Bintang memacu kendaraannya dengan kencang. Saking lajunya, Azzalyn merasa kalau mobil yang mereka naiki bagai melesat di atas angin.“Ternyata benar, mobil itu mengikuti kita,” ujar Rudi saat melihat mobil hitam yang dimaksud Azzalyn ikut mengebut, seolah berusaha mengimbangi laju mobil Bintang.Sementara Bintang fokus menyetir, Azzalyn tampak sibuk menghubungi Reinhart dengan handphonenya.“Om Reinhart nggak angkat telfonnya, Om.” Ujar Azzalyn kalut.“Terus coba Azzalyn. Telfon sampai diangkat. Kalau emang yang kau katakan benar bahwa mobil itu udah ada sejak kita keluar dari rumah Reinhart, itu artinya Reinhart dalam bahaya. Aku takut ada satu kelompok lagi yang mengincar Reinhart di rumahnya, sementara kita di sini juga sedang dikejar-kejar.”Nada suara Rudi terdengar sangat khawatir. Dia kenal betul siapa Riska. Orang-orang yang menjadi targetnya memang tidak akan pernah lolos dengan mudah. Sekarang dia bukan hanya mengkhawatirkan keselamatan sahabatnya Reinhart, namun juga
Bintang menurunkan kaca mobilnya dan memberi isyarat pada seorang gadis di seberang jalan. Meski dalam kondisi pemandangan yang gelap, gadis berpakaian serba hitam itu mendekat dengan menggunakan motornya.“Ikut kami dari belakang, ya Misty. Kita cari tempat yang aman untuk bicara.” Kata Bintang, disambut anggukan lemah dari gadis yang ternyata adalah Misty.Setelah mengetahui kalau Reinhart tak berada di rumah dan bahkan rumahnya dalam keadaan kacau, mereka memutuskan untuk memanggil Misty guna mengetahui keadaan yang sebenarnya.Malam dingin berangin yang semakin larut tak lagi Misty pedulikan. Sepanjang jalan ia hanya bisa menangis di balik helm yang menutup kepalanya. Rasa khawatir terhadap Reinhart yang sudah ia anggap sebagai Ayah, membuatnya tak bisa berhenti menitikkan air mata.Misty takut terjadi apa-apa pada orang yang selama ini telah baik padanya. Ia sudah kehilangan ayah kandung, Misty tak ingin lagi kehilangan orang yang telah ia anggap seperti ayahnya sendiri.Dal
“Kita buat laporan ke polisi. Bilang ada perampokan yang terjadi di rumah Om Reinhart. Tapi yang bikin laporan harus Misty, karena selama ini Cuma Misty yang memang sering bolak-balik ke rumah Om Reinhart dan berhubungan dengannya. Apalagi dengan memakai status Misty yang selama ini menjadi kurir pengantar makanan Om Reinhart, aku rasa nggak akan jadi bahan kecurigaan polisi. Mungkin Misty hanya akan dimintai keterangan. Beda dengan kita. Kalau kita yang melapor urusannya bisa panjang. Polisi bisa mencurigai kita.” Azzalyn menjelaskan panjang lebar.“Masuk akal juga apa yang kau katakan, Azzalyn. Apa kau mau melakukannya Misty?” tanya Rudi sambil menoleh ke arah gadis yang pipinya tampak basah karena menangis.“Sebenarnya Misty takut sama polisi. Tapi demi mengetahui keberadaan Om Rein, Misty akan melakukannya.” Ujar Misty mantap.“Bagus. Tapi kapan sebaiknya kita melapor?” “Sekarang juga, Om. Kalau tunggu besok pagi atau siang, keburu tetangga Om Reinhart menyadari kalau ada yan
“Halo, Rudi. Kenapa kau terkejut seperti itu melihatku datang? Apa aku tak boleh main-main ke sini? Kamu jangan lupa, aku mantan bos mu.” Riska berkata dengan santai sambil melihat-lihat dan memegang barang pajangan di lemari. Sementara Rudi menjadi semakin merasa was-was. Entah apa maksud kedatangan Riska ke rumahnya kini, setelah kejadian semalam. Apa Riska benar-benar sudah tahu tentang Reinhart?“Maaf. Aku hanya tak menyangka. Sebab setahuku sudah lama sekali sejak terakhir kali kau main ke sini. Aku jadi terkejut. Entah ada angin apa sampai tiba-tiba kau ada di ruang tamu ku sekarang.” Sindir Rudi, berusaha untuk tetap tenang. Ia tak mau terpancing akal bulus perempuan licik di hadapannya ini.“Entahlah. Aku sendiri juga nggak tahu pasti alasanku datang kemari. Aku hanya merasa.... Nggak enak hati.” Kata Riska dengan nada seperti mengejek.Rudi berdehem. Berusaha untuk bersikap senormal mungkin. Selagi Riska belum memergokinya secara langsung kalau ia bersekutu dengan Azzaly
