"Jadi bagaimana, Pak. Apa pembangunan hotel di sini bisa kita lanjutkan?"Gilang menatap rekannya itu dengan kesal, kalau saja dia tidak menjunjung tinggi tentang profesional, sudah dia tonjok laki-laki yang ada di depannya itu."Kau tahu, kalau aku membatalkannya, sudah pasti aku rugi karena pembangunan itu sudah setengah jalan. Lalu kalau aku melanjutkan pembangunan itu, apa kamu pikir aku bakal percaya lagi sama kamu?" tanya Gilang sinis."Saya berani bersumpah, Pak, saya tidak pernah mengambil dana itu, mandor itu benar-benar tidak bertanggung jawab karena sudah membawa kabur uangnya," kata pria itu menunduk."Tetap saja di sini kamulah yang patut untuk disalahkan. Aku ingin melanjutkan pembangunan, tapi yang pegang uangnya bukan kamu."Pria itu mengangguk paham. "Saya memakluminya, Pak. Sebenarnya ada yang ingin saya katakan pada Anda, sepertinya saya sudah tidak bisa memegang tanggung jawab ini, karena saya akan pulang untuk menemui istri saya," jelas pria itu."Istri? Memangnya
"Kamu yakin mau pulang?" tanya Diana lesu."Iya, Gilang minta agar aku secepatnya untuk pulang, bentar lagi dia akan sampai sini," ucap Kasih memberitahu."Jadi kamu kasih tahu alamatnya ke dia?""Iya, emangnya kenapa?""Ya ... nggak apa-apa sih, cuma kenapa nggak nunggu acara sampai selesai aja sih," keluh Diana."Sebenarnya sih penginnya kayak gitu, tapi nggak tahu kenapa tiba-tiba Gilang memintaku untuk segera menemuinya. Kayaknya ada hal penting yang mau dia katakan deh, aku juga bingung. Padahal waktu itu dia beri aku izin pergi selama seminggu."Diana mendesah berat. "Ya sudahlah, mau gimana lagi.""Minta tolong pamitin ke calon mertua kamu ya," pinta Kasih."Kenapa nggak pamit sendiri aja, nanti dibilangnya nggak sopan loh."Kasih menggeleng. "Nggaklah, mending kamu aja. Dia itu nyeremin, dan kayaknya memang aku nggak cocok sama dia. Kalau ngelihat aku tuh sinis banget, kayak nggak suka sama aku. Jadi kamu aja ya nanti yang bilang.""Iya deh iya, itu kayaknya ada mobil parkir d
Kasih mengernyit heran karena sedari tadi dia selalu melihat Gilang tampak melamun. Dia begitu penasaran, sebenarnya apa yang tengah pria itu pikirkan. Apa dia tengah memikirkan istrinya? Ah, bisa jadi. Entah mengapa mengingat hal itu membuat hati kecil Kasih menjadi nyeri."Mau aku buatkan kopi?" tawar wanita itu.Lihatlah, bahkan Kasih berbicara dengan pelan saja bisa mengagetkannya. Sebenarnya apa yang terjadi?Gilang menatap Kasih sambil tersenyum tipis, lalu arah pandangnya beralih ke perut Kasih."Tidak usah, lebih baik kamu duduk di sini di dekatku. Aku tidak ingin membuatmu kelelahan," kata pria itu lembut.Meskipun kebingungan, Kasih tetap menuruti perintah pria itu."Kamu capek?" tanya Kasih hati-hati."Hemm, sepertinya begitu. Bayangkan saja, empat jam aku baru nyampe, lalu lanjut menjemputmu," kata Gilang lirih, dia menidurkan kepalanya di pundak Kasih. "Uh, nyaman sekali," gumamnya."Kalau capek sebaiknya kamu tidur saja."Gilang menggeleng, dia malah semakin mengeratkan
Di dalam taksi itu Kasih cepat-cepat membersihkan ponselnya, baik chat, panggilan atau apapun itu dengan Gilang segera dia hapus, buat jaga-jaga kalau nanti Dani akan memeriksa ponselnya."Kenapa aku harus seheboh ini, padahal dia juga tengah menyembunyikan sesuatu dariku, kan?" gerutu wanita itu.Beberapa saat kemudian taksi itu sudah sampai di pelataran rumah Kasih, jantung wanita itu berdegup begitu kencang ketika melihat suaminya tengah duduk di teras depan, sepertinya tengah menunggu dirinya.'Aduh, kok jadi deg-degan gini sih,' batin Kasih."Kita sudah sampai, Mbak," tegur supir taksi tersebut."Ah ya," ucap wanita itu setengah tergagap.Kasih merogoh tasnya, kemudian memberikan uang pada supir taksi itu."Kembaliannya ambil aja ya, Pak.""Makasih ya, Mbak.""Sama-sama, Pak."Kasih pun akhirnya keluar dari taksi tersebut, jantungnya semakin ketar-ketir ketika pandangan mereka saling bertemu.Dan ketika Kasih sudah berada di depan pria itu, Dani masih saja memperhatikannya dengan
