Reynan menyeka airmata yang sudah mencapai dagu. Apapun akan dia lakukan demi keselamatan putrinya, termasuk menjatuhkan harga diri.“Saya mohon, selamatkanlah Aslena. Saya tak bisa hidup Tanpanya!”Luruh sudah hati Bayu, seluruh egonya porak poranda melihat derita yang terpampang di hadapan mata. Jelas bagaimana Reynan mengiba demi sebuah nyawa.“Maaf kalau kami hadir di waktu dan tempat yang salah. Maaf atas perasaan yang tidak seharusnya. Setelah ini saya akan melepas semua dan pergi untuk selamanya!”Ayah tertegun melihat sikap Reynan. Bayangan bahwa pria itu jahat dan penghancur kebahagiaan orang lain seketika lenyap. Kini menelusup kesadaran tentang kebenaran masalah ini.Tak ada yang salah di sini, keadaanlah yang telah membelitnya.Pria yang sedang berlutut itu tak pernah sengaja mengganggu hati putrinya. Begitu pula keterikatan gadis kecil itu pada Fahira. Kesalahannya hanya satu, mereka datang di saat yang tak tepat waktunya. *“Ayah, mohon izinkan aku menyelamatkan Aslena.
Di malam hari, Reynan yang menjaga. Sementara oma harus pulang dulu sebab Ledia melahirkan.Lepas melaksanakan rutinitas, Fahira keluar ruangan. Baru saja duduk di bangku biru, seseorang datang.“Makan dulu!”Sesaat, Fahira terpana melihat pria yang tiba-tiba ada di hadapannya. Dandanannya kini mulai membaik. Rambut dan pakaian tertata rapi. Pendar pesona itu kembali bersinar.“Makasih!”Diambilnya nasi kotak yang disodorkan. Tak lama dilahap makanan yang aromanya menggugah selera.Reynan hapal Fahira lebih suka makanan khas Indonesia. Untuk itulah dia selalu memesan khusus dari restoran yang menjajakan kuliner nusantara.Keduanya makan dalam diam. Meski begitu, desiran di dada makin meriuh saja.“Mau tambah?” tanya Reynan perlahan. Fahira cepat-cepat menggeleng sebelum Reynan memaksanya makan di kotak kedua.“Wanita itu lucu. Selalu takut gemuk!” ucap Reynan dengan nada tak lagi pelan. Sekali lagi muncul debaran kencang di dada Fahira saat tawa renyah terpampang nyata di bibir itu.
Pengorbanan Fahira dan Reynan tak sia-sia. Kelelahan siang dan malam dijawab dengan siumannya Aslena. Gadis mungil itu bangun dari koma tepat dua bulan dari kecelakaan.Reynan dan Fahira tak henti mengucap hamdalah. Airmata sudah tak terhitung jumlah yang berjatuhan. Bahagia meliputi seluruh hidup mereka kini.“Aaa!” titah Fahira pada gadis mungil yang masih menutup mulutnya.Aslena terpaksa membuka mulut untuk menyuap bubur yang sebenarnya tak disukai. Perkembangannya cukup pesat setelah siuman. Putri kecil itu sudah bisa duduk kini. “Udah, Ma, kenyang!” rahim Aslena disuapan ketiga. “Makannya harus banyak supaya cepet sembuh!”rayu Fahira sambil tak henti menyodorkan sendok berisi bubur ke mulut putri kecil itu. Sejak siuman Aslena memanggilnya mama. Meski kaget, gadis itu membiarkan saja demi membahagiakannya.“Benar kata mama, makannya harus banyak!” Reynan yang baru saja masuk tersenyum pada dua orang yang sangat dicintai. Ia duduk di samping kiri Aslena. “Iya, deh, Mama, Pa
Kalimat perpisahan yang keluar dari bibir Reynan merejam hatinya sendiri. Matanya tak lepas dari kepala yang tertunduk di depannya. Jelas sekali gadis itu tengah tbergetar tubuhnya. Jika boleh, ingin direngkuh agar tak pernah ada kata pisah. “Maaf telah merepotkan, maaf telah mengganggu ketenangan kalian.”Bulir-bulir bening di wajah putih itu makin menambah siksaan di diri Reynan. Untuk terakhir kali keduanya saling pandang. Ada lara di sana, cinta yang tak tersampaikan, harapan yang terus menghilang. “Maaf jika aku tak bisa kembali ....”Kalimat itu serupa batu yang menghantam dada Reynan kini. Meremukkan segala harapan. Kebersamaan mereka harus benar-benar berakhir kala Farhan datang. Lepas Reynan mengucapkan terima kasih kembali, Fahira berpamitan. Fahira memutar badan, melangkah menuju taksi yang siap mengantar ke bandara. Sebelum membuka handle pintu mobil, ia menoleh. Untuk terakhir kali netranya beradu dengan sorot sendu itu. Binarnya meredup, hampir padam. Satu tetes kem
