"Ayo, buka mulutnya lagi," kata Senja yang masih menyuapi Langit sarapan. Dengan telaten dia menyuapi makanan ke dalam mulut pria itu. Bahkan, perawat laki-laki yang Yuke sewa sebelumnya sudah dipulangkan karena tugasnya sudah digantikan oleh Senja. Dan itu juga atas permintaan Langit guna menunjang kesembuhannya. Meski Yuke tau jika itu hanya akal bulus putranya untuk bisa dekat dengan kekasihnya. Yuke juga yakin jika kunci kesembuhan Langit adalah Senja, bukan yang lainnya. Saat ini mereka duduk berdua di sofa yang berada di kamar Langit. Langit sendiri seolah enggan melepaskan Senja walau hanya sejenak saja. Tangannya sibuk melingkar di pinggang dan tubuh menghadap ke arah Senja. Seolah ia ingin menguasai Senja sepenuhnya dan tidak menerima penolakan seperti sebelumnya. "Bagus. Good boy!!" puji Senja ketika Langit membuka mulutnya tanpa ia minta. Nampak sangat lahap, mungkin masakannya juga enak, pikir Senja. Karena kata perawat Langit sebelumnya,
"Brengsek kamu benji. Jangan sembarang kalau bicara. Gue hanya_" Tubuh Langit terhuyung saat Benji memaksa masuk ke dalam. Setelah sadar, dengan panik Langit menyusul langkah Benji masuk ke dalam. Terlihat tubuh Benji membeku ketika melihat Senja sudah duduk manis dengan membawa piring di tangannya. Seperti tengah menunggu untuk menyuapi sang bos besar. Senja terkejut melihat Benji yang terdiam seperti itu. "Hai, Ben," sapa Senja dengan kikuk. Sungguh, dia sangat malu kepergok dalam keadaan seperti ini. Entah bagaimana pikiran Benji terhadapnya saat ini. "Ha_hai, Bu Senja," sapa Benji balik. Bahkan, keringat dingin sudah membasahi keningnya saatnya. Aura mencekam tiba-tiba menyelimuti. Glek... Ia menelan ludah kasar ketika ia salah berpikiran. "Mampus gue!!" maki Benji dalam hati. Ketika ia hendak berbalik untuk kabur, ia hampir saja terjatuh karena Langit sudah berada tepat di belakangnya. Reflek ia melangkah mundur ketika melihat tatapan bringas
"Ngapain kamu panggil-panggil Senja? Memangnya kamu kenal?" tanya Yuke dengan ketus. Matanya melotot seolah ingin keluar dari rongganya ketika menatap pria di depannya. "Maaf, Tante. Saya tidak ada urusan sama, Tante," balasnya tak kalah sengit. Senja mendelik melihat mantan suaminya itu. Ya, yang memanggilnya tadi adalah Han, mantan suaminya yang kini tiba-tiba berdiri di depannya. Memang dunia tak selebar daun kelor. Sejauh apapun ia pergi, tapi kenapa hampir setiap saat bertemu dengan Han? Ia sampai heran. Entah takdir macam apa ini. "Hey, kamu jangan kurang ajar ya. Dia calon menantu saya, bukan istrimu lagi." Yuke membalas tak mau kalah. Bahkan sampai berkacak pinggang di deoan Han. Han tersenyum sinis. "Masih calon, Tante. Belum tentu menjadi istri anak tante, bukan? Dunia berputar. Bisa saja pernikahan mereka akan batal." Tangan Senja reflek terkepal mendengar kalimat yang Han lontarkan. Senja maju dan langsung menampar pipi Han dengan keras. Ia
"Kamu tidak apa-apa, Sayang?" tanya Yuke dengan wajah khawatir. Ia membantu Senja untuk membersihkan bajunya yang kotor di bagian belakang. Senja terbengong ketika mendengar kalimat makian itu keluar dari bibir sang calon mertua. "Nja, kenapa kamu malah bengong?" Membuat Senja tersentak dari lamunannya. Ia menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, Mah. Senja hanya terkejut saja." "Tidak usah kaget. Memang mama seperti ini. Bar-bar dan suka bikin onar," jawab Yuke yang mengerti kenapa Senja sampai terdiam seperti itu. Senja tersenyum pelik. Sungguh, ia tidak menyangka akan hal itu. "Sudah, ayi kita pergi. Tidak usah meladeni wanita gila seperti dia." Yuke menarik tangan Senja untuk melangkah menjauh. Meninggalkan Sherly yang masih terduduk di lantai dengan perasaan dongkol tidak terima. "Awas kamu, Nja!!!" serunya tanpa malu ketika menjadi pusat perhatian banyak orang di sana. Yuke sampai tak habis pikir kenapa ketika mereka ingin