[Aku merindukanmu.]Kasih tersenyum tipis ketika mendapat pesan dari Gilang. Dengan cepat dia membalas pesan dari pria itu.[Tidak! Kamu hanya merindukan tubuhku.]Lagi-lagi wanita itu tersenyum ketika membayangkan raut wajah kesal Gilang saat ini.[Oh, ayolah. Apa yang kamu katakan memang benar, tapi pikiranku nggak melulu ke arah sana. Aku merindukanmu, aku rindu dengan suara kamu, tawamu, dan juga perutmu.]Kasih mengerutkan keningnya, ketika membaca kata yang terakhir yang Gilang ketik.'Perut? Apa dia salah ketik? Atau typo?' batin wanita itu bertanya-tanya.[Perut?]Kasih tak sabar menunggu balasan dari Gilang, dia sedikit dongkol karena Gilang membalas pesannya cukup lama.[Ya, aku sangat menyukai perutmu, sangat seksi. Ada masalah?][Nggak, hanya saja terdengar cukup aneh.][Jadi, kapan kamu akan datang ke sini? Pokoknya aku nggak mau ya kamu terus-terusan nempel sama suami kamu itu!]Ketika membaca pesan itu, Kasih merasakan aura mengintimidasi dari Gilang.[Aku tidak bisa pe
"Di sini tempat kerja kamu?" tanya Dani sambil menurunkan standar motornya."Iya, emangnya kenapa?""Aku pikir rumahnya mewah, seperti istana. Nggak tahunya majikan kamu tinggal di apartemen," gumam pria itu."Dia itu memang orang kaya, tapi akhir-akhir sini sering tinggal di apartemen.""Memangnya majikan kamu itu laki-laki atau perempuan?" tanya Dani penasaran."Ya laki-laki sama perempuan, pertanyaan Mas itu aneh. Ya udah sana, Mas pulang aja," usir Kasih.Dani menggeleng, dia tetap dengan pendiriannya, ingin mengantar wanita itu sampai pintu apartemen, sekaligus dia juga penasaran seperti apa majikan istrinya itu."Aku mau antar kamu sampai pintu masuk, emangnya nggak boleh kenalan sama majikan kamu?"Wajah Kasih mendadak pias, dia tidak mungkin membiarkan Dani masuk ke dalam sana dan membiarkan Dani bertemu dengan Gilang, yang ada nanti rahasianya bisa terbongkar. Tapi, jika saja dia ngotot mengusir Dani, yang ada malah menambah pria itu curiga."Ya udah, terserah Mas aja," ucapn
"Kasih, bisa kamu jelaskan ini maksudnya apa?" tanya pria itu lagi.Kasih menunduk, tak berani menatap pria itu, karena menurutnya Gilang begitu menakutkan."Kenapa diam saja? Ayo jawab!" bentak pria itu lagi."Maaf, Gilang. Sebenarnya tadi aku sudah melarangnya agar tidak usah mengantarku, tapi dia ngotot, takutnya nanti kalau aku tidak memperbolehkannya, dia malah curiga sama aku, makanya aku ... izinkan dia buat ikut," kata Kasih lirih, wanita itu menelan salivanya dengan susah payah.Gilang menyugar rambutnya dengan kasar. "Aku memakluminya, tapi bagaimana sekarang. Apa aku harus membukakan pintu untuknya?"Kasih menggeleng cepat. "Jangan! Nanti yang ada malah dia curiga sama kita," larangnya dengan suara tegas."Terus membiarkan dia berdiam diri seperti itu?""Nanti juga dia capek sendiri, pulang sendiri.""Tapi aku nggak setuju dengan pendapatmu, sebaiknya aku bukakan pintunya," usul Gilang."Jangan! Aku mohon jangan, please." Mata Gilang melotot ketika Kasih loncat dari ranjan
"Jadi kamu selama ini sering menginap di rumah bos kamu?" tanya Dani dengan tatapan tajam.Kasih gelagapan, dia bingung harus menjawab apa. Gilang benar-benar keterlaluan, karena seenaknya saja berbicara seperti itu."Memangnya dia bicara seperti itu?" tanya Kasih balik."Iya, dia bilang kalau kamus sering menginap katanya, karena dia sering lapar tengah malam, benar begitu?""Iya," jawab Kasih singkat."Kok kamu mau sih nginap di sana. Apalagi katanya istrinya jarang di rumah?" tanya Dani dengan raut wajah jengkel.Kasih mengedikkan bahunya acuh. "Namanya juga kerja, apa yang dia suruh ya harus dipatuhi. Kenapa jadinya mas yang nyolot, emangnya ada masalah?""Kamu tahu nggak sih, laki-laki kalau ditinggal istrinya cukup lama, dia itu bisa khilaf."Kali ini Kasih memberanikan diri menatap pria itu."Lalu bagaimana jika suami yang meninggalkan istrinya seorang diri? Apakah di sana dia juga khilaf?" tanya Kasih sinis.Dani mengusap wajahnya dengan kasar. "Kasih, aku sedang menasehati ka