“Ada pesan untuk Kak Bintang, Om? Biar nanti aku sampaikan.” Ujar Dwita dengan santainya. Ia tak menyadari kalau apa yang ia lakukan adalah sesuatu yang sangat tidak sopan. Yaitu mengangkat telepon orang lain, saat pemilik handphone sedang tidak ada di tempat.“Nggak usah. Biar nanti aku telfon lagi. Lagian ngapain kamu sembarangan ngangkat telfon di HP Bintang? Kamu siapanya emang? Pacarnya? Jadi anak jangan lancang, Dwita. Kamu nggak boleh seenaknya berbuat seolah-olah kalau barang orang lain adalah barang kamu juga.” Omel Rudi. Dia memang paling tak suka dengan sifat anak perempuan Krisna itu. Terlalu manja, egois dan arogan. Berbeda dengan Abyl yang cenderung lebih kalem dan tahu sopan santun.“Apaan sih Om? Tahu-tahu marah aja. Om juga emang siapanya Kak Bintang sih? Sampai ngomel-ngomel nggak jelas, cuma karena aku angkat telfon di HP nya!” Dwita menjawab dengan sengit. Dia memang tak suka ditegur, meski oleh orang yang jauh lebih tua sekalipun.“Kamu itu ya, kalau dikasih ta
Azzalyn sempat diam tak merespon saat Bintang mengatakan kalau mereka hampir mendapatkan titik terang soal pembunuhan Paman Bandi. Pikirannya campur aduk. Rasa terkejut karena tak menyangka dan senang menjadi satu.“Halo, Azzalyn. Kamu masih di sana?” Tanya Bintang saat ia tak mendengar jawaban dari Azzalyn.“Iya aku di sini Bintang,” Azzalyn seakan tersadar dan langsung menjawab. “Jadi bagaimana? Informasi apa yang udah kamu dapat soal pembunuhan Paman? Siapa yang memberitahumu?” Tanyanya lagi, penasaran.“Ceritanya panjang. Nanti kita omongkan saat dalam perjalanan aja. Aku juga udah nelfon Om Rudi tadi. Jadi kalau kalian sudah siap, sebentar lagi aku ke sana. Tapi sebelum menjemput kalian, aku akan menjemput Koma dulu.”“Jadi nama orang suruhan Om Rudi yang mau bantu kita itu namanya Koma?” tanya Azzalyn.“Iya. Kalau gitu udah dulu ya. Aku mau turun sekarang.” “Iya, hati-hati di jalan.” Kata Azzalyn, dan langsung memutuskan sambungan telepon mereka.“Kak Bintang udah mau je
Waktu menunjukkan hampir pukul setengah delapan malam. Suasana rumah makan yang tadinya tak terlalu ramai, kini terlihat hampir penuh. Mungkin karena memang ini sudah masuk jam makan malam.“Nggak usah terlalu terburu-buru. Makan pelan-pelan aja,” ujar Bintang sambil tersenyum saat melihat Misty yang terlihat mengunyah makanannya dengan cepat.“Misty emang gini kalau makan, Kak. Bukan karena buru-buru, tapi emang udah terbiasa makan cepat.” Sahut Misty sambil mengelap bibirnya yang berminyak karena lauk ayam goreng yang tadi ia pesan.“Biar aja dia makan cepat. Kenyataannya, memang dia kan yang paling akhir selesai makan?” Dengan santainya Koma mengatakan itu di depan Misty.Misty yang disindir merasa tersinggung. Ia masih kesal dengan sikap Koma sebelumnya yang sama sekali tak menyambut uluran tangan saat di dalam mobil tadi. “Aku paling terakhir selesai makan karena pesananku yang datang paling belakangan. Lagian kamu tadi bilang nggak lapar, nggak mau makan. Tapi pesan duluan
Mobil semakin melaju dengan kencang, seolah sedang berpacu dengan waktu. Tampak wajah Misty dan Koma yang cemberut karena dipaksa untuk duduk bersebelahan di kursi belakang. Sementara Azzalyn duduk di depan bersama Bintang, karena mereka memang berniat untuk membicarakan masalah pembunuhan Paman Bandi.“Dwita yang memberitahuku, kalau beberapa bulan yang lalu ada salah satu anak buah kepercayaan Mamanya yang disuruh pulang kampung. Namanya Harjiman.” Sampai di sini kalimat Bintang berhenti. Seolah sedang menunggu respon dari Azzalyn.“Bukankah Jiman itu adalah nama anak buah Paman Bandi yang waktu itu kita curigai karena ia tak datang lagi saat Paman Bandi turun melaut waktu kejadian itu?” Tanya Azzalyn memastikan. Bintang mengangguk. “Dan Dwita bilang, Harjiman itu dulunya adalah seorang anggota pasukan khusus di kepolisian. Ia punya banyak keahlian, salah satunya adalah sebagai perakit dan penjinak bom.”“Jadi kemungkinan besar memang dia.” Ujar Azzalyn. “Apa Dwita bilang dia p