Nisya langsung menarik ketat bibirnya, kemudian bicara, “Maaf kalau kedatanganku mengganggumu, Mas. Soal Kania, aku udah kasih tau dia, kok, tapi ponselnya mati,” katanya sambil melihat ke arah kiri atas. Ia lalu memandangi Dika hingga lelaki itu meletakkan ponselnya kembali ke dalam laci dan membuat Dika jadi salah tingkah.
Meski sempat curiga Dika akhirnya mengangguk. “Oke. Nggak masalah. Aku cuma kaget aja. Biasanya nggak ada yang berkunjung pas makan siang. Apalagi tamunya tenyata kamu. Ada perlu apa, ya?"“Ini, Mas. Aku cuma mau kasih ini. Sebagai ucapan terima kasihku atas undangan makan malam kemarin.” Nisya mengangsurkan sebuah tas kecil berwarna merah yang bertuliskan Tupperware di atasnya. Hingga membuat Dika memandangnya dengan penuh tanda tanya."Apa ini? Harusnya kamu nggak perlu repot. Itu bukan hal besar. Lagipula aku mengundangmu karena permintaan Kania."Saat Dika menyebut nama Kania, dada Nisya sempat memanas. Tapi ia berusaha tetap tenang. "Mas pasti belum makan siang, kan?” Tanpa menunggu jawaban, dengan cepat Nisya membuka tas bekal yang ia bawa. Aroma kaldu langsung menyerbu indra penciuman Dika beberapa detik setelah kotak bekal dibuka. Capcay daging sapi yang mengeluarkan wangi bawang bombay dan saus tiram terlihat sangat menggugah selera.“Be-lum, sih,” jawab Dika sambil menelan liur. Ia langsung lupa pada ikan nila dan sayur tumis tauge yang Kania bekalkan tadi pagi. Bukan sengaja, hanya apa yang Nisya sajikan lebih menggugah selera makannya dibandingkan dengan apa yang sudah Kania siapkan.“Ya sudah, pas kalau gitu. Ayo dimakan.”“Ini semua kamu yang masak?”“Iya, Mas. Gimana rasanya? Suka?”“Mmh, suka banget. Enak. Bahkan lebih enak dari masakan restoran yang biasa aku makan.”“Yang bener, Mas?”“Iyalah. Masak aku bohong.” Dika terus menyantap sajian hingga habis tanpa sisa. Wajar saja, karena makanan yang Nisya bawakan memang salah satu makanan kesukaannya.Tanpa Dika ketahui, Nisya sudah mencari informasi mengenai apa saja makanan yang Dika sukai melalui Kania. Nisya tahu jika Kania tidak terlalu pandai memasak, apalagi memasak menu Chinese food seperti kesukaan Kania. Nisya pun menarik satu sudut bibirnya ke atas kala teringat sesumbar Kania saat sahabatnya itu mengatakan kalau Dika hanya bisa makan hasil masakan Kania seorang. Buktinya, lelaki itu sangat lahap memakan masakan yang ia bawakan.“Kalau … sama masakan Kania, enakan mana?” Nisya bertanya perlahan.“Apalagi itu. Jauh, Sya. Jauh banget. Eh, maksud saya,” ucap Dika yang langsung menghentikan aktivitas makannya.Nisya langsung tertawa. "Aku cuma bercanda, Mas. Nggak usah dianggap serius."***Tepat lima menit menjelang jam istirahat berakhir, Nisya pamit pulang. Kania pun mengantarnya sampai ke lobi depan.“Makasi, ya. Saya suka banget makanannya.”