"Kamu apain anak saya?" Tiba-tiba seorang pria dengan kumis tebal merangsek dan merampas Melly dari rangkulan Riki. Matanya tajam menatap Riki seolah ingin menerkam. "Maaf, Om. Saya tidak apa-apain anak om," jawab Riki tanpa takut. Karena memang itu kenyataannya. "Tapi kenapa dia seperti ini? Padahal berangkat tadi dia baik-baik saja." Tentu papa Melly tidak terima melihat anaknya yang tampak pucat itu. Tubuhnya juga sedikit lemas dengan mata yabg bengkak. Riki menatap Melly sejenak. Memang kondisi Melly tampak sedikit berantakan dengan wajah yang pucat. Ataukah dia sakit? "Kenapa diam? Jawab!!!" bentar pria yabg bernama Baskoro itu. "Pa, sudah. Jangan ribut, Pa. Malu di dengar tetangga," ucap mama Melly yang bernama Sekar itu. Tangannya tampak mengusap lembut surai anaknya yang berantakan. "Biar, Ma. Papa tidak terima anak papa dipermainkan seperti ini. Dia bukan mainan," ucap Baskoro penuh penekanan di setiap kalimatnya. "Tapi, Om. Saya_" "Jangan banyak alasan. Sekarang k
Baskoro dan Sekar tidak bisa membendung kesedihannya. Putri mereka yang sudah sembuh dari penyakitnya, kini kembali depresi. Padahal ia sudah menjaga putrinya sebaik mungkin, tapi apa mau dikata. Sekar mengusap tangan Melly dengan lembut seraya menatap sang putri penuh kesedihan. Entah apa yang terjadi pada Melly sampai seperti ini. Pundaknya diusap lembut oleh Baskoro seolah menenangkan istrinya. "Ma, sabar. Pasti Melly akan kembali sembuh seperti sedia kala. Mama jangan menangis lagi," ucapnya menenangkan. Jauh di lubuk hatinya Baskoro juga hancur melihat putrinya kembali terbaring lemah dengan infus menancap di tangannya. Sekar hanya mengangguk. Tapi netranya menatap lekat pada putri yang tengah terpejam itu. "Mama hanya bisa berharap semoga putri kita bisa mendapatkan pengobatan yang baik untuk kesembuhannya lagi, Pah. Hati Mama terluka melihat dia seperti ini." "Ya, Ma. Kita akan memanggil psikiater yang dulu menangani Melly. Papa yakin Melly akan sembuh s
"Mas Riki." Senja terkejut ketika melihat Riki pagi-pagi sudah berada di kontraknya. Ia melihat ke sekeliling Riki, yang ternyata ia sendirian. "Bina tidak ikut, Mas?" Riki menggeleng. "Memangnya kamu pikir aku dari rumah?" tanya Riki balik. Senja mengangguk polos. "Lalu, apa kamu akan membiarkan mas mu ini hanya berdiri di depan pintu tanpa kamu minta untuk masuk?" Riki mulai kesal karena Senja tidak membiarkan ia masuk. Padahal ia ingin sekali mengistirahatkan tubuhnya karena semalaman begadang menunggu Melly siuman. "Oh, iya. Aku lupa." Senja cengengesan. Sampai akhirnya Senja menggeser tubuhnya dan mempersilahkan Riki untuk masuk ke dalam. Sampai di dalam, Riki langsung merebahkan tubuhnya di atas Sofa. "Mau minum apa, Mas? Kopi atau teh?" tanya Senja yang berdiri di samping sofa, dimana Riki merebahkan tubuhnya. "Kopi saja," jawab Riki yang sudah memejamkan matanya. Merasakan kenyamanan yang luar biasa. Senja melangkah ke dapur, membuat mi
"Kau!!!" Wajah yang awalnya bersinar cerah, tiba-tiba menjadi mendung dan siap memuntahkan berjuta kubik ton air hujan. Bahkan disertai angin puting beliung yang siap melahap apapun yang berada di depannya. Benji kelabakan mendapat tatapan mengerikan dari sang atasan. "Maaf, Pak. Saya mengganggu." "Sudah tahu mengganggu. Sana pulang???" usir Langit. Dia memutar tubuhnya dan merebahkan dengan paksa agar Benji segera keluar dari kamarnya. Bahkan, ia menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Benji menggeleng tak percaya. Siuman dari koma, ternyata tidak mengubah sama sekali sifat Langit yang menyebalkan. Seolah makin menjadi dan susah untuk ia kendalikan. Terpaksa Benji melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arah Langit. Biarlah Ia mendapatkan penolakan, asalkan ia tahu bagaimana kondisi Langit saat ini. Karena jujur ia sangat berduka ketika melihat Langit terbaring koma di rumah sakit. Ia seolah kehilangan sosok pemimpin yang selama ini ia segani dan ia sayangi.
