Hari pernikahan pun tiba. Para tamu sudah berkumpul untuk memberi saksi pada sepasang sejoli yang sebentar lagi akan sah menjadi suami istri. Di ruangan lain, Amora sendiri sudah siap dengan penampilannya. Memakai gaun yang dibelikan Gery, Amora nampak begitu cantik.Gery terpesona, tapi dia tidak mampu mengungkapkannya. Cukup diam-diam tersenyum tipis sambil curi-curi pandang.“Bagaimana dia bisa terlihat begitu cantik dengan riasan sederhana?” batin Gery.Sebelum keluar dari kamar, Amora melangkah dan berdiri di hadapan Gery. “Maaf ...” Amora meraih kemeja Gery yang belum terkancing sempurna di bagian kerah.Keduanya sempat berpandangan mata. Berkedip bersamaan dengan perasaan masing-masing. Siapa yang tahu kalau jantung keduanya sudah berdegup begitu kencang. Ketika salah satu wajah mendekat maju dan hampir saja bersentuhan bibir, seseorang mengetuk pintu.Perasaan campur aduk, keduanya pun saling buang muka dan pura-pura sibuk membenarkan tampilan diri sendiri.“Ya, tunggu s
Usai pernikahan, Gery langsung meminta pulang. Gery tak lagi mau menginap. Selain merasa gerah karena kamar Amora yang sempit, sebenarnya ia malas bertatap muka dengan Andy.Seperti hal tadi sore, saat Gery sedang menunggu Amora di teras rumah, Andy datang menghampiri. Pria itu duduk di kursi kosong di samping Gery.“Apa alasanmu menikahi Amora?” tanya Gery tanpa basa-basi.“Tidak sopan sekali kau bertanya begitu?” sahut Gery acuh.“Amora masih menjalin hubungan denganku, tapi tiba-tiba kau menikahinya. Itu sangat aneh.” Andy menatap Gery. “Benarkan?”“Benar apanya?” sahut Gery.“Pasti ada sesuatu sampai Amora mau menikah denganmu kan?”Gery memalingkan wajah dan tidak menjawab. Tuduhan Andy memang benar. Gery menikahi Amora karena sesuatu hal. Pada intinya karena hati yang bergejolak.“Memang benar.” Andy mendecih lalu menyeringai.“Benar atau tidaknya, itu bukan urusanmu. Amora istriku, dan lagi kau juga sudah menikah. Sebaiknya jangan mengganggu Amora lagi.”Gery lantas b
Amora sudah bangun lebih dulu seperti biasanya. Kali ini bahkan bangun lebih awal karena mendadak haus dan sedikit lapar. Tepat sekitar jam 4 pagi, Amora turun ke lantai satu untuk mencari cemilan yang mungkin bisa buat mengganjal perut.Sampai di dapur para pembantu belum ada yang terbangun. Lampu-lampu di setiap ruangan juga masih padam. Amora jalan menuju dapur sampai mepet dinding supaya tidak menabrak sesuatu.Amora awalnya ingin menyalakan lampu, tapi takut ada orang yang mungkin saja terbangun. Bukan apa-apa, Amora hanya takut mengganggu.“Kenapa aku bisa sampai kelaparan?” keluh Amora sambil menuang air putih ke dalam gelas. “Aku lupa makan setelah acara dari rumah ayah. Em, jangan-jangan Gery juga kelaparan?”Amora meneguk habis air putihnya, lalu terlihat kebingungan sendiri. Berpikir sejenak, Amora lantas mencari sesuatu di dalam kulkas ataupun lemari yang menggantung di dapur.Selagi menahan rasa lapar, Amora mencari sesuatu yang bisa suaminya makan setelah terbangu
Amora keluar kamar mandi susah memakai baju. Rambutnya yang basah ia gulung ke atas menggunakan handuk. Sementara Gery, dia sedang menikmati bolu yang disediakan Amora. Gery sudah berada di kamar lagi sebelum Amora keluar. Jadi, Amora tidak tahu kalau Gery sempat keluar dari kamar.“Bagaimana kau tahu kalau aku lapar?” tanya Gery.Amora menoleh sambil melepas handuk di kepala dan memiringkan kepala hingga rambutnya jatuh menutupi sebagian wajah.“Semalam kau tidak makan, kupikir mungkin kau lapar,” sahut Amora.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit. Amora buru-buru menyisir rambutnya yang setengah kering lalu bergegas ingin keluar dari kamar.“Kau mau kemana?” tanya Gery.“Menyiapkan makanan untukmu. Kau mandi saja, kalau sudah susul aku di ruang makan.”Amora sudah keluar dan Gery masih terbengong. Gery heran melihat sikap Amora yang begitu menghormatinya. Amora tahu bagaimana Gery berniat buruk padanya, tapi wanita itu tak menunjukkan rasa takut a
