. Mengecek tekanan darahnya. Memeriksa matanya. Memeriksa detak jantungnya dan lain sebagainya."Sayang, bangun! Lihat anak kita!" bisikku di telinganya dengan suara bergetar menahan sesak. Namun wanitaku tak juga membuka mata. Hari yang seharusnya sangat membahagiakan bagi kami kini terselimuti mendung pekat."Sayang!" panggilku lagi. Mayang masih tetap terpejam. Ingin kuguncang tubuh istriku tapi itu tak mungkin. Aku sangat takut. Takut mata itu tak akan terbuka lagi. "Sayang!" p
"Ya Allah, Yah, ini kan Cleo." Delia menangis sambil mengangkat kucing oren peliharaan Mas Yudis yang telah dipenggal kepalanya."Siapa yang tega melakukan ini sama Cleo?" tanya Adista terlihat begitu shock menatap Cleo yang sudah kaku di tangan Delia dengan darah yang sudah mengering."Bi, siapa orang yang datang ke sini saat kami tak di rumah?" tanya Mas Yudis pada Bi Sumi."Enggak ada orang asing kok, Tuan. Keluarga semua yang ke sini. Apa mungkin orang lain soalnya kan Cleo suka jalan-jalan keluar pagar sampai depan rumah," ungkap Bi Sumi."Bu, dedek dibawa ke atas aja yuk!" pintaku karena merasa ngeri bayiku berada di sini.Hilda memapahku berjalan ke kamar diikuti ibu. Bekas jahitan dan kuretase masih menyisakan rasa sakit di bagian bawah tubuh. Sehingga kami jalan perlahan-lahan."Kamu enggak usah mikir yang enggak-enggak, May! Fokus aja sama babymu ya!" titah Hilda."Tapi siapa ya, Hil? Niat banget itu orang ngerjain kami.""Kalau prediksimu siapa, May?" tanya Hilda."Entahlah
Dimas dan Mas Gani beserta beberapa orang yang tadi mengecek keluar kembali dengan tangan kosong. Menurut mereka ada orang iseng melempar petasan di dalam kaleng sampai kalengnya hancur. Ketika mereka keluar sudah tak ada siapa-siapa di sana.Farel kini di gendongan Hilda. Para undangan kembali tenang menikmati suguhan yang kami sajikan. Meski demikian dalam hati aku tetap khawatir. Aku yakin ada sesuatu di balik semua ini. Bukan sekedar orang iseng.Saat hendak kubawa Farel ke kamar Nirmala datang bersama seorang teman laki-lakinya lewat pintu garasi. Dia langsung mengambil Farel dari gendongan Hilda."Uluh, uluh, ponakan Onti habis dipotong ya rambutnya? Ih, cakep banget sih!" ucapnya gemas sambil mencium dan mencubit pipi Farel."Maaf ya, Mba, telat," ucapnya padaku kemudian."Iya, enggak apa-apa. Suruh duduk itu temannya!" perintahku."Oh, iya, Mba. Kenalin ini Daniel," ucapnya sambil tersenyum lebar.Kami semua yang berada di ruang keluarga berkenalan dengan laki-laki yang datang
"Bagaimana bisa, Sin?" tanyaku penasaran."Waktu Mas Ilham keluar dari rumah sakit, Mba Wulan enggak mau menanggung biayanya, Mba. Bahkan Mas Ilham diminta bertanggung jawab atas kebakaran itu. Selain rumah mereka juga dua rumah lain yang terkena imbasnya. Mas Ilham bingung dan akhirnya meminjam uang ke BANK," jelas Sintya sambil terisak."Ya Allah, Sin," ucapku prihatin mendengar penjelasan Sintya."Ini aku sama Bagas sudah berkemas, Mba. Kami mau cari kontrakan," ucap Sintya tersedu-sedu. "Aku merasa bersalah sama Ibu, Mba," tangis Sintya. "Maafin aku enggak bisa jaga amanah ibu," lanjutnya masih menangis tersedu-sedu membuat hatiku pilu.Seandainya aku belum menikah, pasti aku bisa bebas membantu Sintya. Sebisaku. Tapi kini ada hati Mas Yudis yang harus aku jaga. "Emang sudah ada pembeli rumahnya, Sin?" Kali ini Mas Yudis yang bertanya."Enggak tahu, Mas. Yang jelas orang BANK memberi waktu kami tiga hari untuk berkemas dan pergi dari rumah ini," jelasnya."Pinjaman atas nama siap
