Share

Bab 6 ( Program Bayi Tabung )

Sudah satu Minggu semenjak kepergian Mas Akbar, aku sama sekali tidak pernah mendapatkan kabar dari suamiku itu. Tidak ada pesan untuk sekedar mengucapkan selamat malam atau mengingatkan untuk jangan sampai telat makan. Semuanya terasa begitu hambar, aku seperti menikah dengan orang asing yang tak aku kenali.

"Ayah ingin mengajakmu untuk pindah ke Jakarta." Ucap Ayah yang saat ini sedang duduk di sofa ruang tamuku. Ini adalah kedatangan beliau yang begitu mendadak. Biasanya ayah akan datang bersama dengan ibu. Tapi, Kali ini tidak. Pasti ada suatu hal penting yang ingin disampaikan beliau tanpa sepengetahuan Ibu.

"Tapi aku suka dengan kota ini, Ayah. Balikpapan sangatlah berbeda, suasananya masih aman tidak seperti Jakarta yang penuh dengan polusi udara."

"Ayah ingin kau tahu, jika ayah tidak bodoh Mawar. Jika kau tidak juga mengikuti perintah Ayah, bersiaplah untuk menggugat cerai suamimu itu."

"Tidak, Ayah."

"Beri Ayah satu alasan mengapa kau masih bertahan pada laki-laki brengsek seperti Akbar."

"Aku memiliki rencana Ayah, percayalah padaku."

***

Aku memutuskan untuk menunggu kepulangan mas Akbar yang mengabarkan sudah berada di perjalanan menuju pulang ke rumah.

Hampir semua makanan kesukaan mas Akbar aku masak untuk menyambut kepulangannya. Ini sengaja aku buat untuk menyambut kepulangannya.

"Sudah menunggu lama, sayang?" mas Akbar tampak begitu bersemangat. Aku dapat melihat raut wajahnya yang begitu berbanding terbalik saat terakhir dirinya Meninggalkan rumah.

"Mas baru saja kirim pesan, tapi sekarang sudah sampai rumah saja. Surprise, buatku?"

mas Akbar mengelus lembut kepalaku yang masih tertutup rapat oleh hijab.

"Tumben, di rumah masih pakai hijab. Biasa juga kalau hanya ada mas, hanya pakai baju biasa tanpa hijab." Komentarnya sembari memeluk tubuhku.

Aku dapat merasakan aroma berbeda dari parfum yang biasa Mas Akbar gunakan.

"Sudahlah mas, lebih baik mandi dulu. Baumu tidak enak."

"Benarkah?" mas Akbar mengurai pelukannya, lalu mencium kerah kemeja kotak-kotak yang Ia pakai.

"Tidak, wanginya masih sama. Ini parfum yang biasa aku pakai, sayang…" mas Akbar mencoba untuk kembali meraih tubuhku, namun aku sengaja menghindarinya.

"Aku tidak suka dengan aromanya, mas." Sahutku sembari menggeser posisi dudukku.

"Baiklah, aku akan mandi terlebih dahulu. Setelah ini, kita akan keluar mencari angin segar."

Aku tersenyum tipis, menanggapi perkataan mas Akbar.

Setelah selesai membersihkan dirinya, mas Akbar segera menyusul ku ke ruang tamu untuk menikmati makanan yang tadi sudah aku siapkan.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu, mas?"

"Baik. Semuanya berjalan dengan lancar. Itu pasti karena berkat doa yang kau panjatkan, pada Tuhan. Benar 'kan sayang?" sahut Mas Akbar sembari menikmati lezatnya makanan yang sedang ia nikmati.

Aku hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Mas Akbar. Semakin ku perhatikan, aku menemukan sesuatu yang telah hilang beberapa bulan ini. Senyumannya telah kembali lagi. Seharusnya aku senang, tapi entah mengapa perasaanku sebagai seorang wanita justru mengatakan ini semua tidak benar. Senyuman mas Akbar bukan ditujukan untuk diriku, melainkan ke hal yang lainnya.

***

Memimpin sebuah Rapat kerja merupakan salah satu kebanggaan tersendiri bagi seorang Abian. Ia sangat begitu suka menjadi orang yang dihormati dan juga ditakuti.

