"Apa?" Fatimah menutup mulutnya tak percaya. "Sejak kapan kalian menikah? Kenapa ibu tidak kalian kasih tau?" Fatimah masih saja meneror Riki dengan pertanyaan. Dari nada bicaranya saja sudah ketara sekali jika Fatimah kecewa karena di saat hari bahagia sang putra ia tidak hadir di samping untuk menemaninya. Fatimah terduduk di sofa. Tatapan matanya nanar. Matanya juga memerah menahan sebah di dada. Seketika Riki merasa bersalah. Digerakkan kakinya untuk mendekat ke arah sang ibu dan bersimpuh di bawah kakinya. Memohon ampun dengan apa yang terjadi sebelumnya. "Maafkan Riki bu yang tidak memberikan kabar sebelumnya. Ini mendadak dan terlalu cepat. Riki tidak ingin Ibu kepikiran, sehingga Riki lebih memilih menyembunyikan pernikahan ini." Fatimah menoleh. Apakah kamu tidak menganggap ini Ibumu sehingga berita besar seperti ini harus kamu sembunyikan dari ibu? Jika kamu memberitahu ibu, dengan cara apapun Ibu pasti akan menemanimu untuk menuju kehidupan baru.
"Mas, aku takut ibu tidak bisa menerimaku sebagai menantunya. Aku harus bagaimana, Mas. Aku takut!!" Melly masih saja terisak dalam tangisnya. Membuat Riki bingung harus bagaimana. Selama ini tidak pernah sekalipun ia bersipendapat dengan sang ibu. Wajar jika dia juga belum memiliki jalan keluar. "Kamu sabar ya. Pasti kita akan mendapatkan jalan keluarnya." Tangannya mengusap punggung istrinya dengan lembut. Senyuman manis walau terkesan dipaksakan. Itu semua demi menenangkan hati Melly yang tengah berkecamuk. Riki menghela nafas panjang. Entah bagaimana ia harus menjelaskan pada sang ibu agar beliau mengerti. "Maafkan aku, Mas. Andai aku dulu_" "Ssst, sudah. Jangan dibahas lagi, Mel. Aku mohon. Aku bisa menerima masa lalumu, jadi aku mohon jangan ungkit lagi. Meski semua orang tidak menyetujui hubunganmu denganku, aku tidak perduli. Sekarang kamu adalah tanggung jawabku dan prioritas utamaku." Mendengar kalimat suaminya, membuat hati Melly tersentuh. Di
"Ibu, itu_" "Apa? Apakah ibu tidak boleh mengetahui apa yang terjadi apa anak ibu?" "Bukan seperti itu, Bu!!" "Tapi kenapa?" Fatimah mulai terisak dalam diam. Membuat Senja semakin bersalah. "Kamu yang selalu ibu manja dan sayang, dengan begitu mudahnya orang lain hampir mencelakaimu. Apakah ibu harus diam saja saat nyawamu terancam?" Pertanyaan ibunya sontak membuatnya terdiam. Entah Senja harus menjawab bagaimana untuk menjelaskan pada ibunya. "Ibu," Senja meraih tangan itu dan mengecupnya agar emosi bisa mereda. Pelan-pelan ia akan mengatakan apa yang ia alami agar ibunya tidak salah paham lagi. "Apakah ibu harus diam saja ketika wanita itu malah menjadi istri saudara kamu?" Jujur, Senja terkejut dengan apa yang ia dengar barusan. Tapi untuk saat ini bukanlah waktunya untuk mendapatkan jawaban dari pernikahan dadakan saudaranya. "A_apa ibu bilang? Mas Riki menikah dengan Melly?" tanya Senja dengan nada tidak percaya. Terakhir bertemu me
"Dia ada dikamar, Bu. Sedang istirahat," jawab Riki. Ia merasa lega karena kedatangan Senja membawa penerang di gelapnya jalannya. Jika saja Senja tidak datang, entah bagaimana nasib pernikahannya dengan Melly sekarang. Tapi Ia sudah bertekad tidak akan meninggalkan Melly apapun yang terjadi. Karena harga diri seorang pria adalah ikrar janjinya. "Maafkan ibu yang sempat egois, Nak." Riki menggeleng. "Kita sama-sama bersalah, Bu. Karena tidak adanya komunikasi diantara kita. Sampai salah paham ini terjadi," jawab Riki lagi. Ia sama sekali tidak mempersoalkan sikap ibunya. Wajar, ketika hati seorang ibu terlanjur kecewa dengan anaknya. Riki juga bersyukur ibunya tidak sampai melontarkan kata-kata yang tidak baik dari bibirnya. Karena ia percaya setiap apa yang dikatakan ibunya adalah sebuah doa. "Pasti dia takut ya sama ibu yang tiba-tiba meninggalkannya tanpa pamit seperti tadi." Fatimah seketika mereka bersalah dengan sikapnya pada Melly. Riki menggaru