“Sama-sama, Mas. Kalau mau, saya bisa kok buatkan makan siang untuk Mas Dika. Setiap hari. Gratis.""Ah, nggak usah. Malah ngerepotin kamu," ucap Dika seraya berjalan mengekori Nisya menuju lobi.Namun, saat Nisya akan pergi, seseorang memanggil Dika."Pak Dika, jadinya kapan, ni, syukuran kenaikan jabatannya?" ucap salah seorang rekan kerjanya yang bernama Haris. Kepalanya kemudian memutar ke arah Nisya yang berdiri tepat di sebelah Dika."Ini pasti Bu Dika, ya? Pantes aja nggak pernah diajak ke acara kantor. Wong cantik gini. Pasti Pak Dika takut nih, istrinya bakal dilirik banyak orang," ujar Haris disambung tawa hingga membuat Dika dan Nisya salah tingkah."Bu-bukan, Ris. Ini bukan istri ...."Baru saja Dika akan menjelaskan panjang lebar pada Haris, Leo--atasan Dika yang baru selesai makan siang di luar--pun ikut mendekat."Pak Dika, laporan yang saya minta sudah selesai?""Sudah, Pak. Sebelum makan siang tadi sudah saya berikan ke sekretaris Bapak."Leo manggut-manggut sambil memandang ke arah Dika. "Oke. Bagus. Selesai istirahat akan saya cek." Sama seperti Haris, fokus Leo teralih pada sosok wanita di sisi Dika. Karena bagi mereka berdua, hal itu adalah pemandangan yang cukup langka. Selama ini Dika tidak pernah terlihat bersama seorang wanita. Terlebih saat jam makan siang."Ini, istri Pak Dika? Kenalkan, saya Leo. Direktur Teknik di kantor ini. Senang bertemu dengan Anda," ucap Leo tanpa bertanya apa pun. Jelas saja Nisya menyambutnya dengan senyum lebar."Saya Nisya. Terima kasih, Pak Leo. Saya juga senang bertemu, Bapak." Mulanya Nisya agak gugup menyambut uluran tangan Leo, tetapi dengan cepat ia bisa mengatasi keadaan. Ia sebenarnya tidak tahu harus bicara apa selain memamerkan deretan giginya yang putih dan terawat. Toh, Dika sendiri juga tidak membantah."Pak Dika, jangan lupa ajak istrimu ke acara ulang tahun kantor kita minggu depan, ya."Sontak, Dika membelalak. "Maksud Pak Leo, Nisya?"Tentu saja Leo menautkan kedua alis hitamnya. "Memangnya kamu punya istri lain?""Enggak, Pak. Bukan itu maksud saya.""Ya sudah," ucap Leo yang langsung melenggang menuju ruangannya bersama Haris."Ba-baik, Pak."***Setibanya di rumah, Nisya kembali menghubungi Dika"Gimana, ni, Mas? Mas Dika, si, malah diam aja tadi," ujar Nisya melalui pesawat telepon. Sebenarnya dia senang dengan apa yang terjadi di kantor Dika tadi, hanya saja ia tetap harus bersikap biasa. Tidak boleh terlihat terlalu senang. Dika tidak boleh tahu mengenai maksudnya yang sebenarnya."Aku juga baru mau bantah tadi, tapi Pak Leonya keburu pergi. Ya gimana lagi.""Maksudnya?""Terpaksa minggu depan kamu ikut saya ke acara ulang tahun kantor," ucap Dika yang membuat senyum Nisya mengembang.***Satu minggu kemudian, Dika benar-benar mengajak Nisya. Sebenarnya ia ingin beralasan sakit agar tidak perlu datang. Dengan begitu, ia tidak harus berbohong pada semua orang di kantornya, tapi enggak mungkin seorang kepala divisi teknik tidak hadir di acara penting perusahaan.Akhirnya ia lebih memilih berbohong pada Kania."Mas, ada meeting sama klien penting. Mungkin pulangnya telat. Nanti kamu tidur duluan aja, ya," ucapnya pada Kania seraya memasang dasi kupu-kupunya."Malam jam berapa, Mas? Nggak apa, biar aku tunggu aja. Aku takut tidur