Senyuman Danar terkembang, seiring tangannya yang tadi disembunyikannya dalam saku celana, diangkatnya keluar. Orang lain tentu melihat ini adalah bentuk keramahan. Namun, tidak denganku. Lagi-lagi, Danar ingin menunjukkan betapa dia masih memiliki hak untuk mempermainkan kehidupanku. Langkahku hampir saja surut ke belakang, andai saja Arsyl tidak memindahkan tangannya yang tadi kugandeng ke pinggang ini. Tanpa berniat memamerkan kemesraan kepada Danar, aku kembali meraih tangan Arsyl dan mengeratkan dekapan di sana. “Kamu ... apa kabar?” Danar masih mengulurkan tangannya untuk kusambut. Sapaannya kali ini mengingatkan aku pada apa yang dia lakukan ketika kami berjumpa di cara reuni. Sama seperti hari ini, dia hanya menanyakan kabar. Lalu, saat itu dengan bodohnya aku membuka pintu hati ini lebar-lebar. Namun, semua tak akan terulang sekarang. Sebab Arini yang ada di hadapannya kini, bukan Arini yang dulu begitu mudah hanyut dalam pesonanya. kini, aku berdiri di hadapannya dengan b
Usai membersihkan tubuh seperlunya, aku berdiri di depan cermin. Dalam balutan gaun tidur berbahan satin tipis ini, aku merasa tak ada yang berbeda dengan penampilanku. Namun, pertanyaan Raya tadi terus saja terngiang di benakku. Hamil? Masih menatap diri sendiri, aku meraba perut. Akankah semu akan berubah bila itu benar-benar terjadi? Ketika berkonflik dengan Arsyl beberapa bulan lalu, aku menginginkan hal itu terjadi. Aku berharap segera ‘isi, seperti harapan banyak orang. Tentu saja, hadirnya buah hati kan merekatkan hubungan kami. Akan tetapi, mengapa saat ini aku justru didera takut? Aku menghela napas, masih berdiri di depan cermin di ruang wardrobe. Saat ini, aku dan Arsyl baru saja menapaki hari sebagai suami istri yang sesungguhnya. Kami melalui banyak hari dengan bahagia hingga hari ini. Lalu, akankah semua berubah bila ada anggota baru dalam keluarga ini?Aku mengedarkan pandang ke sekeliling ruang wardrobe. Selama apa pun aku menyelisik tempat ini, hanya pintu-pintu l
Pagi ini, aku sengaja pura-pura tertidur lelap saat Arsyl bangun dan berolahraga. Pertanyaannya semalam membuat aku penasaran, apakah sebenarnya yang terjadi pada diriku sekarang. Bila diingat-ingat, aku memang bekum mengalami siklus bulanan sejak pertama kali kami saling memiliki beberapa bulan yang lalu. Siklus bulananku yang memang sering berantakan, awalnya membuat aku abai. Namun, sepertinya kali ini aku penasaran. Apakah setelah banyak malam berlalub dii antara aku dan Arsyl, akan membuahkan sesuatu? Setelah Arsyl keluar kamar, aku turun dari ranjang dengan amat berhati-hati. Selanjutnya, seperti pencuri, aku mengendap-endap menuju kamar mandi. Aku takut, tiba-tiba Arsyl muncul, mengambil sesuatu yang tertinggal, misalnya. Kukunci pintu kamar mandi dengan perasaan waswas. Lalu, kutarik laci teratas, dari lemari penyimpanan sabun. Jantungku berdetak puluhan kali lebih cepat ketika mendapati sebuah testpack di sana.Alat pendeteksi kehamilan itu adalah benda yang dibawakan Kak A
Hari-hariku selanjutnya masih sama, menenun kabahagiaan yang tengah menerpa. Kadang aku berpikir bahwa masalah yang merundung kemarin itu adalah jalan agar aku bisa menikmati kebahagiaan ini dengan penuh sukacita. Kata pepatah, pasti ada pelangi setelah hujan. Ya, demikianlah hidup yang kujalani sekarang. Sekarang, aku tak lagi memeram diri di kamar sepulang bekerja. Rasa kesepian karena harus menyendiri sepanjang hari ketika di rumah terkikis perlahan. Belakangan ini, aku sering keluar sekadar menyapa tetangga, mengakrabkan diri dengan sekitar. Untuk orang sepertiku, tentu ini tidaklah mudah. Aku sangat berbeda dengan Arsyl yang bisa akrab dengan semua orang, termasuk dengan keponakan kami. Aku cenderung diam dan enggan memulai percakapan lebih dulu. Aku juga tak memiliki banyak teman. Hanya beberapa teman kuliah yang tersisa, juga teman kantor yang itu-itu saja. Bila dikumpulkan, teman dekatku benar-benar bisa dihitung jari saking sedikitnya. Itu sebabnya, aku menganggap ini seb
