Bab 30) Dua Garis MerahIsmah menegakkan telinganya, berusaha mencari tahu apakah gerangan yang sedang dibicarakan oleh anak dan menantunya. Namun tak ada yang bisa dia dengar dengan jelas. Hanya suara tawa dan setelah itu bisik-bisik yang tak jelas. Perempuan itu mengusap dadanya. Kesal di hati masih terasa mendera.Kreet....Suara derit pintu yang terbuka dan sosok Fahri yang muncul di hadapannya, membuat perempuan tua itu terkejut. Spontan ia melangkah mundur, lalu menegakkan tubuh dan menatap putranya."Lho, Mama? Mama sudah pulang? Kok aku tidak dengar ya?" sapa Fahri. Dia meraih tangan tua itu dan menciumnya."Tentu saja kamu tidak dengar. Bukankah kamu sedang bercanda ria dengan istrimu, merayakan kemenangan setelah tidak jadi menikah dengan Yasmin?" sahut Ismah berapi-api.Perempuan tua itu bertepuk tangan. "Hebat sekali istrimu itu. Diam tapi menghanyutkan. Mama pikir ia diam saja di rumah meratapi nasib. Tapi ternyata ia malah berhasil menggagalkan pernikahan suaminya!"Fa
Bab 31) Terusir "Jawab pertanyaanku, Yasmin! Apakah benar ini adalah milikmu? Apakah kamu sedang hamil?" Rahma mengacungkan benda itu ke hadapan Yasmin."Iya, Bibi," jawab Yasmin pasrah. Sudah kepalang juga, tidak mungkin ia mengelak. Yasmin bangkit dari pembaringan, duduk dengan kaki berselonjor sembari memeluk guling.Plak!"Dasar pelacur!!" maki Rahma diiringi dengan sebuah tamparan keras yang mendarat di pipi Yasmin. Tubuh Yasmin kembali oleng ke samping nyaris telentang."Kamu benar-benar tidak bisa di beri hati, Yasmin. Sejak kecil aku pelihara dan sayang, tapi ini yang kamu lakukan? Kemarin aku masih menutup mata dengan semua kelakuanmu, tetapi sekarang? Kamu benar-benar telah membuat kami malu! Pantas saja ayahmu menyuruhmu untuk tinggal di sini. Kalian pikir rumah ini penampungan wanita hamil diluar nikah?!""Pantas saja kemarin kamu menjebak Fahri. Berarti ini sudah kamu rencanakan sebelumnya. Iya, begitu? Dasar wanita jalang! Rupanya kamu ingin Fahri yang menutupi aibmu, b
Bab 32) Buka Puasa BersamaSetelah menyalami Diana dan kedua anaknya, Aksa dan Reina, Hanum mulai mengeluarkan barang-barang yang berada di dalam mobil, lalu membawanya masuk ke dalam rumah. Barang-barang bawaan Diana dan keluarganya banyak sekali, hampir memenuhi separuh kapasitas mobil.Sementara itu Azis, suami Diana sudah duduk dengan secangkir kopi kesukaannya, mengobrol dengan Fahri.Beberapa bungkusan besar berisi bahan makanan langsung dibawa Hanum ke dapur."Hanum, di dalam bungkusan itu ada daging dan bumbu masak. Kamu langsung masukkan saja ke kulkas," tunjuk Diana pada bungkusan yang berada di tangan Hanum.Hanum mengangguk. Dia segera melangkah menuju kulkas."Banyak sekali bawaanmu, Diana," komentar Ismah."Ya, lumayan, Ma. Sekalian bagi-bagi rezeki. Kebetulan THR-nya Mas Azis sudah keluar." Diana tertawa renyah."Wah, beruntung sekali. Banyak ya, Nak?" Ismah antusias."Satu setengah kali gaji biasanya, Ma," jawab Diana."Bagus sekali, Diana. Tuh, kan? Kamu beruntung ba
Bab 33) Tidak Menunda PekerjaanSok alim? Hanum hanya tersenyum tipis menahan rasa geli dengan ucapan wanita tua itu. Masa iya, orang mendahulukan shalat sebelum mengerjakan pekerjaan lain di anggap sok alim? Bukannya sudah seharusnya kita mementingkan shalat lebih dari apapun? Akan tetapi biarlah, tak perlu di tanggapi serius. Hanum langsung masuk ke dalam kamarnya, kemudian segera berwudhu. 15 menit kemudian, wanita itu sudah keluar dari kamarnya dan melangkah menuju dapur. Dilihatnya Diana tengah sibuk mencuci piring. Hanum berjongkok di samping Diana bermaksud mengambil spons untuk menyabuni piring-piring kotor itu. "Tidak usah. Kamu ajari saja si Reina," tolak Diana bernada ketus. Dia menjauhkan wadah berisi cairan sabun dari jangkauan tangan Hanum. "Kak, aku cuma mau membantu. Tadi aku benar-benar izin mau shalat, bukannya menolak disuruh cuci piring," jelas Hanum. "Sama saja. Jadi wanita itu harus rajin, Hanum. Tidak baik menunda-nunda pekerjaan. Nanti kamu akan dianggap p
