"Jadi ... dia masih jadi pemilikmu ya?" tanya Eidar. Tatapannya kecewa melihat Alessa saat itu sementara Ia hanya bisa menjaga Alessa tanpa bisa memiliki hatinya. Alessa mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajah Eidar. "Kakak bisa berhenti sampai di sini jika mau tapi aku sendiri juga belum bisa kembali pada Kak Jovian," ucap Alessa. Ah, ternyata dia sendiri hidup bersama luka, batin Eidar saat menyadari tatapan sendu Alessa tida berubah meski sudah bertemu dengan Jovian. "Aku mengerti." Eidar berucap sembari meraih tangan Alessa yang menyentuh wajahnya. Eidar tidak akan tega meninggalkan Alessa sendiri menghadapi hidupnya. "Aku akan menemanimu sampai anak-anak lahir," ungkap Eidar. "Jangan memaksakan diri, aku sendiri tak bisa memilihmu atau Kak Jovian," ucap Alessa tersenyum kecil.Eidar mengusak-usak puncak kepala Alessa. "Semoga kelak kau memilihku tapi daripada itu, ayo kita makan kebetulan tadi aku mampir membeli cheesecake." Eidar menunjukkan paper bag berisi satu cetak k
"Mampirlah sebentar, akan ... aku obati lukamu," ucap Alessa.Jovian menghantarkan Alessa kembali. Seperti kata Alessa, dia memang mengobati Jovian. Alessa dengan perut bulat besarnya sulit bergerak untuk mengambil kotak obat-obatan alhasil Jovian yang membantunya. Jovian dengan lembut memimpin tangan Alessa untuk duduk bersama di atas tatami. "Sofa, di rumah ini tidak ada?" tanya Jovian kaku.Alessa menggeleng. Rumah tradisional Jepang peninggalan Kakek dan neneknya ini tidak memiliki sofa kecuali tatami lembut yang terpasang di ruang tamu. "Ibu suka membiarkan peninggalan Kakek dan Nenek tanpa merubahnya," ucap Alessa padahal aslinya Rinka harus berhemat untuk menabung biaya kelahiran cucunya. Alessa mendadak sendu karena merasa jadi beban ibunya lagi.Jovian berusaha menghibur Alessa dengan mengusap kepalanya. Jovian bukan Pria yang gampang bermulut manis apalagi menghibur Alessa dengan kata-kata namun dia Pria yang kaku dan dingin. "Maaf aku tidak bisa menghiburmu," ucap Jovian.
"Benar Tuan Muda Heide, Alessa pernah mengandung anak pertama kalian kemudian gugur akibat ulah licik ibumu, jadi ... apakah kau masih bertanya-tanya mengapa Alessa kabur darimu?" Eidar menegak satu gelas minumannya lagi. Ia menertawakan kebodohan Jovian yang saat ini tengah terkejut usai mendengar ucapannya.Jovian membelalakkan kedua mata birunya. Alessa yang indah itu sudah rapuh sejak ia mencoba memilikinya namun Jovian tidak menyadarinya. "Apa ... lagi yang kau tahu?" sergah Jovian mengeraskan rahangnya setiap mengucapkan kata-katanya. "Alessa, pernah tinggal bersamaku karena Ayah tak mau meninggalkannya mati mengenaskan." Eidar kembali berucap sembari menceritakan semuanya yang ia ketahu, pertemuannya dengan Alessa yang sekarat, dan hari-hari Alessa yang berusaha sembuh dari traumanya. Semua itu ulah dari Julia dan Eidar membeberkan semuanya. Eidar tertawa hambar. "Meski kau tak lagi menganggapku temanmu, Alessa memberi tempat yang aman untukku ... dia terlalu baik untukmu, ma
"Kamu pasti bisa, melalui semua ini," ucap Jovian.Alessa mengangguk lemas, kedua matanya redup oleh air matanya sendiri. "Anak-anakmu, anak-anak kita." "Semangat, demi anak-anak kita," ucap Jovian tersenyum.Alessa disela-sela berjuang melawan rasa sakit ini menatap Jovian. Ia menatap kedua mata biru Jovian yang cerah. Kedua mata biru yang Alessa cintai darinya. Ah, Tuhan ... berikan kedua mata itu pada anak-anakku, batin Alessa. Ia meraih wajah Jovian yang kala itu duduk disamping Alessa sembari menggengam tangan Alessa. "Jika ... dunia ini jadi tempat terakhirku, titip Luciel dan Elio ya," ucap Alessa tersenyum haru.Jovian menggeleng. Ia tak mau berkat kebodohannya yang pernah lalai akan melihat Alessa pergi begitu saja. "Apa katamu itu? bercanda bukan?" sahut Jovian tertawa pelan. Tawa yang tak seiras dengan sorot mata pedihnya. "Luciel dan Elio, kamu memikirkan nama anak-anak kita sampai sejauh itu ya? kita akan hidup melihat Luciel dan Elio tumbuh," ucap Jovian. "Luciel dan E
