POV Author “Paman? Ada apa Paman ke sini, pagi-pagi begini,” kata Ragil.Pagi itu ia duduk berhadapan dengan Leo—pamannya, yang sengaja mendatangi kamarnya. Mereka tampak bicara serius tentang, keadaan yang dialami oleh Ragil. Sangat memilukan menurutnya sebab sebelum datang melamar Mina ke rumah orang tuanya, Ragil sempat berkelahi dengan seseorang yang ia tahu bernama Firman.Leo tidak setuju dengan sikap Ragil yang tidak jujur soal keadaan itu pada calon istrinya. Apalagi tentang identitas pribadi Ragil—yang ditutupi selam ini—sehingga keponakannya itu diperlakukan tidak pantas oleh orang lain.“Mau sampai kapan kamu seperti ini?” kata Leo, ia menatap serius keponakannya yang masih mengompres wajahnya dengan air es agar bengkak di pipinya hilang.“Paman bicara soal apa ini? Kalau tentang siapa diriku sebenarnya, aku tidak perlu mengatakannya pada siapa pun karena itu tidak penting!” “Itu artinya, kamu rela kalau ada orang lain merendahkanmu seperti yang dilakukan laki-laki
POV Author “Kalau kamu menikah nanti, jangan tinggal satu rumah lagi dengan Mela, biar istrimu bisa tenang, kamu tahu Mela ngeyelnya kayak apa?” Setelah memberikan nasihat seperti itu, Leo pun keluar dari kamar Ragil. Ia pergi mengajak anak dan istrinya untuk berkeliling hotel menikmati udara pagi di desa itu yang sangat jarang ia temui.Sementara Ragil hanya menatap keluarga kecil itu dari atas balkon di mana kamar hotelnya berada. Ia memikirkan Mina dan pakaian yang dikenakannya, untuk lamaran kemarin malam adalah baju pemberiannya. Sebenarnya Ragil ingin baju itu dipakai istrinya saat pembacaan akad nikah mereka hari ini. Namun, ia menghargai Mina dan segala keputusannya, dan ia terlihat begitu cantik dengan pakaian pemberiannya itu. Soal pakaian memang tidak penting adanya, maka ia merelakan saja. Terserah Mina mau pakai baju yang mana saja. Ia sudah harus bersyukur sebab semuanya berjalan sebagai mana mestinya.Namun, ia belum mau menjawab pertanyaan yang diutarakan Mina tent
POV AUTHOR “Gil! Mbak Mina belum tahu siapa sebenarnya aku, kan?” tanyanya penasaran.Mendengar pertanyaan itu Ragil yang sudah hendak beranjak ke kamar mandi pun menoleh kepada kakak perempuannya lagi.Ia menggelengkan kepala sambil berkata, “nggak dia udah tahu kok aku soalnya udah bilang kalau teh Mela kakakku!”“Ih, kamu ini!” Mela berkata tampak kecewa, lalu ia keluar kamar sambil menggamit tangan suaminya yang sejak tadi hanya diam dan sibuk dengan ponselnya.Mela sebenarnya ingin memberi kejutan pada Mina. Ia akan memberitahunya secara langsung kalau dirinya bukanlah ibu kos, melainkan hanya menjalankan tugas dari Ragil. Ia menagih uang kontrakan setiap bulan karena laki-laki itu tidak mau melakukannya sendiri. Ragil merasa riskan kalau tiap bulan menagih uang kontrakan dari para penghuninya, yang kebanyakan perempuan. Sementara mulut para wanita penghuni kontrakan itu kebanyakan nyinyir.Mela berada di sana atas keinginannya sendiri dan melakukan tugas itu pun atas ke
“Mina, kamu di dalam kamar saja, nanti kamu keluarnya kalau sudah rapalan ijab kabul, ya?” kata ibuku seraya memandangku—anak perempuannya, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Salah tingkah aku jadinya sebab ibu seolah terkagum-kagum padaku. Asyik!“Kok begitu Buk?” Aku bertanya sambil berdiri dari kursi meja riasku. Bulek Lastri dan Asri yang saat itu menemaniku pun ikut berdiri.“Eh, Mina! Kan, sebaiknya pengantin wanita itu memang tidak keluar sebelum akad nikah selesai ... nah, nanti kalau sudah dibacakan ijab kabulnya, suamimu itu ke sini ngasihin mas kawinnya atau kamu keluar, untuk menjemput mas kawinmu, begitu!” kata Bulik Lastri.Ia menjelaskan beberapa hal, yang memang aku sering lihat di televisi ataupun di media sosial. Di mana saat ijab kabul dibacakan, hanya mempelai pria yang harus ada di depan penghulunya. Namun, berbeda dengan Linda dan Landu, saat mereka menikah waktu itu. Mereka sama-sama disandingkan.“Jadi, aku di sini saja, Buk?” “Iya!” kata ibu sambil men
