Saat tengah sibuk di dapur, terdengar alunan 'Sang Dewi' milik penyanyi Lyodra hingga membuat Kania mengecilkan kompor lalu mendekati meja makan--tempat ponselnya terletak. Senyumnya seketika tersungging saat melihat nama sang suami di layar iPhone 13-nya. Ia lalu merapikan rambutnya dengan tangan sebelum menarik tombol hijau ke atas.
“Kenapa, Mas, tumben video call?” ucap Kania setelah menjawab salam Dika. Ia pun sempat melirik jam dinding yang ada di dapur. Jam tiga sore. “Biasanya kalau udah di kantor suka lupa sama yang di rumah,” ucapnya hingga membuat Dika tersenyum.“Dek, kamu lagi ngapain?”“Tuh lihat. Aku lagi masak, buat makan malam.”“Sekarang kamu matiin kompor dan cuci tangan. Nggak usah masak. Terus kamu pergi ke salon dan dandan yang cantik. Nanti jam lima Mas jemput. Kita makan malam di luar.”Sontak, mata Kania membulat. Sudah cukup lama Dika tidak pernah mengajaknya makan di luar. “Beneran, Mas?”“Iya. Kalau perlu kamu beli baju baru. Mas mau ajak kamu makan ke restoran mahal.”“Wah, oke, Mas. Eh, tapi dalam rangka apa, ni? Tumben. Aku, kan, lagi nggak ulang tahun? Ulang tahun pernikahan kita juga udah lewat.”“Aku naik jabatan. Sekarang Mas jadi kepala divisi, Dek, dan dipindahkan ke kantor pusat.”“Alhamdulillah. Selamat, ya, Mas. Akhirnya kerja keras Mas selama ini membuahkan hasil.”“Alhamdulillah.Berkat doa dan dukungan kamu juga, Dek. Ya, sudah, ya. Mas masih ada urusan. Jangan lupa kamu dandan yang cantik, ya.”“Siap, Bos.”Dika baru akan mematikan panggilan saat suara Kania kembali terdengar.““Eh, Mas, Mas.”“Iya, Dek, kenapa lagi?”“Boleh, nggak aku ajak Nisya?”“Buat apa? Mas kan ingin merayakannya berdua sama kamu.”“Aku cuma mau minta maaf atas sikapku tempo hari. Sampai sekarang aku masih merasa bersalah sama dia.”Dika melepas kasar udara di paru-parunya. “Iya, Dek, kamu memang agak keterlaluan waktu itu.”“Makanya, itu. Boleh, ya? Lagian dia pasti bisa bantuin aku dandan dan cari baju yang pantas.”“Ya, udah. Kamu boleh ajak dia.”"Asyik. Makasi, Mas." Sontak, perasaan Kania bagai dihinggapi ratusan bunga mawar yang baru mekar.***.“Selamat, ya, Mas atas jabatannya yang baru,” ucap Nisya yang duduk tepat di sebelah Kania. Ia begitu bahagia saat tadi Kania meneleponnya dan mengajaknya makan malam untuk merayakan kenaikan jabatan Dika.“Makasi, Nis. Maaf kalau undangannya mendadak. Kania yang tiba-tiba punya ide pengen ngajak kamu. Oh, iya, makasi juga sudah mengubah istriku jadi secantik ini.” Dika tersenyum sambil menggenggam erat tangan Kania. Seketika pipi Kania memerah. Namun, Nisya mencibir.“Iya, Mas nggak pa-pa. Kebetulan lagi nggak ada pelanggan penting. Jadi bisa ninggalin salon ke asisten aku.“Tak lama kemudian, seorang pramusaji datang membawa nampan dan mangkuk kecil di atasnya. Pelayan itu lalu meletakkan mangkuk berisi sup dengan irisan roti yang diletakkan di piring terpisah ke hadapan Dika, Kania dan Nisya.“Silakan dinikmati, Pak, Bu.“"Terima kasih,” ucap Dika, sedangkan kedua wanita di kanan kirinya hanya menganggguk pelan.Sepeninggal sang Pelayan, Kania yang baru pertama kali makan di restoran mewah tampak kebingungan.“Mas, kita cuma makan ini aja? Mana kenyang,” ucapnya pelan pada Dika yang masih bisa terdengar oleh Nisya."Ini baru makanan pembukanya, kok, Dek.""Oh, gitu." Kania mengangguk paham lalu mulai menikmati sup jamur yang aromanya sudah menggantung di hidung, dan membuat liurnya tertelan. Nisya seketika mengulum senyum. Dalam hati ia mentertawakan sikap Kania yang menurutnya sangat kampungan.Ia dan Kania memang sudah bersahabat selama dua tahun, tapi hubungan mereka bisa dibilang belum sedekat nadi. Tanpa setahu Kania, Nisya masih banyak menyembunyikan sesuatu