Bab 34) Kamu Mengundangku, Hanum?Tubuhnya seketika gemetar. Hanum mundur beberapa langkah, mengamati setiap sudut ruang sempit ini. Dia pun sangat terkejut saat melihat meja pendek yang biasa ia gunakan untuk meletakkan alat pemipih adonan tampak berada di salah satu sudut. Demikian juga kompor, wajan penggorengan besar, baskom plastik besar tempat ia biasa mengaduk adonan serta beberapa alat yang lain. "Jadi Mama menyembunyikan barang-barangku di sini?" gumamnya. Di benaknya kembali terbayang peristiwa lebih dari sebulan yang lalu saat ia mendapati barang-barangnya tidak berada ditempatnya.Hanum tidak pernah menyangka jika ternyata Zainab pun terlibat. Buktinya benda-benda ini ada di rumah Zainab, di ruang penyimpanan.Tak ingin terlalu keras berpikir, akhirnya Hanum segera mengambil setumpuk piring, kemudian segera keluar dari ruangan itu seolah tidak terjadi apa-apa. Dia tidak ingin terjadi keributan di momen lebaran ini. Hanum akan menunggu waktu yang tepat dan tetap bersabar u
Bab 35) Ada Yang Bisa Kakak Bantu?"Mana mungkin aku membiarkan tubuhmu kotor dan penuh lumpur sawah, Sayang?" Fahri membelai rambut istrinya yang sedikit lembab lantaran berkeringat usai percintaan panas barusan. "Sebagai lelaki, suamimu, aku tidak sekejam itu. Seorang lelaki yang baik akan memperlakukan istrinya dengan menyesuaikan kebiasaan dan cara hidup sang istri di masa gadisnya, di saat dia masih berada dalam pengasuhan kedua orang tuanya. Berhubung kamu memang tidak pernah ke sawah, ya sudah. Aku juga tidak akan menyuruhmu bekerja di sawah.""Hanya saja, Mama tidak bisa diajak kompromi, Sayang. Akan sangat sulit memberi pengertian Mama akan hal ini. Jadi mengertilah," tekan Fahri.Hanum menghela nafas berat. Dia menggenggam tangan sang suami, memainkan jemarinya yang terasa sedikit kasar. "Justru karena aku mengerti, jadi aku tidak pernah memusuhi Mama. Aku menyayangi Mama seperti aku menyayangi Mama Filza. Aku hanya minta sedikit saja pengertian Mama. Mulutnya itu loh, Kak.
Bab 36) Mana Setoran Untuk Hari Ini, Hanum?Hanum sangat beruntung lantaran dulu ia tidak mengambil uang hasil penjualan kue kering putri sembunyi. Jadi ketika ia mengantar jualannya kembali, Hanum langsung mendapatkan uang. Wajahnya sangat cerah melihat lembaran uang kertas aneka warna yang kini telah berpindah tempat ke dalam tas coklat bertali panjang miliknya.Setelah mampir ke sebuah toko untuk membeli bahan-bahan yang akan ia gunakan untuk membuat kue kering putri sembunyi selanjutnya, Hanum langsung tancap gas menuju rumah."Mana setoran untuk hari ini, Hanum?" Ismah langsung menadahkan tangan ketika Hanum baru saja menjejakkan kakinya masuk ke dalam rumah."Setoran? Setoran apa, Ma?" Hanum tergagap."Ingat, Hanum. Motor yang kamu pakai untuk mengantarkan dagangan itu sebenarnya adalah milik Mila. Memang motor itu sudah tidak terpakai lagi, karena Mila sudah mendapatkan motor matic yang lebih baru, tetapi tetap saja motor itu milik Mila. Lalu jangan lupa, kamu melakukan pekerja
Bab 37) Kurangnya Aku Tu Apalagi Sih, Ma?"Kamu pikir aku membual?" Wanita tua begitu gampang tersulut. Pengalaman pahit di masa muda membuat hatinya keras. Seperti dulu ia di perlakukan oleh mertuanya, nenek Fahri, seperti itulah sikap yang ia tunjukkan kepada Hanum. Bahkan kata-kata yang terlontar barusan adalah kata-kata yang dulu ia dengar dari ibu mertuanya untuk menekan dan membuatnya tunduk.Dia memang tidak bisa membalas perlakuan menyakitkan ibu mertuanya, tapi ia berjanji dalam hati, menantu-menantunya harus merasakan apa yang pernah ia rasakan dulu. Makanya ia tak suka Hanum berdagang. Hanum sudah mendapatkan uang hasil pernjualan gabah tahun ini tanpa sedikitpun menjejakkan kakinya di lumpur sawah, bahkan itu mengurangi jatahnya, yang seharusnya Ismah dapatkan seperti tahun-tahun yang lalu. Lha, sekarang Hanum berdagang pula. Penghasilannya menjadi double. Tetap dapat nafkah dari suami dan mendapatkan uang tambahan dari hasil jualan. Baginya ini tidak adil. Sebagai ist