Malam ini terasa spesial bagi Riki karena, untuk pertama kalinya ia berada di kamar dengan seseorang yang beberapa hari ini sudah sah menjadi pendamping hidupnya. Kamar yang biasanya ia tempati sendiri, sekarang nampak berbeda dengan adanya seperangkat alat makeup yang tersusun rapi di depan tiolet mini yang sengaja Riki angkat dari kamar sang mama. Karena itu Melly yang meminta karena bentuknya lucu, begitu menurut istrinya. Tak lama kemudian pintu kamar mandi terbuka, muncullah seorang wanita dengan jubah mandi yang terpasang sempurna di tubuhnya yang ramping dan mulus itu. Rambut yang diikat dengan handuk sampai terlihat seperti menara mini. Riki sedikit takjub melihatnya. "Kenapa kamu melihatku sampai seperti itu, Mas?" tanya Melly saat mendapati tatapan Riki yang begitu menenggelamkan. Riki gelagapan. Membenarkan posisi duduknya di sisi ranjang. Merubah wajahnya agar tidak terlalu kentara jika dia sangat terpesona ketika melihat istrinya. "T
Ciuman yang awalnya penuh dengan perasaan, lama-lama menjadi penuh tuntutan. Melly sampai kewalahan menghadapi ganasnya permainan bibir suaminya yang membuatnya lumpuh, sampai Riki menopang tubuhnya dan menuntunnya menuju ke ranjang tanpa melepas tautan bibir mereka. Tubuh besar Riki langsung menindih Melly penuh nafsu. Nafasnya berderu seolah-olah hasrat sudah berada di ubun-ubun. "Ma_mas," Tanpa sadar bibir Melly mendesah ketika bibir suami turun dan menikmati leher jenjang miliknya. Bermain-main di sana dengan menggigit bahkan mengecup kuat-kuat sampai menimbulkan bekas merah-merah. "Mas, aku malu!!" kata Melly dengan mendesah. Wajah Riki terangkat. "Malu kenapa, sayang?" jawab Riki dengan suara serak menahan hasrat. "Plis, Jangan membuat tanda kepemilikan di leherku. Aku malu sama ibu maupun Senja ketika mereka melihat bekas merah itu." Riki tersenyum tipis. "Buat apa kamu malu? Kita sudah halal melakukannya, bahkan mendapatkan pahala. Justru
"Mbak Melly belum bangun, Bu?" tanya Senja ketika sampai di dapur. Ibunya menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Belum. Mungkin pecah perawan tadi malam makanya kecapekan." Fatimah terkekeh mendengar kalimatnya sendiri. Senja mengernyit. Entah kenapa ibunya sekarang tampak sangat aneh. Biasanya kalem, tapi sekarang kenapa berubah tengil dan ceplas-ceplos seperti ini. "Ibu kenapa sih kog aneh begini? Biasanya Ibu tidak seperti ini lho." Senja protes dan berniat mengembalikan ibunya kembali ke sedia kala. Fatimah yang tengah menggoreng nasi goreng untuk sarapan pun menghentikan gerakan tangannya. Ia menoleh ke arah Senja dengan kening berkerut penuh tanya. "Kamu ngomong apa sih, Nja? Ibu dari dulu juga seperti ini. Apakah kamu baru tahu?" "Iya. Senja baru tahu jika Ibu sekarang sudah berubah. Entah apa maksud ibu berkata seperti itu. Apakah ini pengaruh ibu-ibu tukang gosip atau mungkin Ibu memang kesepian karena tidak ada yang menemani Ibu di hari tua."
Sementara di tempat kerja, perasaan Langit mendadak tidak tenang. Entah kenapa pikirannya hanya tertuju pada Senja. Terlebih pagi ini Senja sama sekali belum menghubunginya sekedar menanyakan sudah sarapan atau belum seperti biasanya. "Bapak kenapa? Atau perlu sesuatu?" tanya Benji yang melihat gelagat Langit yang aneh menurutnya. Langit hanya menggeleng. Lantas ia meraih ponselnya untuk menghubungi Senja sekedar menanyakan kabarnya hari ini agar hatinya bisa kembali tenang. Tapi sayangnya ponsel Senja tidak aktif. "Kenapa ponselnya tidak aktif? Tumben!!" "Kenapa, Pak?" Benji yang tengah duduk di depan Langit mendengarnya bergumam. "Aku telepon Senja tapi kenapa nomornya tidak aktif." "Bapak bisa menghubungi pak Riki untuk menanyakan kabar bu Senja. Siapa tahu Pak Riki bisa menjawab kegelisahan anda hari ini." Langit segera menghubungi Riki untuk menanyakan kabar Senja. Dan Riki mengatakan jika Senja sedang ke pasar serta membawa ponselnya. "Sial, kenapa pe