"Ayo, cepetan, Mas!!!" Senja menarik tangan Riki untuk turun dari mobil. Setelah makan siang, Senja minta Riki untuk mengantarkannya untuk menjenguk Melly di rumah sakit. Awalnya Riki menolak karena dengan alasan sibuk bekerja. Tapi Senja akhirnya bisa membujuk Riki untuk menjenguk Melly dan berjanji akan sebentar saja di rumah sakit. Sampai akhirnya Riki bersedia. "Ck, aku malas, Nja." Senja berkacak pinggang. "Sudah jauh-jauh ke sini malah bilang males. Drama banget sih kamu, Mas." Senja memasang wajah galak. Wanita itu dibuat kesal karena kalimat Riki yang plinplan. "Kalau bukan kamu yang minta, tentu aku tidak akan kemari," jawab Riki dengan muka kesal. "Ya sudah ayo!! Apa perlu aku ambilkan kursi roda untukmu dan mendorongmu sampai ke kamar inap Melly." Riki mendelik mendengar kalimat Senja. "Ngawur. Emang aku sakit keras apa!!" "Makanya ayo!!!" Akhirnya Riki mau juga keluar dari mobilnya dan melangkah masuk ke dalam gedung rumah sakit. Sen
Mereka semua menjauh, termasuk Senja yang mengikuti langkah Sekar dan Baskoro untuk menuju ke sofa, yang tak jauh dari ranjang Melly. Mereka ingin memberikan ruang pada keduanya. Terutama untuk Melly demi kesembuhan mentalnya. Mereka sadar jika yang ditunggu Melly sampai kembali depresi adalah Riki. Dan bodohnya baru mereka sadari saat Riki sudah pergi. Sekar meraih tangan Senja dan menggenggamnya erat. "Terima kasih karena kamu sudah membawa kebahagiaan Melly ke sini. Sekali lagi Tante berhutang budi kepadamu, Senja." Sekar berujar dengan tulus. Senja mengangguk seraya tersenyum. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi melihat keajaiban ini. Lantas ia menoleh ke arah Riki yang tampak tersenyum seraya menyuapi Melly makan siang. Dari raut wajahnya saja Senja bisa menangkap ada sinar kebahagiaan di sana. Terlebih Melly juga tak hentinya menatap ke arah Riki dengan benar yang sama. "Mereka sangat serasi, Ma. Benarkan, Nja?" Reflek Senja menoleh. Senja m
"Ben, kita mau kemana?" tanya Senja yang nampak bingung mau kemana. Pasalnya, Benji hanya diam seraya fokus pada kemudinya. Sama sekali tidak mau menjawab pertanyaan Senja. Sempat kesal, tapi ketika Benji menjawab. "Ini perintah, Bu. Saya hanya menjalankan tugas." Membuat bibirnya terkatup rapat. Ia memilih menikmati perjalanan meski tak menampik jika jantungnya berdebar lebih kencang. Ia bisa menebak pasti Benji membawanya pada Langit. Entah kenapa jika mengingat pria itu, seketika membuat bibirnya melengkung menahan rindu. Setelah kepulangan Langit dari rumah sakit, Senja belum sempat menjenguk sang kekasih karena kesibukannya. Ia penasaran bagaimana reaksi Langit saat nanti melihatnya. Mobil yang dikendarai Benji berhenti di depan gerbang warna hitam menjulang. Senja bisa menebak jika itu adalah kediaman sang kekasih. Seketika tubuhnya terasa panas dingin membayangkan bagaimana saat ia bertemu dengan mama Langit nanti. Setelah melewati taman yang lua
Yuke bisa bernafas dnegan lega ketika Langit sudah meneguk obatnya. Ternyata benar jika Langit sudah waktunya menikah agar ada pawang yang selalu menjaga dan merawatnya jika sedang sakit seperti ini. "Minum obat saja harus menunggu Senja." Yuke mencibir. "jika Senja tidak datang kemari hari ini, apa kamu akan libur meminum obatmu?" tanya Yuke dengan tatapan yang masih tak bersahabat ketika menatap putranya. Langit mengangguk. "Jika bisa, aku adalah sakit setiap hari asal Senja selalu berada di sisi." Langit menjawab dengan cengengesan. Membuat tangan Yuke gatal untuk menjambak rambut Langit sekilas. "Auw!! Sakit, Mah!!" Langit mengusap rambutnya. "Makanya jangan bandel!!" balas Yuke ketus. Mungkin ia cemburu melihat Langit yang manja pada Senja. Sejatinya, sang mama juga ingin Langit masih bermanja dengan dirinya meski kelak sang putra sudah punya pasangan. Yuke meninggalkan Senja di kamar Langit. Meninggalkan mereka berdua untuk saling melepas rind