Tinju yang sebenarnya tidak terlalu kuat itu dihantamkan ke meja di depannya, disusul oleh sapuan telapak tangan yang membuat semua penghuni meja, yang sebagian besar berupa kertas, berlelehan ke lantai."Dasar profesor bodoh! Bagaimana bisa dia menganiaya dan menyekap reporter di rumahnya? Saya kira dia pintar karena embel-embel profesor di depan namanya itu, ternyata gelar itu cuma pajangan! Dasar bodoh!"AKBP Neco murka. Ia baru saja menerima kabar perihal dugaan penganiayaan dan penyekapan yang dilakukan Profesor Gani, yang dilaporkan langsung oleh korban sendiri, dari bawahannya."Sial! Sial! Kenapa ini harus terjadi di hari pertama Kila masuk kantor setelah diskors? Pasti si kurang ajar itu akan senang hati memburunya. Apa yang harus kulakukan? Apa saya harus menutupi kasusnya lagi?"Suara ketukan pintu menghentikan gumaman geram AKBP Neco. Melirik sebentar pada berbagai barang yang terkapar di lantai ruangannya, ia memilih untuk tidak peduli. Toh, orang y
"Sudah jam segini tapi Profesor belum pulang juga. Kira-kira apa yang terjadi, ya?"Bento bergumam sendiri di pintu pagar markas barunya, memelototi kegelapan. Dua anak buahnya yang berjaga di pintu saling membuang tatapan resah tapi tidak berniat untuk ikut berkomentar.Berjalan mondar-mandir di depan pintu dengan ekspresi risau yang jarang dipertontonkan, Bento layaknya seorang istri yang tengah menunggu suaminya pulang kerja."Apa tidak sebaiknya kita ke kampus untuk mencari tahu, Bos?"Salah satu preman penjaga pintu, dengan tato macan mengaum yang mendominasi lengan kirinya, memberi ide. Bento berhenti sesaat kemudian menoleh, mempertimbangkan saran yang sebenarnya sudah ia pikirkan dari tadi itu."Tapi, apa tidak berbahaya kalau kita keluar dari sini sementara polisi mungkin sedang mencari kita karena artikel soal kejadian di rumah makan XX kemarin?"Yang ditanya terdiam, tidak sanggup menemukan jawaban cerdas untuk menanggapinya. Sadar bahwa anak
Matanya membeliak. Sebagai implementasi rasa geram, dinding putih yang tak tahu apa-apa pun dihantamnya, menghamburkan perih ke seluruh tangannya. Pita memberinya tatapan prihatin, dan Kila, si pembawa kabar, yang tak sanggup melihatnya, lebih memilih bertatap muka dengan lantai, juga dengan pikiran yang berlarian."Kok sidangnya bisa digelar secepat ini, Kak? Emang mereka udah dapat bukti apa?"Kila memandang Kala, yang buku-buku tangannya cidera akibat mengecup dinding tadi."Gue juga nggak tahu, Ka. Sakil yang bilang ama gue tadi abis interogasi Profesor Gani. Tapi, kalo liat jaksanya si Irsita sih, gue nggak heran. Gue yakin bukti yang disebut-sebut itu semuanya buatan dia."Gusar tingkat gawat, Kala mondar-mandir di lorong kantor polisi yang hampir kosong itu."Nggak bisa gini. Kenapa Fatih harus disidang padahal dia jelas-jelas bukan pelakunya. Profesor Gani bilang apa Kak soal keberadaan Neta? Apa dia ngasih tahu Kakak tempat dia nyembunyiin Neta? Kit
"Menyelamatkan Neta sekarang? Selama persiapan kita sudah selesai itu tidak masalah. Tapi, kenapa tiba-tiba kamu menyarankan hal seperti itu?"Sambil duduk di kursi kerja mahalnya, Fikri memberi tatapan ingin tahu pada Herli, sebagai manusia yang baru saja melontarkan ide itu padanya, menuntut penjelasan yang masuk akal."Karena menurut informasi dari anggota kita yang ditugaskan memantau, Profesor Gani dan preman botak licin itu tidak ada di markas sekarang. Preman botak bersama beberapa anak buahnya terlihat meninggalkan markas beberapa menit lalu. Saya rasa, malam ini pengamanan di markas itu tidak dilakukan dengan kekuatan penuh, sebab dua pemimpin mereka tidak di sana. Bagaimana menurut Anda, Pak?"Bersandar di kursi mahalnya, Fikri tampak serius mempertimbangkan usul Herli."Tapi, bagaimana dengan persiapan kita? Anggota dan persenjataan sudah beres? Tim cadangan bagaimana?"Herli menegapkan badannya sebelum menjawab."Anggota dan persenjataan suda