di belakangnya. Begitupun sebaliknya. Mereka dekat hanya karena sama-sama tinggal sendiri di perantauan. Kania yang ditinggal sang suami bekerja di luar kota, sedangkan Nisya yang sudah tidak bersuami.Sembari lidahnya bermesraan dengan sesendok kuah sup, Nisya mengalihkan pandangan ke arah Dika yang juga sedang menikmati supnya. Lelaki itu terlihat sangat tampan dengan balutan jas hitam Armani yang membungkus tubuh atletisnya.Sayang sekali, pria setampan kamu harus beristrikan seorang Kania yang kampungan, Nisya terus membatin.Dika yang sadar jika Nisya terus menatap sontak mengangkat kepala dan balas memandang sahabat istrinya itu. Tak dipungkiri jiwa lelakinya terganggu dengan penampilan seksi dan sorot mata tajam milik sahabat sang istri.Beberapa menit lamanya Nisya dan Dika saling beradu tatap. Keduanya seakan enggan memutus rasa yang sudah mulai timbul.***Dika baru akan membuka kotak makan yang Kania bawakan saat telepon di meja kerjanya berbunyi.“Hallo, siang.”“Pak, ada tamu untuk Bapak,” lapor resepsionis yang bernama Dita.“Siapa, Dit? Klien? Bilang saya sedang istirahat. Suruh kembali nanti di atas jam satu.”“Bukan, Pak. Ibu. Katanya mau mengantar makan siang buat Bapak.”"Ibu? Maksud kamu istri saya?""Iya, Pak. Kelihatannya, sih, begitu," ucap Dita yang membuat garis-garis halus di dahi Dika bermunculan..Kania? Ngapain dia ke sini?Dika sudah berpikir yang tidak-tidak. Lelaki itu khawatir kalau Kania akan membuat malu--dengan penampilan yang kuno dan tidak menarik. Itu juga yang menjadi alasan mengapa dia tidak pernah mengajak istrinya itu menghadiri acara-acara kantor.Namun, saat Dika akan bertanya lebih lanjut, samar terdengar suara seseorang yang sangat dikenalnya.Nisya? Mau apa dia kemari?“Bagaimana, Pak?”“Oke, Saya turun sekarang,” ujar Dika setelah meletakkan kotak makan siangnya ke dalam laci.Saat tiba di lobi, Dika langsung disambut Nisya yang siang itu tampak lebih memukau.“Mas,” sapa Nisya dengan suara manja. Bibir mungilnya yang berwarna merah muda sudah melengkung ke atas. Ia kemudian berdiri dan menghampiri Dika yang baru turun dari tangga.Awalnya Dika sempat ragu mau mengajak Nisya ke ruangannya. Hingga akhirnya wanita itu mulai bicara."Kita ke ruangan kamu aja, ya, Mas?""Bo-boleh." Dika lalu mengajak Nisya ke ruang kerjanya yang terletak di lantai tiga.“Kamu ada apa ke sini? Kok, nggak kasih tahu dulu? Kania juga nggak bilang apa-apa,” kata Dika pada wanita yang sudah duduk di hadapannya. Meski terlihat gugup, dia berusaha ramah.Sebenarnya Dika tidak nyaman berduaan dengan Nisya seperti itu. Terlebih mereka hanya dipisahkan oleh meja selebar 80 cm. Bukan karena tidak tertarik, belum tepatnya. Lebih karena Dika yang tidak terbiasa dipandangi wanita cantik bersorot mata tajam seperti Nisya."Sebentar aku kasih tahu Kania dulu, ya," ucap Dika berusaha mengalihkan perhatian Nisya darinya."Eh, jangan, jangan, Mas!" kata Nisya cepat. Tepat sebelum Dika menekan nomor Kania.Sontak, Dika memicing. "Kenapa, Nis?" Apa jangan-jangan dia punya maksud lain denganku?BersambungNisya langsung menarik ketat bibirnya, kemudian bicara, “Maaf kalau kedatanganku mengganggumu, Mas. Soal Kania, aku udah kasih tau dia, kok, tapi ponselnya mati,” katanya sambil melihat ke arah kiri atas. Ia lalu memandangi Dika hingga lelaki itu meletakkan ponselnya kembali ke dalam laci dan membuat Dika jadi salah tingkah. Meski sempat curiga Dika akhirnya mengangguk. “Oke. Nggak masalah. Aku cuma kaget aja. Biasanya nggak ada yang berkunjung pas makan siang. Apalagi tamunya tenyata kamu. Ada perlu apa, ya?"“Ini, Mas. Aku cuma mau kasih ini. Sebagai ucapan terima kasihku atas undangan makan malam kemarin.” Nisya mengangsurkan sebuah tas kecil berwarna merah yang bertuliskan Tupperware di atasnya. Hingga membuat Dika memandangnya dengan penuh tanda tanya."Apa ini? Harusnya kamu nggak perlu repot. Itu bukan hal besar. Lagipula aku mengundangmu karena permintaan Kania."Saat Dika menyebut nama Kania, dada Nisya sempat memanas. Tapi ia berusaha tetap tenang. "Mas pasti belum makan sia