Tak bermain-main dengan ucapannya, Arsyl benar-benar membawaku menapaki masa bulan madu kami yang tak bisa disebut bulan madu. Dia memesan resort yang sama, benar-benar kamar yang dulu kami tempati untuk menghabiskan waktu dua malam sebagai orang asing, alih-alih suami istri.Kami sampai setelah Magrib. Masih mengenakan baju kantor dan rok span hitam, Arsyl menjamuku dengan makan malam romantis. Meski ini terlihat wow seperti di drama dan film, tapi aku merasa ini aneh. Sudah kubilang, kan, keluargaku dan keluarga Arsyl berbeda? Mungkin, hal semacam ini biasa bagi Arsyl. Namun, ini terlalu berlebihan menurutku. Terlalu indah untuk terjadi di dunia nyata. Bayangkan saja, aku yang berasal dari keluarga biasa dan sederhana, harus makan malam di sebuah meja besar, lilin tinggi, dan aneka menu yang ... sedikit aneh. Aku benar-benar seperti Upik Abu yang diperlakukan bak putri raja oleh Arsyl.Harusnya, ini menjadi hal yang amat berkesan. Namun, sepertinya bayi dalam perutkulah yang membua
Bila ada yang bilang bulan madu itu merupakan hal yang paling berkesan setelah menikah, aku setuju dengan pendapat itu. Sempat menjalani bulan madu semu, akhirnya aku dan Arsyl memiliki kesempatan untuk melakukan hal itu dengan bahagia dan penuh sukacita. Meski di Bali hanya seperti mimpi, tetapi kami menapaki semua hal yang dulu pernah kami lakukan. Bedanya, di bulan madu kedua ini kami menyusuri setiap sisi jalan sambil bergandengan tangan. Kami seperti pasangan dimabuk asmara yang enggan untuk dipisahkan. Tak hanya menyusuri pantai, kami juga mengunjungi pusat oleh-oleh. Minggu pagi sebelum kembali ke Makassar, aku dan Arsyl bahkan menyempatkan mandi di laut, juga sarapan ala-ala selebritis. Dan sungguh, aku dibuat bahagia karena kejutannya kali ini. Bila dulu aku ingin bulan madu semu itu cepat selesai, kali ini berbeda. Langkahku meninggalkan Pulau Dewata seperti terayun tak rela. Aku masih ingin menikmati semua ini, berharap kebahagiaan dan tawa dengan Arsyl terus tercipta. A
“Arsyl bener, Rin. Kamu di sini aja. Lagian, aku nganterin kamu sekalian anterin si Kembar ke sekolah. Searah juga, ‘kan. Jadi, nggak ada yang direpotkan.“ Kak Amy berkata seraya menyuguhkan kudapan untukku. Sore ini, sepulang kantor Arsyl membawaku ke rumah Mama Indi, dengan alasan dia akan pergi untuk suatu urusan di luar kota. Hanya dua hari dia di sana, tetapi Arsyl tak mengizinkanku di rumah saja. Padahal, aku sudah berkata semuanya akan terkendali sampai dia datang. Akan tetapi, seperti yang pernah kukatakan bahwa dia sangat berlebihan, Arsyl tak mengizinkan aku di rumah sendiri. Dia bilang, bersama Mama dan Kak Amy, aku akan lebih terjamin. Arsyl bahkan meminta agar Kak Amy mengantar jemput selama dua hari dia tak di rumah.“Ini apaan, Kak? Wangi banget.” Arsyl mengendus ke arah piring yang masih mengepulkan asap. “Perasaan Kakak nggak pernah bikin beginian.”“Kroket. Tapi dari ubi jalar.” Kak Amy menyuguhkan piring berisi sebuah kroket kepada Arsyl. “Kamu kan bilang kalo Ari
Pagi baru menyapa ketika aku dan Arsyl bersiap. Sekali lagi Arsyl memeriksa bawaan kami, memastikan tak ada yang tertinggal. Sementara itu, tak lupa aku menyiapkan bekal beberapa jenis buah dan buah potong untuk di perjalanan.Larut dalam sukacita, morning sickness yang biasanya menyapaku, kali ini pergi entah ke mana. Rasanya aku sangat bersemangat untuk pergi kali ini. Padahal, biasanya aku tak pernah larut dalam euforia apa pun, meski itu kami akan berlibur ke luar negeri. “Kamu udah ngabarin mama?” tanyaku ketika Arsyl selesai mandi. Semalam, Mama Indi dan Kak Amy kemari hanya untuk menyampaikan banyak pesan. Jangan kecapaian, jangan makan sembarangan, jangan lupa mengucap salam bila masuk ke tempat-tempat tertentu. Meski dunia telah semakin maju, tetapi mitos terkait tempat-tempat tertentu masih dipakai sebagian orang untuk menghindari hal-hal tak diinginkan. Lalu, karena ingin semua baik-baik saja, aku mengiakan semuanya. Meskipun aku dan Arsyl tidak percaya mitos, tetap saja