Jade Ariana. Daniel mengetik sebaris nama wanita yang pernah mengisi hidupnya belasan tahun lalu pada layar tablet. Tidak butuh waktu lama bagi Daniel untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Di mesin pencarian khusus, tertera sejumlah keterangan. Daniel membaca secara teliti, tak membiarkan sedikit kata pun luput. Jarak di antara kedua alis Daniel mengerut ketika menemukan fakta mengejutkan. Setelah rumah keluarganya terbakar, Jade diasuh oleh ayahnya. Setahun yang lalu, wanita itu ditemukan tewas karena kecelakaan mobil. "Jade tewas?" Daniel terhenyak. Pria itu meletakkan tablet belasan juta di sofa bagaikan barang tidak berharga. Tubuhnya mendadak terasa lemas, tak bertenaga. Terkejut, sedih, kosong. Ketiganya bercampur menjadi satu, membentuk rasa kehilangan yang tak terperi. Terlebih saat angannya kembali pada moment kebersamaan mereka sebelum kelulusan di bangku sekolah menengah atas. "Aku akan kuliah di Amerika," ucap Jade, gadis cantik yang kala itu membawa skateboar
Daniel dan gadis itu saling pandang. Si gadis asing menunjukkan aksi memelas. Seolah pria itu adalah harapan terakhir untuk hidupnya. "Tempatku bukan penampungan. Kau tidak punya rumah atau bagaimana?" Daniel menggeleng gemas pada gadis remaja yang tampak memohon. "Ada, Om. Tapi ibu tiriku jahat. Dia pasti akan menjualku lagi pada pria hidung belang," lirihnya tertunduk. Daniel bahkan ingin tertawa karena sedari tadi gadis itu keukeuh memanggilnya 'Om'. Apa dia setua itu? "Siapa namamu?" Daniel melunak dan mengajak gadis itu menepi agar tidak menghalangi orang lain yang akan menuju ke toilet. "Kika.""Oke, Kika. Kau bisa menginap semalam di tempatku. Tapi besok pagi aku akan mengantarmu pulang," putus pria dengan potongan rambut rapi tersebut. Manik mata Kika berbinar. Daniel mengalihkan pandangan. Ia tak menyangka akan membawa pulang gadis SMA ke apartement yang baru ditinggali setahun terakhir. Dua orang itu kembali ke titik Victor berada. Senyum Victor mendadak terbit meliha
Daniel dengan langkah tergesa memasuki kantor pusat Orion Group. Kesibukan pagi itu terjadi seperti biasa, tetapi tidak dengan kekhawatiran dalam benak Daniel. Ini sudah pukul delapan. Totalnya terlambat adalah sembilan puluh menit. Kesalahan yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Pria itu urung menuju lift, karena sang CEO yang akan ia temui tengah berdiri di dekat resepsionis. Membaca laporan dengan seksama seraya sesekali bertanya pada pria lebih tua di depannya yang tak lain adalah direktur keuangan. Ketika Daniel sampai di dekatnya, Vinn hanya melirik sekilas. Ia menyerahkan lembaran pada si direktur. "Untuk lebih lanjut kita akan membahasnya di meeting siang ini," tutup Vinn pada pria paruh baya yang berpenampilan rapi itu. "Baik, Pak."Direktur berlalu. Daniel maju selangkah, memperlihatkan wajah menyesal sekaligus siap jika mungkin Vinn memberinya sanksi. "Maaf, Tuan. Saya terlambat. Ini tidak akan terjadi lain kali," ujarnya sambil menunduk. Vinn memeriksa jam tangan se
Daniel menggeleng dan menggeleng lagi. Ini sudah tiga kali dalam sepuluh menit terakhir. Hari menjelang sore dan saat ini ia tengah berkendara sendiri menuju suatu tempat. Beberapa jam telah berlalu sejak pria itu menemani Clara. Dan selama itu pula ia merutuki mulutnya yang suka keceplosan. Pada akhirnya Daniel cuma mengumpat tertahan ketika mengingat percakapannya dengan Clara. "Tidak, Nona. Ehm, iya, tidak. Maksud saya tidak," ucap Daniel yang bingung usai mendapat tatapan menyelidik wanita itu. "Vinn sakit apa? Tidak parah, 'kan?" Clara menggigit bibir bawah, rasa khawatir merasuk bercampur dengan penasaran yang menggebu. "Sebaiknya Anda menanyakan sendiri pada Tuan Vincent. Saya tidak punya wewenang untuk menjelaskan."Clara masih memandang tetapi tidak memaksa. Daniel makin merasa tidak nyaman, terlebih karena setelah itu mereka keluar dari gerai VS tanpa membeli apapun. Keduanya justru kembali ke mobil, menuju cafe bernuansa cozy dan menemani Clara melamun selama beberapa s