"Enggak semua laki-laki akan mudah tergoda wanita lain, Sayang. Lihat! Aku tahan tak menikah sampai hampir empat puluh tahun," ucapnya menenangkanku."Tapi masa iya kucing bisa nolak dikasih daging!" rajukku."Kucing siapa?" candanya."Iiih, Mas!"Lelakiku semakin mengencangkan pelukannya. Menciumi puncak kepalaku."Aku bisa, percayalah!""Tapi aku takut," ucapku dengan buliran bening yang terus menganak sungai. Rasa takut kembali dikhianati begitu melekat. Inikah yang disebut trauma?"Lakukan apapun kalau sampai Mas terbukti berkhianat!" ucapnya mantap. "Mas mengerti perasaanmu tapi percayalah, tak semua laki-laki seperti itu."Kutarik tubuh dari pelukannya, menciptakan jarak untuk melihat sorot matanya."Apa harus dia kerja sama Mas?" tanyaku masih berharap suamiku tak menerima permintaan Nirmala."Coba bantu Mas cari alasan untuk menolak permintaan Nirmala tanpa menyinggungnya!" ucapnya lembut sembari memegangi kedua lenganku. "Beberapa karyawan yang bekerja di kantor itu memang ba
Istri mana yang tak berpikir macam-macam ketika ponsel suaminya ada pada wanita lain? Aku saja sangat jarang memegang ponsel Mas Yudis. Ini Pevita, wanita yang baru dikenalnya sudah mengambil alih ponsel suamiku? Tidak bisa dibiarkan."Maaf, Mba. Mas Yudis lagi enggak ada di tempat," lanjutnya."Oh, iya. Ini kenapa hape Mas Yudis ada di kamu?" cecarku.Tut. Tut. Tut.Kurang ajar! Malah ditutup. Awas aja Mas Yudis!"Kenapa, Bu? Mukanya tegang gitu?" tanya Hilda ketika menghampiri mejaku. Mungkin mau ngajak ke kantin makan siang."Nyesel aku nurutin saranmu," ketusku. "Keluar yuk! Enggak enak ngomong di sini."Kami menuju ruang tamu sekolah yang tak berpenghuni. Kuhempaskan diri di sofa. Disusul Hilda.Kuraupkan kedua telapak tangan di wajah. Pikiranku sudah tak karuan. Ingin rasanya ke kantor Mas Yudis sekarang juga. Tapi mana mungkin. Jam istirahat hanya tiga puluh menit. Habis ini aku masih ngajar sampai jam terakhir. Oh, Tuhan!"Ada apa sih, May?" tanya Hilda melihatku hanya diam de
Malam terasa begitu panjang. Berkali kuhubungi nomor Mas Yudis. Hasilnya masih sama. Tidak aktif. Kemana suamiku? Sedang apa dia? Kenapa sampai selarut ini belum pulang dan ponselnya tidak aktif? Pikiranku sudah seperti benang kusut oleh berbagai tanya yang begitu menyiksa.Ingin kuhubungi anak buahnya tapi aku sungkan karena ini sudah sangat larut. Bayangan buruk tentang Mas Yudis dan Pevita terus bermain-main di kepala. Rasanya kepalaku mau pecah memikirkannya. Baru tadi siang Mas Yudis meyakinkanku. Malam ini kembali membuatku tak karuan.Ingin marah semarah-marahnya. Ingin teriak sekencang-kencangnya. Melampiaskan sesak yang begitu menyiksa. Tapi semua tak mungkin. Aku hanya bisa menangis sendiri. Kesal pada diriku sendiri.Kakiku mondar-mandir tak tentu arah. Gelisah, resah dan marah memporak porandakan pikiran."Ya Allah, dimana Mas Yudis?" Aku berbicara pada diri sendiri. Kuhempaskan tubuh di sofa kamar. Menatapa kaca jendela yang sengaja tak kututup gorden."Ya Allah, jaga sua