"Rapat selesai. Kalau ada yang ingin mengajukan pertanyaan, silahkan. Saya akan mendengarkan." Instruksi Abian.

Tidak ada suara. Walaupun semua kursi telah diisi oleh orang yang hadir dalam rapat ini, tapi tak ada satupun yang berani mengatakan sesuatu.

"Baiklah, saya menganggap rapat ini selesai dan tidak akan ada lagi masalah di lain waktu. Silahkan meninggalkan ruangan ini, karena ada suatu hal yang harus saya bahas bersama dengan Aslan."

Semua orang mengagumi Akbar. Cara kerjanya, berpikir dan juga ketegasannya. Tidak ada celah bagi musuh untuk masuk dan mencoba untuk menguliti dirinya.

Setelah semua orang keluar, Aslan merubah posisi duduknya agar lebih bisa dekat dengan atasannya itu.

"Ada yang harus saya kerjakan, Tuan?"

"Informasi tentang Akbar."

"Semua barang bukti sudah saya kirimkan ke ponsel anda, Tuan. dan ringkasnya, selingkuhannya Akbar telah melahirkan anak pertama mereka."

Akbar memijit pelipisnya. Ia tidak habis pikir dengan pola pikir Akbar yang lebih memilih wanita lain ketimbang Istrinya Sendiri.

Abian tidak senang dengan keputusan Akbar yang menyebabkan pujaan hatinya itu merasa sakit hati. Ia akan membalas dendam dengan caranya sendiri.

"Kirimkan semua biodata Selingkuhan Akbar pada Mawar. Ia harus tahu, seperti apa bejatnya kelakuan suaminya itu."

"Baik, Tuan!" Aslan berkata sambil membungkukkan tubuhnya.

***

Ponselku berdering, aku segera mengusap layar berwarna hijau itu.

"Hallo,"

"Kau bisa lihat dan pastikan, hal apa yang harus kau kerjakan saat ini. Mundur teratur atau maju melangkah dengan akhir kemenangan."

Keningku berkerut mendengar jawaban dari orang yang saat ini sedang menelpon diriku.aku kembali melihat nomor ponsel tersebut, dan benar saja. Itu adalah nomor baru, belum tersimpan di ponselku.

Belum sempat menjawab pernyataan orang itu, telepon telah terputus.

"Siapa?" tanya Mas Akbar yang saat ini sedang duduk di hadapanku sambil memainkan ponselnya.

"Salah sambung, mas."

"Hati-hati, saat ini sering kejadian penipuan. Jangan sampai tertipu."

"Benarkah, Mas? Jadi yang penipu itu orang lain?"

Mas Akbar mengalihkan pandangannya padaku.

"Apa maksudmu?"

Aku menggeleng cepat, berusaha untuk bersikap biasa saja.

Sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponselku. Ternyata, nomor ponsel orang yang tadi menghubungi diriku.

Deretan foto Mas Akbar dengan seorang wanita berkulit sawo matang terpampang jelas di ponselku. Wanita itu sedang menggendong bayi.

Aku kembali menatap wajah Mas Akbar. Pria itu masih dengan posisi bermain dengan layar ponselnya.

"Mas,"

"Hem?"

"Bagaimana kalau kita program bayi tabung?"

Mas Akbar tampak meletakkan ponselnya di atas meja.

"Kenapa begitu terburu-buru, sayang? Usia pernikahan kita baru dua tahun. Tidak perlu ikut program kehamilan."

Dadaku terasa begitu sesak mendengarnya.

"Jadi, mas belum ingin memiliki anak dari rahimku?"

"Tidak, tentu saja aku mau. Tapi, untuk saat ini kita melakukannya secara alami saja, itu sudah cukup. Jangan membuang-buang waktu dengan melakukan hal yang belum tentu ada hasilnya."

Gelombang syok panas menghantamku begitu kuatnya, sampai rasanya begitu sesak didalam tubuh ini.

'Kau akan merasakan apa yang saat ini aku rasakan, mas. Tunggulah, sampai aku benar-benar menghancurkan kalian berdua'. Batinku dengan menahan air mata yang hampir saja tumpah.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
amymende
makin dibaca makin males mana koinnya mahal lagi, cukup sampe disini
goodnovel comment avatar
Nyaprut
ber tele tele ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status