"Apa?" Langit terkejut ketika sang mama menceritakan apa yang mereka alami ketika berada di mall. Dari gangguan mantan suami sampai mantan sahabat Senja yang masih saja berbuat jahat pada calon menantunya. Tetapi ada sesuatu yang Yuke tutupi, apalagi jika bukan pertemuan dengan mantan sahabatnya. Jika Yuke menceritakannya semua, yang pasti Langit akan menertawakannya, bahkan bisa saja menjadi bulan-bulanan Langit yang tidak menyukai para mantan sahabatnya. Sekarang ia pun setuju apa yang dikatakan oleh putranya itu. "Iya. Mama pun ikut geram melihat Han yang sampai mengancam akan membawa Bina. Kasihan banget Senja. Dia langsung shock mendengar ancamannya Han." Langit mengepalkan tangannya seolah ingin sekali menghajar Han yang mencoba merebut Senja kembali dari sisinya. Entah dimana rasa malu pria itu saat ini. Setelah menyakiti Senja sedemikian rupa, kenapa sekarang malah ingin kembali? Sungguh, Langit tidak akan membiarkan itu terjadi. Senja hanya milikn
"Kamu kenapa, Mas?" tanya Melly yang ikut panik ketika Riki menerima panggilan, entah dari siapa. Riki menoleh sekilas. Kemudian mengusap wajahnya kasar. "Dari Senja," jawabnya kemudian. Melly bernafas lega. Ia pikir apa sampai Riki panik seperti itu. "Kamu bikin aku takut tau tidak, Mas!! Bikin panik saja." Riki tersenyum tipis sembari kembali fokus pada kemudinya. "Senja mau pulang ke rumah ibu, minta dijemput. Apa aku tidak boleh panik? Sedangkan di sampingku sekarang ada kamu, entah bagaimana reaksi dia melihatmu dan status kita sudah berubah dalam sekejap." Riki mengatakan uneg-unegnya. Meski ini terlihat simple, tapi menurutnya tidak. Jika Senja mungkin bisa mengerti, lalu bagaimana dengan ibunya, pasti ibunya itu kecewa. Melly menatap penuh bersalah. "Maaf ya, Mas. Karena ciuman itu kita dipaksa untuk langsung menikah tanpa persiapan apapun sebelumnya," kata Melly dengan sendu. Matanya menatap ke luar kaca mobil untuk mengurangi satu rasa yan
"Apa?" Fatimah menutup mulutnya tak percaya. "Sejak kapan kalian menikah? Kenapa ibu tidak kalian kasih tau?" Fatimah masih saja meneror Riki dengan pertanyaan. Dari nada bicaranya saja sudah ketara sekali jika Fatimah kecewa karena di saat hari bahagia sang putra ia tidak hadir di samping untuk menemaninya. Fatimah terduduk di sofa. Tatapan matanya nanar. Matanya juga memerah menahan sebah di dada. Seketika Riki merasa bersalah. Digerakkan kakinya untuk mendekat ke arah sang ibu dan bersimpuh di bawah kakinya. Memohon ampun dengan apa yang terjadi sebelumnya. "Maafkan Riki bu yang tidak memberikan kabar sebelumnya. Ini mendadak dan terlalu cepat. Riki tidak ingin Ibu kepikiran, sehingga Riki lebih memilih menyembunyikan pernikahan ini." Fatimah menoleh. Apakah kamu tidak menganggap ini Ibumu sehingga berita besar seperti ini harus kamu sembunyikan dari ibu? Jika kamu memberitahu ibu, dengan cara apapun Ibu pasti akan menemanimu untuk menuju kehidupan baru.
"Mas, aku takut ibu tidak bisa menerimaku sebagai menantunya. Aku harus bagaimana, Mas. Aku takut!!" Melly masih saja terisak dalam tangisnya. Membuat Riki bingung harus bagaimana. Selama ini tidak pernah sekalipun ia bersipendapat dengan sang ibu. Wajar jika dia juga belum memiliki jalan keluar. "Kamu sabar ya. Pasti kita akan mendapatkan jalan keluarnya." Tangannya mengusap punggung istrinya dengan lembut. Senyuman manis walau terkesan dipaksakan. Itu semua demi menenangkan hati Melly yang tengah berkecamuk. Riki menghela nafas panjang. Entah bagaimana ia harus menjelaskan pada sang ibu agar beliau mengerti. "Maafkan aku, Mas. Andai aku dulu_" "Ssst, sudah. Jangan dibahas lagi, Mel. Aku mohon. Aku bisa menerima masa lalumu, jadi aku mohon jangan ungkit lagi. Meski semua orang tidak menyetujui hubunganmu denganku, aku tidak perduli. Sekarang kamu adalah tanggung jawabku dan prioritas utamaku." Mendengar kalimat suaminya, membuat hati Melly tersentuh. Di