Clara hanya bisa mendengkus kesal ketika Rose dengan penuh percaya diri mencoba sepatu yang seharusnya ia beli. Wanita itu keluar dari toko sepatu branded dengan raut wajah masam. "Nona, saya mengenal beberapa desainer sepatu ternama," tawar JD berharap bisa sedikit menghibur si nona muda. "Lain kali aja, aku udah malas cari sepatu," sungut Clara sambil terus berjalan. Keinginannya untuk membeli underware pun sirna sudah. Mereka mampir sejenak untuk membeli jus pome dan pulang tanpa melirik stan maupun toko lain. Tidak ada percakapan, JD memaklumi jika Clara masih kesal dan enggan diajak bicara. JD tak tahu jika dibandingkan kesal, nyatanya Clara lebih cenderung bingung. Dengan mudah menyetujui ajakan Rose mengenai reuni tanpa menyadari acara itu hanyalah ajang pamer. Petang di hari yang sama. Satu jam sebelum makan malam Clara telah berkutat di depan cermin kamar. Meski dengan wajah manyun, pada akhirnya ia sudah siap dengan dress soft pink bawah lutut. "JD, kita berangkat sek
"Kau tidak minum?" Daniel menanyai wanita muda yang sedari duduk diam di sampingnya. JD hanya menoleh sekilas lalu kembali menatap ke depan. Daniel mengedikkan bahu lalu meminum coffe latte yang mulai mendingin. "Daniel?" Kini giliran pria muda dengan outfit hitam yang menoleh. Ia menunggu kalimat JD selanjutnya. Wanita dengan cat eye itu tampak memikirkan sesuatu. "Ada apa?" tanya Daniel karena JD tak kunjung berbicara. "Kau sudah menikah?""Tidak, aku tidak tertarik untuk hal semacam itu." Daniel menggeleng. Dalam benak merasa aneh JD mendadak membahas kehidupan pribadinya. "Oh.""Kenapa? Kau bertanya bukan karena menyukaiku, 'kan? Ya, aku tahu jika aku tampan. Tapi maaf saja- Ugh!" Ungkapan kebanggaann pria itu segera tehenti setelah JD menyikut telak rusuknya. "Ck. Kau ini, begitu saja marah." Daniel mengusap area rusuknya yang terasa ngilu. "Kau tampan tapi bukan tipeku," ucap JD tanpa melihatnya. "Yah, setidaknya kau mengakui jika aku tampan." Daniel bersandar pada kepa
Jade Ariana. Daniel mengetik sebaris nama wanita yang pernah mengisi hidupnya belasan tahun lalu pada layar tablet. Tidak butuh waktu lama bagi Daniel untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Di mesin pencarian khusus, tertera sejumlah keterangan. Daniel membaca secara teliti, tak membiarkan sedikit kata pun luput. Jarak di antara kedua alis Daniel mengerut ketika menemukan fakta mengejutkan. Setelah rumah keluarganya terbakar, Jade diasuh oleh ayahnya. Setahun yang lalu, wanita itu ditemukan tewas karena kecelakaan mobil. "Jade tewas?" Daniel terhenyak. Pria itu meletakkan tablet belasan juta di sofa bagaikan barang tidak berharga. Tubuhnya mendadak terasa lemas, tak bertenaga. Terkejut, sedih, kosong. Ketiganya bercampur menjadi satu, membentuk rasa kehilangan yang tak terperi. Terlebih saat angannya kembali pada moment kebersamaan mereka sebelum kelulusan di bangku sekolah menengah atas. "Aku akan kuliah di Amerika," ucap Jade, gadis cantik yang kala itu membawa skateboar
Daniel dan gadis itu saling pandang. Si gadis asing menunjukkan aksi memelas. Seolah pria itu adalah harapan terakhir untuk hidupnya. "Tempatku bukan penampungan. Kau tidak punya rumah atau bagaimana?" Daniel menggeleng gemas pada gadis remaja yang tampak memohon. "Ada, Om. Tapi ibu tiriku jahat. Dia pasti akan menjualku lagi pada pria hidung belang," lirihnya tertunduk. Daniel bahkan ingin tertawa karena sedari tadi gadis itu keukeuh memanggilnya 'Om'. Apa dia setua itu? "Siapa namamu?" Daniel melunak dan mengajak gadis itu menepi agar tidak menghalangi orang lain yang akan menuju ke toilet. "Kika.""Oke, Kika. Kau bisa menginap semalam di tempatku. Tapi besok pagi aku akan mengantarmu pulang," putus pria dengan potongan rambut rapi tersebut. Manik mata Kika berbinar. Daniel mengalihkan pandangan. Ia tak menyangka akan membawa pulang gadis SMA ke apartement yang baru ditinggali setahun terakhir. Dua orang itu kembali ke titik Victor berada. Senyum Victor mendadak terbit meliha