Lepas tiga jam dari kecelakaan, keluarga Fahira datang. Ibunda Fahira langsung pingsan kala mendapat informasi bahwa putrinya termasuk korban yang terluka parah. Detik demi detik menanti kepastian bagai bom yang siap meledak. Ayah sekuat mungkin menahan amarah pada Reynan yang dianggap biang masalah. Tak mungkin putrinya kecelakaan, jika tak ke Singapura merawat Aslena. Setelah menanti sekian lama, korban kecelakaan tiba di bandara. Pihak yang berwenang membawa mereka ke rumah sakit terdekat.Jerit tangis para wanita membahana di rumah sakit. Sedang para lelaki sibuk menenangkan mereka. Reynan mematung di depan ruang penanganan para korban Ia tak diizinkan masuk untuk melihat ke dalam sebab bukan keluarga. Mama meraung melihat putrinya terbaring koma. Dia pun pingsan sebab tak mampu menahan tekanan jiwa. Kini, ayah harus pula menenangkan istrinya. Setelah mengurus istrinya yang pingsan, pria paruh baya itu keluar untuk sekedar menenangkan perasaan. Namun, bukan ketenangan yang di
Setelah sholat hajat dan berdiskusi dengan istri juga Farhan, Wijaya mengambil keputusan. Rencananya hari ini akan bicara dengan Bayu di apartemen yang disewa Farhan.Ia sudah memasrahkan semua ini pada Allah Yang Maha Kuasa. Jika pun Bayu marah dan tak terima, ia siap menghadapinya.Lafaz doa melembutkan hati diuntai tanpa henti. Berharap Allah meluluhkan hati Bayu hingga mampu menerima solusi menyakitkan ini.Detak jantung mulai berlompatan kala lelaki muda yang dinanti telah datang. Mereka duduk berhadapan di sofa berwarna marun. Setelah basa-basi beberapa menit masuklah pada inti pembicaraan.Nanar, Bayu menatap pria yang amat dihormati. Rangkaian kata yang berisi solusi untuk Fahira bagai lontaran batu berapi, menghantam dan membakar hati.“Maafkan Om,” desis Wijaya lirih. Ia tak sanggup beradu tatap dengan lelaki yang sedang berkalung emosi. Diarahkan pandangan pada dinding bercat abu di depannya.Bayu menghela napas panjang. Berharap apa yang menyumbat di tenggorokan menghilang
Vonis dokter itu seperti gelegar guntur menyambar tepat di telinga Bayu juga calon mertuanya. Raut Pak Wijaya tampak menegang, sedang tangannya meremas celana panjang yang dikenakan.“Kalau terus seperti ini, saya memprediksi Nona Wijaya akan-,”“Apa yang harus kami lakukan?”Ayah buru-buru memotong ucapan dokter tersebut. Tangannya diletakkan di atas meja kerja dokter Andre.“Harus ada stimulus yang benar-benar mampu membangkitkan jiwa rapuh itu. Biasanya itu dari orang yang benar-benar berarti di hatinya.”Tangan ayah bergetar hebat mendengar penjelasan lebih lanjut terkait kondisi putrinya. Wajah itu memucat seiring rahang yang beradu kuat.Tiba-tiba melintas wajah laki-laki yang amat dibencinya. Cepat-cepat ditepis dari benaknya. Tak ingin ia memikirkan bahwa Reynan adalah solusi.Kondisi Bayu tak beda jauh dengan calon mertuanya. Ada derakan hebat di rongga dada. Sedih bercampur frustrasi berpadu di hati kini.Seminggu sudah menemani Fahira dan memberi motivasi pada jiwa tertidur
Lepas puas bicara panjang lebar di tempat itu, ia menemui Salim Wijaya, ayah Fahira. Jejak air mata telah diupayakan hilang dari wajahnya.Mereka duduk bersisian di bangku tunggu pengunjung. Tak ada yang berlalu lalang di sini, hingga bebas bicara hal yang bersifat pribadi sekalipun.Ia datang untuk menyampaikan keputusan terberat dalam hidupnya. Meski itu pahit, demi Fahira, Bayu rela melakukannya.“Saya ikhlas, Om. Jika ini demi keselamatan Fahira. Saya mundur,” ucapnya dengan nada dibuat setenang mungkin. Ketenangan itu srjujurnya berbanding terbalik dengan kondisi hati yang kacau balau.Ayah menoleh, matanya yang redup membulat. Digenggam tangan pemuda itu, lalu direngkuh tubuhnya dalam pelukan. Diusap punggung lelaki yang telah berbesar hati merelakan segalanya. Diucapkan beribu maaf dan sesal hingga air mata tak henti bercucuran.Cukup lama keduanya berpelukan. Pakaian Bayu sama basah dengan baju yang dikenakan ayah. Tak bisa dilukiskan perasaan kedua lelaki ini. Mereka sama-sam