Sebelum menyalakan mobilnya, Dika mengirim pesan pada Nisya. "Nis, kamu udah siap? Aku sebentar lagi sampai."Tidak sampai dua detik. Nisya pun sudah mengirim balasan. "Sudah sejak tadi, Mas. Aku tunggu, ya."Tidak sampai lima belas menit Dika tiba di kediaman Nisya yang hanya berjarak lima blok dari rumahnya. Namun, Dika sengaja memutar lewat jalan belakang kompleks agar tidak ada yang mencurigainya. Maklum saja waktu masih menunjukkan pukul 19.00 WIB masih banyak yang berlalu lalang. Awalnya Dika mau menyuruh Nisya agar bertemu langsung di kantornya tapi ia tidak tega. Selain itu pasti orang-orang kantornya akan merasa aneh. Jantung Dika terus berdebar-debar karena dua hal. Karena ia sudah membohongi Kania dan karena dia akan menemui Nisya. Sejak kedatangan sahabat istrinya itu ke kantornya, Dika jadi sering memikirkan Nisya. Terlebih setelah rekan kerjanya mengganggap bahwa Nisya adalah istrinya. Bukan Kania.Dika baru mematikan mesin mobilnya saat pandangannya terpaku. Matanya ba
Mentari sudah muncul malu-malu kala Dika memicing. Dengan matanya yang masih berat ia meraba sisi kanannya. Namun, ia mendadak sadar jika saat itu ia tidak berada di ranjangnya. Bahkan, tubuhnya seperti tersengat listrik kala melihat Nisya tengah menatapnya sambil tersenyum. Wanita beraroma vanila itu sudah tampil cantik seraya duduk di sisi sofa ruang tamu--tempat Dika terlelap semalam. "Kamu kenapa nggak bangunin aku?" ucap Dika sambil menegakkan punggungnya. Ia lekas mencari ponselnya dan langsung menepuk dahinya saat tampak puluhan kali panggilan dari Kania. "Enggak tega, Mas. Kelihatannya kamu capek banget.""Sstss," ucap Dika sambil meletakkan telunjuk di depan bibir. Ia pun langsung menelepon sang istri. Diabaikannya Nisya yang terus menatapnya tajam sambil mengerucutkan mulut. Beberapa detik kemudian terdengar suara Kania di ujung telepon. "Hallo, Mas. Akhirnya kamu telepon juga. Kamu di mana, Mas?""A-aku masih di .... di hotel, Dek. Maaf semalam rapatnya baru selesai tenga
"Aku sudah lama suka sama Mas Dika. Sejak pertemuan pertama kita, aku sudah jatuh cinta," ucap Nisya yang membuat Dika terbatuk-batuk.Nisya berdiri lalu menepuk-nepuk pelan punggung Dika. Nisya juga memberikan segelas air mineral pada lelaki itu.Setelah batuk Dika mereda, Nisya bicara lagi,"Aku juga tahu kalau hubunganmu dengan Kania sedang renggang.""Jangan sok tahu," ucap Dika gugup. "Kania yang bilang. Lagian terlihat jelas kok dari sikap Mas ke aku. Mas begitu nyaman denganku, bahkan Mas tidak pernah membicarakan tentang Kania saat bersamaku." Nisya menjeda kalimatnya beberapa saat. "Itu karena aku tidak ingin menganggu suasana hatimu. Nggak ada hal lain."Nisya kembali menghampiri Dika lalu melihat langsung ke matanya. "Katakan itu sekali lagi. Bilang kalau Mas nggak punya perasaan apa pun untukku."Beberapa menit ke depan, Dika hanya diam lalu menarik napas berkali-kali. Setelah Nisya menyatakan perasaannya, ia akhirnya menyerah. Tak ditampiknya lagi, bahwa sejak lama, ia