"Kalau begitu, jangan sampai ada orang lain yang masuk ke kamar Alessa karena aku akan ke dalam," ucap Jovian. Pria itu memasuki kamar perawatan Alessa kemudian duduk di samping Alessa yang masih terlelap.Alessa pucat pasi dan terbaring lemah di atas ranjang kasur ruang rawat VVIP. Alessa terbangun saat hari menjelang malam. "Aku ... anak-anakku!" jerit Alessa terperanjat. Ingatan terakhirnya berjuang untuk melahirkan kedua bayi kembarnya."Alessa, tenang, kamu di Rumah Sakit dan Si Kembar bersama Rinka-san di Klinik," ucap Jovian lembut. Alessa menatap Jovian yang bertampang lelah. Pria itu tampak letih tapi tersenyum kecil pada Alessa. Alessa pun mengangguk padanya. "Aku sudah melahirkan Si Kembar." Alessa berucap dengan tangis haru."Iya, kamu melahirkan bayi-bayi yang indah, terima kasih sudah berjuang untuk mereka," sahut Jovian. Dia tak mencoba meraih Alessa dalam pelukannya atau mengusap Alessa seperti sebelumnya, melainkan duduk terdiam dengan tatapan yang sulit diartikan.A
"Alessa, kamu kenapa?" tanya Eidar tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan ini. Eidar baru tiba tapi sempat berpas-pasan dengan Julia yang baru keluar dari ruang rawat Alessa. Eidar tahu Julia tak pernah punya niatan baik pada Alessa.Alessa yang berpegangan pada ranjang tiba-tiba merasa tubuhnya lemas. Hendak ambruk tapi langsung ditangkap oleh Eidar. Wajah Alessa memucat sendiri dan rembesan cairan merah tampak mulai mengalir pelan di kedua pahanya. "Oh Ya Tuhan, Alessa!" Eidar menekan bell pada sebelah ranjang Alessa.Alessa menarik kerah kemeja Eidar untuk mendekat padanya. "Dengar, aku tidak tahu harus meminta pada siapa tapi setelah ini bantu aku, lari dari Jovian," ucap Alessa dengan napas tersenggal-senggal.Eidar mengangguk. "Serahkan padaku."Mina dan seorang Perawat tiba kemudian melihat Alessa yang sudah pucat pasi. Mina menghela napas. "Book an Or, please," ucap Mina pada Perawat. Mina gantian melihat Alessa yang pucat pasi tapi raut wajahnya penuh kemurkaan. "Alessa kamu
Denting bunyi suara lonceng, terus menerus saling berbunyi. Beranda sebuah rumah dengan lonceng-lonceng kecil yang bergantung pada langit-langitnya, sahut menyahut berbunyi oleh tiupan angin yang berhembus dengan lembut.Sebuah kamar hening di dalam rumah itu terbaring seorang Wanita muda yang masih betah memejamkan kedua matanya bertahun-tahun lamanya. Berbaring diatas ranjang dengan seprai serba putih, tubuhnya diselimuti oleh kain putih juga. Berkas cahaya dari jendela membuat perlahan kedua kelopak matanya itu mulai terbuka dengan pelan, hingga bulu mata lentik itu bergerak mengikuti kedipan kedua kelopak matanya.Pukul enam pagi-pagi, tak lama setelahnya alarm itu sudah berbunyi selama tiga menit. Berbunyi sudah tiga kali berulang, sampai ketika alarm itu berhenti berbunyi. Itupun berkat usaha sebuah tangan yang menapik dengan kasar, padahal sepasang tangan itu halus dan putih tapi tak terdapat kelembutan disana. Rasa kantuk yang belum kunjung usai, tubuh kecil yang terbaring dia
"Rasanya sumpek, risih dan lelah, hehe." Alessa tersenyum sumringan. Eidar mengelus puncak kepala Alessa. "Kamu sampai mewarnai rambut jadi cokelat, omong-omong ... aku mendapatkan surat dari ibumu, isinya dia sangat merindukanmu," ucap Eidar."Kalau rindu kenapa Ibu seperti mendukung Kak Jovian?" Alessa cemberut. "Alessa, ibumu benar karena bagaimana pun Jovian masih suami sahmu meskipun memakai batasan waktu kontrak tapi pernikahan kalian tetap sah." Eidar berucap sambil menyodorkan tempat bekal makan yang ia buat, isinya nasi goreng dan cumi tepung. "Lagi pula tak ada orang tua yang menolak memiliki menantu sempurna seperti Jovian," ucap Eidar. Alessa meraih tempat bekal makan itu namun menatap kedua mata obisidan Eidar yang sendu. Alessa tahu jika Jovian merendahkan dirinya sendiri. Dulu Alessa pun sama, memandang Jovian puncak keberhasilan yang diidam-idamkan semua orang. Alessa bahkan merasa tak pantas bersanding dengannya. "Kak, kamu bisa mengatakan jika kamu menyukaiku tap