Daniel dengan langkah tergesa memasuki kantor pusat Orion Group. Kesibukan pagi itu terjadi seperti biasa, tetapi tidak dengan kekhawatiran dalam benak Daniel. Ini sudah pukul delapan. Totalnya terlambat adalah sembilan puluh menit. Kesalahan yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Pria itu urung menuju lift, karena sang CEO yang akan ia temui tengah berdiri di dekat resepsionis. Membaca laporan dengan seksama seraya sesekali bertanya pada pria lebih tua di depannya yang tak lain adalah direktur keuangan. Ketika Daniel sampai di dekatnya, Vinn hanya melirik sekilas. Ia menyerahkan lembaran pada si direktur. "Untuk lebih lanjut kita akan membahasnya di meeting siang ini," tutup Vinn pada pria paruh baya yang berpenampilan rapi itu. "Baik, Pak."Direktur berlalu. Daniel maju selangkah, memperlihatkan wajah menyesal sekaligus siap jika mungkin Vinn memberinya sanksi. "Maaf, Tuan. Saya terlambat. Ini tidak akan terjadi lain kali," ujarnya sambil menunduk. Vinn memeriksa jam tangan se
Daniel menggeleng dan menggeleng lagi. Ini sudah tiga kali dalam sepuluh menit terakhir. Hari menjelang sore dan saat ini ia tengah berkendara sendiri menuju suatu tempat. Beberapa jam telah berlalu sejak pria itu menemani Clara. Dan selama itu pula ia merutuki mulutnya yang suka keceplosan. Pada akhirnya Daniel cuma mengumpat tertahan ketika mengingat percakapannya dengan Clara. "Tidak, Nona. Ehm, iya, tidak. Maksud saya tidak," ucap Daniel yang bingung usai mendapat tatapan menyelidik wanita itu. "Vinn sakit apa? Tidak parah, 'kan?" Clara menggigit bibir bawah, rasa khawatir merasuk bercampur dengan penasaran yang menggebu. "Sebaiknya Anda menanyakan sendiri pada Tuan Vincent. Saya tidak punya wewenang untuk menjelaskan."Clara masih memandang tetapi tidak memaksa. Daniel makin merasa tidak nyaman, terlebih karena setelah itu mereka keluar dari gerai VS tanpa membeli apapun. Keduanya justru kembali ke mobil, menuju cafe bernuansa cozy dan menemani Clara melamun selama beberapa s
Lampu gudang tua itu cukup redup. Sama seperti suasana di luar yang hanya di terangi lampu watt kecil juga sinar bulan yang temaram. JD baru saja sampai, menepikan mobil di samping mobil lain yang telah tiba lebih dulu. Wanita itu mengawasi sekitar dengan siaga, tatapan tajamnya seakan mampu menerawang hingga lebih dari belasan meter. Drap. Drap. Drap. Langkah tegaknya mendekati pintu gudang yang tertutup. Besi besar itu berkarat tetapi masih terlihat kokoh. Terdengar bunyi derit menyebalkan ketika ia membuka dengan perlahan. Di satu sudut, terdapat dua kursi saling berhadapan. Terpisah oleh meja lingkaran kecil, tak lupa lampu gantung berwarna kuning. "Bos, Anda memanggil saya?" ucap wanita dengan outfit hitam dan rambut dikuncir ekor kuda tersebut. Si pria muda yang dipanggil bos bangkit dari salah satu kursi. Menatap nyalang. JD tak suka cara pria itu melihatnya, dari ujung kaki hingga kepala. Seakan ia tengah ditelanjangi. "Kukira kau lupa jalan untuk bertemu denganku." Ma
Pelataran mansion yang basah menyambut kedatangan Daniel pagi itu. Semalam hujan turun, mengguyur keseluruhan area mansion dengan luas lebih dari belasan hektar. Termasuk hutan di sekitarnya. Pria itu berjalan tak peduli meski sepatunya mulai terkena air yang menggenang. Dari arah belakang, seseorang menepuk pundak. Daniel sedikit menoleh dan dalam sekejap pria bernama Aiden telah berjalan di sampingnya. "Kau datang cukup pagi hari ini. Tumben," ucap Aiden memulai percakapan. "Kau sendiri sepagi ini dari mana?" "Rumah Brian," jawab Aiden pendek. "Untuk apa? Bukankah Brian sudah lama memutuskan tinggal di paviliun belakang?" Daniel menoleh sekilas sambil terus berjalan. "Tuan Besar memintaku menjemputnya. Tadi malam dia pamit pergi sebentar tapi hingga pagi tak juga kembali. Kau pun tahu jika Tuan Besar hanya mau bermain catur dengan bocah mesum itu," terang Aiden. "Lalu, di mana dia sekarang?""Entahlah. Hanya ada tunangannya di sana dan dia mengatakan Brian tidak datang ke rum