Lampu gudang tua itu cukup redup. Sama seperti suasana di luar yang hanya di terangi lampu watt kecil juga sinar bulan yang temaram. JD baru saja sampai, menepikan mobil di samping mobil lain yang telah tiba lebih dulu. Wanita itu mengawasi sekitar dengan siaga, tatapan tajamnya seakan mampu menerawang hingga lebih dari belasan meter. Drap. Drap. Drap. Langkah tegaknya mendekati pintu gudang yang tertutup. Besi besar itu berkarat tetapi masih terlihat kokoh. Terdengar bunyi derit menyebalkan ketika ia membuka dengan perlahan. Di satu sudut, terdapat dua kursi saling berhadapan. Terpisah oleh meja lingkaran kecil, tak lupa lampu gantung berwarna kuning. "Bos, Anda memanggil saya?" ucap wanita dengan outfit hitam dan rambut dikuncir ekor kuda tersebut. Si pria muda yang dipanggil bos bangkit dari salah satu kursi. Menatap nyalang. JD tak suka cara pria itu melihatnya, dari ujung kaki hingga kepala. Seakan ia tengah ditelanjangi. "Kukira kau lupa jalan untuk bertemu denganku." Ma
Pelataran mansion yang basah menyambut kedatangan Daniel pagi itu. Semalam hujan turun, mengguyur keseluruhan area mansion dengan luas lebih dari belasan hektar. Termasuk hutan di sekitarnya. Pria itu berjalan tak peduli meski sepatunya mulai terkena air yang menggenang. Dari arah belakang, seseorang menepuk pundak. Daniel sedikit menoleh dan dalam sekejap pria bernama Aiden telah berjalan di sampingnya. "Kau datang cukup pagi hari ini. Tumben," ucap Aiden memulai percakapan. "Kau sendiri sepagi ini dari mana?" "Rumah Brian," jawab Aiden pendek. "Untuk apa? Bukankah Brian sudah lama memutuskan tinggal di paviliun belakang?" Daniel menoleh sekilas sambil terus berjalan. "Tuan Besar memintaku menjemputnya. Tadi malam dia pamit pergi sebentar tapi hingga pagi tak juga kembali. Kau pun tahu jika Tuan Besar hanya mau bermain catur dengan bocah mesum itu," terang Aiden. "Lalu, di mana dia sekarang?""Entahlah. Hanya ada tunangannya di sana dan dia mengatakan Brian tidak datang ke rum
Pagi yang sama di Mansion Keluarga Hazard. "Bagaimana persiapan pesta?" Tuan Ronald bertanya lalu menyesap teh hijau. Pria tua itu duduk di balkon lantai dua, menghadapi sinar matahari terbit yang terasa hangat. "Semua sesuai seperti yang Tuan perintahkan. Ballroom juga tamu undangan," jawab Frans, kepala pelayan yang Tuan Ronald beri tugas untuk mengurus segala sesuatu tentang pesta ulang tahunnya esok hari. "Bagus. Pastikan semua berjalan sempurna. Kau sudah mengirim undangan untuk Tuan dan Nyonya Celebry?" Tuan Ronald mengusap janggut tipis seraya menyebut nama investor baru di perusahaannya. "Sudah, Tuan. Beliau memastikan bisa hadir tapi mungkin akan sedikit terlambat."Belasan meter dari belakang Tuan Ronald, Martin berjalan dengan langkah lebarnya. Wajahnya cukup ceria pagi ini. Frans membalikkan badan dan langsung membungkuk singkat pada si tuan muda. "Kakek!" sapanya sumringah. Pria dengan pakaian kantor itu berdiri tepat di samping kursi Tuan Ronald, ikut menikmati pema
Selembar surat itu berhasil membuat mood Martin hancur seharian. Setidaknya tiga staff di kantor menjadi amukan pria itu karena hal sepele. "Jika tidak niat bekerja, sebaiknya kau pulang saja! Mengerjakan laporan saja tidak becus. Keluar dari ruanganku dan buat ulang laporan sekarang juga!!" hardik Martin pada karyawati bagian keuangan yang akhirnya keluar sambil menangis. "Mengapa semua membuatku kesal hari ini?! Ck!" Martin membanting punggung pada sandaran kursi, menatap jengah bunga mawar artifisial di vas kaca. Satu jam kemudian Martin memutuskan pulang ke apartemen. Meski jam operasional kantor baru berakhir tiga jam lagi. Pria itu bahkan tak peduli saat sekretarisnya mengingatkan tentang agenda menyambut tamu penting. "Tunda saja. Katakan jika aku sibuk," ucapnya acuh sambil melenggang pergi. Mobil hitamnya meluncur di keramaian kota. Tatapan tajam yang fokus tiba-tiba menangkap kelebatan mobil lain yang ia kenal. Mobil putih yang biasa asisten Vinn kendarai. Timbul keingi