Mas Ragil bersiap akan duduk kembali, tapi aku menarik tangannya agar tetap berdiri.“Eh! Tunggu dulu!” satu kalimat keluar dari mulutku, enak saja dia cium-cium kening tanpa bilang dulu, aku akan membalasnya.Mas Ragil kembali berdiri sambil menatapku lekat, tatapan matanya itu ... eum ... entah melukiskan apa hingga membuatku gagal melakukan apa, yang sebenarnya ingin kulakukan padanya.“Apa, Dek?” katanya, dengan alis yang terangkat.“Eh, nggak jadi!” jawabku, karena seketika kehilangan keberanian untuk mengerjainya.“Udah, nanti lagi kalau mau menyelesaikan urusan kalian berdua!” seru bapak, seraya melambaikan tangan agar kami berdua segera duduk, tentu saja aku malu.Begitu aku dan Mas Ragil duduk, Pak Amil menyodorkan berkas yang harus kami di atas meja. Dia tersenyum-senyum, begitu juga dengan bapak. Sikap mereka terkesan meledek kami berdua.Aku menerima buku nikah setelah membubuhkan tanda tangan. Lalu ,beberapa orang yang berada di antara aku dan Mas Ragil, serentak m
“Memangnya butuh kekuatan seperti apa buat nanti malam, paling juga tidur!” ucapku datar, tak merasakan apa pun pada pertanyaan Mas Ragil. Walaupun, aku tahu ia mungkin segera melakukan malam pertamanya denganku.“Dek, aku ini sudah jadi suamimu, kalo ngomong itu bisa lembut sedikit aja nggak?” katanya.Aku meliriknya, tak tahu harus menjawab apa karena aku memang tidak tahu bagaimana bersikap lemah lembut padanya. Sejak awal bertemu memang sudah seperti ini adanya, mau berubah mungkin aku harus sedikit usaha.“Kalau memang kamu belum bisa menerima aku jadi suamimu, Dek, setidak-tidaknya kamu bisa ikhlas, sekarang semua yang terjadi pada kita ini sudah jadi takdir!”Mas Ragil kembali bicara dan kalimat itu sedikit menyentuhku. Seandainya saja bisa bilang, maaf, ya, Mas! Bukannya aku tidak ikhlas atau tidak menerima jadi istrimu, tapi mungkin untuk lemah lembut sama kamu itu butuh proses, mengingat pertemuan awal sampai akhir antara aku dan kamu, selalu saja ada masalah. Kita bic
“Mas, Kamu menyadari sesuatu nggak?” tanyaku setelah bapak menjauh sementara Pakde Yusro dan Bu Nuria, sedang menikmati makanannya tak jauh dari kami berdua.“Apa?” Katanya Mas Ragil kami pun saling bertatapan.Aku mendekat ke telinganya dan berkata, “Kemungkinan besar temanku si Ismawati itu, bisa jadi saudaraan sama Ismaya adik iparku, istrinya si Landu!”“Masa?” Mas Ragil menanggapinya dengan cepat.“Menurutku memang mukanya mirip sama Ismawati yang dulu waktu masih jadi temanku!” Aku yakin sekali, apalagi setelah aku mendengar pengakuan besan ibuku itu.Mas Ragil sepertinya ingin bicara sesuatu, tapi Pakde Yusro yang sudah selesai makan, mendekati kami. Lalu ia mengobrol dengan suamiku tentang kebun garapannya. Dari obrolan mereka aku jadi tahu bahwa, mereka terlibat kerja sama, dalam mengurus perkebunan karet dan kelapa sawit, yang sudah berjalan sejak lama. Alhamdulillah selama ini, semuanya berjalan dengan lancar. Namun, ada saja masalah kecil yang terjadi, meski bisa di
POV Author.Setelah kepergian kedua orang tua Ismaya, Yusro meminta Nuria untuk duduk kembali. Namun, wanita itu tetap berdiri dan menatap Ismaya lebih lekat lagi. Setelah Ismaya berjalan melewatinya, ia pun memanggilnya.“Namamu Ismaya, kan?” katanya.Ismaya menoleh, ia melihat ke arah Nuria dengan tatapan yang tidak suka, karena sedikit banyak ia sudah mendengar ucapan ibunya bahwa, wanita itu memiliki permasalahan dengan kedua orang tuanya.Walaupun, Ismaya belum tahu persis seperti apa masalahnya, tetapi setidak-tidaknya ia tahu bahwa, Nuria pernah menyakiti ibunya. Kalau tidak, kenapa Vina begitu marah ketika melihat wanita itu dan tidak peduli pada semua orang.Ismaya tidak bergerak dan Landu memegang tangannya dengan erat. Mina dan Ragil serta kedua orang tuanya, berada di sekitarnya. Mereka semua menjadi saksi ketiga tiba-tiba Nuria mendekati gadis itu dan memeluknya.“Kamu mirip sekali dengan Ismawati!” katanya.Ucapan Nuria membuat Ismaya tergerak untuk melepaskan pe