sendirian."Dika refleks melihat ke kiri atas. Ia pun mulai gelisah. "A-cara baru selesai jam du-a belas, Dek. Kasihan kalau kamu harus nunggu Mas pulang.""Kok, malam banget, Mas? Memangnya meeting apa, si?" Kania menautkan alis sambil membantu Dika memasang jasnya. Setelahnya wanita itu menyetrika bagian depan jas suaminya dengan telapak tangan."Biasa, Dek. Kantor, kan, mau ada proyek baru, jadi butuh investor. Klien yang mau ketemu Mas ini adalah salah satu calon investor utama. Kamu doakan aja, ya, biar lancar.""Pasti, Mas. Akan selalu aku doakan.""Mas berangkat dulu, ya." Sebelum memasuki mobilnya, Dika mencium kening Kania lalu memeluknya agak lama. Perlahan perasaannya mulai dilingkupi rasa bersalah.Maafkan Mas, ya, Dek. Mas terpaksa berbohong. Mas janji ini tidak akan terulang.Sedangkan Kania pun merasa jika sikap Dika malam itu tak seperti biasanya. Suaminya itu sering sekali gugup dan menghindari kontak mata. "Apa benar Mas Dika mau meeting? Kenapa tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak?"Bersambung.Hai readers, yuk yuk ramaikan
Sebelum menyalakan mobilnya, Dika mengirim pesan pada Nisya. "Nis, kamu udah siap? Aku sebentar lagi sampai."Tidak sampai dua detik. Nisya pun sudah mengirim balasan. "Sudah sejak tadi, Mas. Aku tunggu, ya."Tidak sampai lima belas menit Dika tiba di kediaman Nisya yang hanya berjarak lima blok dari rumahnya. Namun, Dika sengaja memutar lewat jalan belakang kompleks agar tidak ada yang mencurigainya. Maklum saja waktu masih menunjukkan pukul 19.00 WIB masih banyak yang berlalu lalang. Awalnya Dika mau menyuruh Nisya agar bertemu langsung di kantornya tapi ia tidak tega. Selain itu pasti orang-orang kantornya akan merasa aneh. Jantung Dika terus berdebar-debar karena dua hal. Karena ia sudah membohongi Kania dan karena dia akan menemui Nisya. Sejak kedatangan sahabat istrinya itu ke kantornya, Dika jadi sering memikirkan Nisya. Terlebih setelah rekan kerjanya mengganggap bahwa Nisya adalah istrinya. Bukan Kania.Dika baru mematikan mesin mobilnya saat pandangannya terpaku. Matanya ba
Mentari sudah muncul malu-malu kala Dika memicing. Dengan matanya yang masih berat ia meraba sisi kanannya. Namun, ia mendadak sadar jika saat itu ia tidak berada di ranjangnya. Bahkan, tubuhnya seperti tersengat listrik kala melihat Nisya tengah menatapnya sambil tersenyum. Wanita beraroma vanila itu sudah tampil cantik seraya duduk di sisi sofa ruang tamu--tempat Dika terlelap semalam. "Kamu kenapa nggak bangunin aku?" ucap Dika sambil menegakkan punggungnya. Ia lekas mencari ponselnya dan langsung menepuk dahinya saat tampak puluhan kali panggilan dari Kania. "Enggak tega, Mas. Kelihatannya kamu capek banget.""Sstss," ucap Dika sambil meletakkan telunjuk di depan bibir. Ia pun langsung menelepon sang istri. Diabaikannya Nisya yang terus menatapnya tajam sambil mengerucutkan mulut. Beberapa detik kemudian terdengar suara Kania di ujung telepon. "Hallo, Mas. Akhirnya kamu telepon juga. Kamu di mana, Mas?""A-aku masih di .... di hotel, Dek. Maaf semalam rapatnya baru selesai tenga