"Hati-hati, ya, Mas. Jangan lupa telpon kalau udah sampai sana.""Iya, Dek. Kamu baik-baik, ya, di rumah." Dika menjeda kalimatnya, tampak ragu melanjutkan pertanyaan. "Nisya ... jadi nemenin kamu?" Kania langsungmenekuk wajahnya hingga menimbulkan sedikit lipatan di kedua pipinya yang tembam. "Enggak jadi, Mas. Dia bilang nggak bisa. Mau pulang kampung.""Ooh, ya udah. Kalau kamu mau, aku izinkan ke rumah Bapak."Sontak, Kania membelalak. "Beneran, Mas?""Iya bener.""Aah, makasi, Mas," ucap Kania sambil memeluk Dika. "Eh, Mas. Nisya kan mau ke Semarang juga.Mas tahu? Kok bisa tiba-tiba barengan gitu sih? Apa jangan-jangan di belakangku kalian janjian?" Mendengar ucapan Kania, mata Dika langsung melebar. Wajahnya memerah dan dahinya berkeringat. "Eng-gak lah, Dek. Kamu itu ada-ada aja. Aku kan... aku kan mau kerja. Jangan asal nuduh!" kata Dika yang mendadak emosi. Mata Kania memicing, ia merasa sedikit aneh kenapa Dika tiba-tiba marah. Padahal kan ia hanya bercanda. "Mas, aku k
Tanpa setahu Kania, Galih kerap memperhatikan putrinya yang sering sekali melamun. Lelaki 60 tahun itu menduga bahwa sikap Kania itu ada hubungannya dengan kepergian Dika ke Semarang. Awalnya Galih tidak mau mencampuri urusan rumah tangga putrinya, tapi sebagai seorang bapak tetap saja ia merasa khawatir. "Kania, sini duduk dulu. Bapak mau bicara," ucap Galih memanggil Kania yang sedang menonton televisi di ruang tengah. Sedangkan Galih sendiri sedang berada di teras. "Iya, Pak. Ada apa?""Dika kapan pulang?""Besok sore, Pak. Nanti sore juga Kania mau pulang, kok, Pak.""Bukan itu maksud bapak. Kamu mau tinggal. di sini sampai minggu depan juga boleh asal suamimu mengizinkan. Bapak cuma mau tanya. Apa sedang ada masalah dengan rumah tanggamu? Bapak perhatikan selama menginap di sini kamu sering sekali melamun."Kania terkesiap dia tidak menyangka jika bapaknya memperhatikan sikap anehnya. Namun ia tidak ingin bercerita apa yang sedang ia rasakan. Dia tidak mau membuat bapaknya semak
Selama mengandung, Dika meminta Nisya agar tetap berada di kontrakan. Tidak keluar rumah bahkan harus berhenti sementara dari salonnya. Ia tidak mau kalau Nisya kelelahan dan akan berakibat buruk pada calon bayinya. Selain itu alasan yang utama adalah karena Dika tidak mau jika Kania sampai mengetahui kalau Nisya sedang mengandung, karena Kania tidak tahu bahwa Nisya sudah menikah. Apalagi menikah dengan Dika. Untungnya Nisya menurut. Dia bahkan sangat bahagia karena Dika sangat memperhatikannya. Sebenarnya Dika mau mengantar Nisya ke kampungnya, atau tinggal bersama ibunya. Tapi Nisya tidak mau dengan alasan bahwa ia pasti akan sangat merindukan Dika. Dika pun tidak mungkin ikut Nisya tinggal di kampung karena harus bekerja dan juga bersama Kania. Akhirnya Nisya tetap berada di kontrakan tapi dia pura-pura pulang kampung. Nisya pun tidak boleh pergi jauh sendirian, karena Dikalah yang akan menyediakan semua kebutuhan Nisya dan calon bayinya. Keesokan harinya, Nisya kembali menemui
"Aawww! Kania apa-apaan, sih!" ucap Nisya sambil menarik paksa tangannya. "Jawab pertanyaanku tadi! Ada hubungan apa kamu sama Mas Dika? Dan Aksara, apa dia anak kalian?"Bola mata Nisya membesar. Jantungnya pun berdegup kencang. Jika saja dia tidak teringat akan perjanjiannya dengan Dika, dia akan senang hati mengakui pertanyaan Kania. Beberapa menit, Nisya terdiam dan mencoba berpikir cepat. "Kamu ngelindur ya, Kan? Kamu tuh ngomong apa, sih? Jangan asal nuduh, deh!""Aku nggak asal nuduh ya, Nis! Banyak buktinya. Aksara mirip banget sama Mas Dika dan dia deket banget sama kamu yang bukan ibunya. Satu lagi. Soal susu yang kamu barusan suruh aku kasih ke Aksara. Itu ASI, kan? Jangan pikir karena aku tidak punya anak, aku nggak tahu apa-apa, ya!" ucap Kania penuh emosi. Dadanya sudah sesak menahan rasa yang sangat tidak ingin ia alami. "Bukti apa lagi yang kamu mau?""Ya Tuhan gara-gara itu. Kamu tahu enggak. Susu itu adalah susu steril yang khusus aku beli buat kesembuhan Aksara da