Tok, tok, tok!Ketukan di pintu itu telah dimulai sejak lima menit yang lalu dan Neta masih bersikeras mempertahankan posisinya di dekat jendela. Matanya menjelajahi ruangan, memindai benda apa lagi yang bisa digabungkan dengan kumpulan kursi dan meja yang sudah dialihfungsikan menjadi pengganjal. Tatapannya terparkir pada tempat tidur kayu berukuran minimalis yang hanya cukup dihuni satu tubuh miliknya yang terserak berseberangan dengan pintu, persis di samping jendela.Tok, tok, tok!Suara ketukan terdengar lagi. Melirik panik ke arah pintu, lalu ke tempat tidur, Neta memantapkan hati sekaligus menghimpun kekuatan yang bisa dikeluarkan oleh sosok wanitanya dan mulai mendorong tempat tidur itu mendekati pintu.Tok, tok, tok!Bunyi ketukan yang awalnya pelan itu segera berkembang menjadi keras, tapi tempat tidur itu hanya bergeser sekian milimeter dari lokasinya semula. Keringat sudah menyusuri jidat Neta, walaupun laut telah mengirimkan udara dingin ke dala
"Kakak yakin atasan Kakak bakal bantu kita?"Kila menaikkan bahunya dan, sambil bersedekap menanti apapun yang akan terjadi, menggunting jaraknya dengan kaca satu sisi yang terhampar di depannya dengan cara mencondongkan tubuh. Kala yang sebenarnya merasa respons kakaknya tidak meyakinkan mencontoh tindakan Kila.Di depan mereka, tepatnya di ruangan sebelah, AKBP Neco duduk dengan wajah tertekan di bawah satu-satunya lampu yang tergantung. Berkali-kali ia menoleh ke salah satu sisi ruangan yang tak terjilat cahaya, tahu pasti bahwa dua saudara yang dibencinya tengah menontonnya.Pintu di belakang AKBP Neco terkuak dan menampilkan sosok pria gagah berusia sekitar 50-an tahun, dengan ekspresi kuyu yang tampak jelas, dikawal oleh polisi berjaket bomber. Namun, begitu melihat bahwa yang menunggunya adalah AKBP Neco, raut muka pria itu tiba-tiba menjelma agak riang.Sebaliknya, AKBP Neco justru melempar tatapan terang-terangan tidak suka pada polisi berjaket bomber,
Herli menepikan mobilnya di depan sebuah rumah makan yang bertatap muka dengan laut. Sepuluh mobil hitam yang mengikutinya selama perjalanan berserakan mencari tempat parkir masing-masing, tempat yang bisa memantau langsung keadaan di markas tapi tidak dianggap mencurigakan.Walaupun masih agak bingung, sekaligus mulai murka karena Herli justru singgah di rumah makan saat mereka harus menyelamatkan Neta secepatnya, Citra ikut turun dari mobil, disusul oleh Fikri yang mempertontonkan ekspresi yang persis sama.Sepertinya tidak berniat memberikan penjelasan apapun kepada para penumpangnya, Herli langsung memasuki rumah makan, melewati area yang disesaki oleh meja kursi dan hanya dihuni oleh dua pengunjung saat itu, yang memberi Herli tatapan bertanya, terus ke arah ruang pegawai di belakang.Santai saja, seolah Herli tengah mengunjungi rumahnya sendiri, ia menaiki tangga besi yang terletak di samping pintu ruang ganti pegawai, masih dibayangi oleh Citra dan Fikri, yan
"Jendelanya tertutup. Tidak ada tempat mengintip, jadi saya tidak tahu bagaimana keadaan di dalam."Neta mendengar suara preman pertama di depan pintunya. Walaupun berisiko tinggi meninggalkan sisi tempat tidur yang merupakan lokasi strategis untuk bertahan, ia tetap melakukan itu demi menutup jendela. Untung saja si preman kedua pun tidak mendobrak lagi, sehingga benda-benda di belakang pintu masih tergeletak di tempatnya."Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?"Preman kedua kedengaran bertanya, yang disambut dengan kesenyapan sesaat."Mungkin kita harus berusaha lebih kuat lagi mendobrak pintu ini. Cewek itu mungkin tidur dan sengaja meletakkan barang-barang di belakang pintu supaya tidak mudah dibuka."Sebagai respons, preman kedua memasang kuda-kuda dan mengarahkan bahu kirinya untuk bertatap muka dengan pintu."Satu, dua, tiga!"Preman kedua menghitung dan, mengikuti arahannya, preman pertama menubrukkan bahu kanannya ke pintu. Suara seper