"Aku sudah lama suka sama Mas Dika. Sejak pertemuan pertama kita, aku sudah jatuh cinta," ucap Nisya yang membuat Dika terbatuk-batuk.Nisya berdiri lalu menepuk-nepuk pelan punggung Dika. Nisya juga memberikan segelas air mineral pada lelaki itu.Setelah batuk Dika mereda, Nisya bicara lagi,"Aku juga tahu kalau hubunganmu dengan Kania sedang renggang.""Jangan sok tahu," ucap Dika gugup. "Kania yang bilang. Lagian terlihat jelas kok dari sikap Mas ke aku. Mas begitu nyaman denganku, bahkan Mas tidak pernah membicarakan tentang Kania saat bersamaku." Nisya menjeda kalimatnya beberapa saat. "Itu karena aku tidak ingin menganggu suasana hatimu. Nggak ada hal lain."Nisya kembali menghampiri Dika lalu melihat langsung ke matanya. "Katakan itu sekali lagi. Bilang kalau Mas nggak punya perasaan apa pun untukku."Beberapa menit ke depan, Dika hanya diam lalu menarik napas berkali-kali. Setelah Nisya menyatakan perasaannya, ia akhirnya menyerah. Tak ditampiknya lagi, bahwa sejak lama, ia
"Hati-hati, ya, Mas. Jangan lupa telpon kalau udah sampai sana.""Iya, Dek. Kamu baik-baik, ya, di rumah." Dika menjeda kalimatnya, tampak ragu melanjutkan pertanyaan. "Nisya ... jadi nemenin kamu?" Kania langsungmenekuk wajahnya hingga menimbulkan sedikit lipatan di kedua pipinya yang tembam. "Enggak jadi, Mas. Dia bilang nggak bisa. Mau pulang kampung.""Ooh, ya udah. Kalau kamu mau, aku izinkan ke rumah Bapak."Sontak, Kania membelalak. "Beneran, Mas?""Iya bener.""Aah, makasi, Mas," ucap Kania sambil memeluk Dika. "Eh, Mas. Nisya kan mau ke Semarang juga.Mas tahu? Kok bisa tiba-tiba barengan gitu sih? Apa jangan-jangan di belakangku kalian janjian?" Mendengar ucapan Kania, mata Dika langsung melebar. Wajahnya memerah dan dahinya berkeringat. "Eng-gak lah, Dek. Kamu itu ada-ada aja. Aku kan... aku kan mau kerja. Jangan asal nuduh!" kata Dika yang mendadak emosi. Mata Kania memicing, ia merasa sedikit aneh kenapa Dika tiba-tiba marah. Padahal kan ia hanya bercanda. "Mas, aku k
Tanpa setahu Kania, Galih kerap memperhatikan putrinya yang sering sekali melamun. Lelaki 60 tahun itu menduga bahwa sikap Kania itu ada hubungannya dengan kepergian Dika ke Semarang. Awalnya Galih tidak mau mencampuri urusan rumah tangga putrinya, tapi sebagai seorang bapak tetap saja ia merasa khawatir. "Kania, sini duduk dulu. Bapak mau bicara," ucap Galih memanggil Kania yang sedang menonton televisi di ruang tengah. Sedangkan Galih sendiri sedang berada di teras. "Iya, Pak. Ada apa?""Dika kapan pulang?""Besok sore, Pak. Nanti sore juga Kania mau pulang, kok, Pak.""Bukan itu maksud bapak. Kamu mau tinggal. di sini sampai minggu depan juga boleh asal suamimu mengizinkan. Bapak cuma mau tanya. Apa sedang ada masalah dengan rumah tanggamu? Bapak perhatikan selama menginap di sini kamu sering sekali melamun."Kania terkesiap dia tidak menyangka jika bapaknya memperhatikan sikap anehnya. Namun ia tidak ingin bercerita apa yang sedang ia rasakan. Dia tidak mau membuat bapaknya semak