“Aku minta maaf,” kata Amora sesampainya di tempat loundry. “Aku tidak bermaksud membentak ibumu.”Gery tetap bermuka pias, tapi tidak menunjukkan raut amarah. “Jangan dipikirkan. Ibuku hanya asal bicara. Jangan kau masukkan ke hati.”Amora mengangguk. “Aku masuk dulu.”“Aku jemput sekitar pukul tiga sore.”Gery berlalu dan Amora masuk ke dalam. Di sana sudah ditunggu Lela yang mulai mengurusi setumpuk pakaian dari customer. Belum terlalu banyak memang, akan tetapi bisa terbilang lumayan untuk tempat laundry yang baru buka.“Maaf aku telat,” kata Amora sambil meletakkan tas di gantungan. “Aku ada sedikit masalah tadi.”“Tidak apa,” sahut Lela sembari menuang deterjen ke dalam mesin cuci. “Aku juga baru beberapa menit.”Amora mendekat dan ikut mengangkat setumpukkan pakaian berwarna putih dan memasukkannya ke dalam mesin cuci yang lain.“Apa kau sudah sarapan?” tanya Amora.“Sudah. Ibuku masak nasi goreng tadi pagi,” sahut Lela. “Kau sendiri sudah makan?”Amora mendesah kemu
Pukul lima sore, Amora tengah berdiri sendirian di halte bus. Lela sudah pulang lebih dulu sekitar pukul empat. Awalnya Lela hendak mengantar pulang, akan tetapi Amora menolak. Selain jaraknya yang lumayan jauh, rumah Lela juga tidak sejalan.Amora sendiri sudah duduk dan berdiri beberapa kali sambil terus berharap ada angkutan umum atau taksi yang lewat. Kalau saja ponselnya tidak mati, mungkin Amora sudah menelpon taksi online.Apapun terasa mudah di jaman modern seperti sekarang ini.Saat Amora hendak kembali duduk, sebuah sedan berwarna hitam berhenti di hadapannya. Amora sontak berdiri tegak dan waspada. Saat Amora hendak mundur dan pergi, seseorang di balik mobil memanggilnya.“Amora!”Amora berhenti sebelum menoleh, keningnya berkerut. Mungkin saja itu orang yang Amora kenal, tapi tentu saja suara pria itu bukanlah suara Gery.“Theo,” kata Amora saat matanya bertemu pandang dengan sosok yang kini sudah keluar dan berdiri di samping mobil.“Hai,” Theo melambaikan tangan.
“Di mana istrimu?” tanya Ibu saat Gery sudah turun.Di ruang makan sudah tidak ada siapapun selain ibu dan Belva. Ibu juga sepertinya hendak pergi karena tampilannya terlihat rapi.“Dia masih tidur,” jawab Gery acuh.Wenda berdiri dan menghampiri Gery. “Jam segini istrimu masih tidur?”Gery mengerutkan dahi melihat reaksi sang ibu, sementara ibu sudah menggelengkan kepala dan berdecak.“Malas sekali istrimu, Gery?” lanjut Ibu lagi. “Lihat Belva, dia selalu bangun tepat waktu.”Gery melirik ke arah Belva sambil mendecih. “Memang betul! Dia bangun pagi, tapi cuma untuk sarapan.”Merasa sedang disindir, Belva lantas mencebik pelan dan mengepalkan kedua tangannya. Belva yang merasa marah, memilih beranjak pergi menuju kamarnya.“Apa yang kamu katakan?” ibu melotot. “Kau menyakiti Belva.”Gery tersenyum tipis. “Ibu ... apa yang sudah Belva katakan sampai ibu terhasut sejauh ini?”“Apa maksudmu?”“Ibu kan orang yang berpendidikan, tidakkah ibu bisa membedakan mana yang baik dan b
Dion dan Gery bertemu di sebuah restoran sekalian makan siang. Dion yang sedari tadi memperhatikan raut wajah Gery tak bersahabat, bisa mengira-ira kalau memang sedang ada masalah."Kenapa wajahmu ditekuk begitu?” tanya Dion.Makanan datang disaat Gery membuang napas karena pertanyaan Dion.“Kenapa?” tanya Dion lagi.Gery masih belum menjawab, tapi sedang sibuk mengaduk pasta di atas piring.Gery kali ini mengacungkan garpu ke arah Dion. “Katakan, apa kau yang memberitahu pada ayahku?”Dion menelan ludah. “Apa maksudmu?” Dion kemudian pura-pura tidak paham dengan pertanyaan Gery.“Jangan pura-pura tidak paham.” Gery mendecih lalu memasukkan satu suap pasta ke dalam mulut. “Kau kan yang bilang tentang Amora?”Dion meringis sambil garuk-garuk tengkuk. “Em, anu itu ... aku hanya ...”“Hanya apa?” salak Gery. “Berani-beraninya kau ember!”Dion mengabaikan makan siangnya dan lebih fokus menatap Gery. “Bukan begitu. Kau tahu kan, ayahmu sangat berkuasa. Dia mengancamku kalau ti