Selama mengandung, Dika meminta Nisya agar tetap berada di kontrakan. Tidak keluar rumah bahkan harus berhenti sementara dari salonnya. Ia tidak mau kalau Nisya kelelahan dan akan berakibat buruk pada calon bayinya. Selain itu alasan yang utama adalah karena Dika tidak mau jika Kania sampai mengetahui kalau Nisya sedang mengandung, karena Kania tidak tahu bahwa Nisya sudah menikah. Apalagi menikah dengan Dika. Untungnya Nisya menurut. Dia bahkan sangat bahagia karena Dika sangat memperhatikannya. Sebenarnya Dika mau mengantar Nisya ke kampungnya, atau tinggal bersama ibunya. Tapi Nisya tidak mau dengan alasan bahwa ia pasti akan sangat merindukan Dika. Dika pun tidak mungkin ikut Nisya tinggal di kampung karena harus bekerja dan juga bersama Kania. Akhirnya Nisya tetap berada di kontrakan tapi dia pura-pura pulang kampung. Nisya pun tidak boleh pergi jauh sendirian, karena Dikalah yang akan menyediakan semua kebutuhan Nisya dan calon bayinya. Keesokan harinya, Nisya kembali menemui
"Aawww! Kania apa-apaan, sih!" ucap Nisya sambil menarik paksa tangannya. "Jawab pertanyaanku tadi! Ada hubungan apa kamu sama Mas Dika? Dan Aksara, apa dia anak kalian?"Bola mata Nisya membesar. Jantungnya pun berdegup kencang. Jika saja dia tidak teringat akan perjanjiannya dengan Dika, dia akan senang hati mengakui pertanyaan Kania. Beberapa menit, Nisya terdiam dan mencoba berpikir cepat. "Kamu ngelindur ya, Kan? Kamu tuh ngomong apa, sih? Jangan asal nuduh, deh!""Aku nggak asal nuduh ya, Nis! Banyak buktinya. Aksara mirip banget sama Mas Dika dan dia deket banget sama kamu yang bukan ibunya. Satu lagi. Soal susu yang kamu barusan suruh aku kasih ke Aksara. Itu ASI, kan? Jangan pikir karena aku tidak punya anak, aku nggak tahu apa-apa, ya!" ucap Kania penuh emosi. Dadanya sudah sesak menahan rasa yang sangat tidak ingin ia alami. "Bukti apa lagi yang kamu mau?""Ya Tuhan gara-gara itu. Kamu tahu enggak. Susu itu adalah susu steril yang khusus aku beli buat kesembuhan Aksara da
"Maksud kamu apa sih, Dek?" ucap Dika sambil memegangi kedua tangan Kania."Alah, Mas jangan pura-pura nggak tahu, deh. Aksara itu anak Mas kan? Dan Nisya adalah ibu kandungnya? Iya, kan? Cepat jawab aku, Mas!" Kania bicara tegas sambil melepas kasar cengkeraman tangan Dika. Sekali lagi ia memelototi suaminya itu. "Dek, kamu tuh punya pikiran ngawur dari mana?Udahlah, aku capek! Aku baru pulang, laper. Kamu udah masak belum?" Dika mengabaikan pertanyaan Kania."Mas dengerin! Kalau mas nggak mau kasih aku penjelasan dan klarifikasi, tes DNA adalah satu-satunya tes yang bisa membuktikan, apakah kecurigaanku selama ini benar atau tidak!""Tes DNA apa? Kenapa harus pakai tes DNA segala. Orang pikiran kamu, kok yang ngawur!Jelas-jelas Aksara itu kita ambil dari panti asuhan. Kamu ikut sendiri kan waktu itu?" Suara Dika mulai meninggi. Dika pun meninggalkan Kania di depan rumah dan menuju ke dalam. Tak lama Dika berhenti dan memutar tubuhnya. Dan soal Nisya yang kamu tuduh sebagai ibunya Ak