Jelita menelepon Pak Gatot, sopir keluarga Subrata yang tadi mengantar rombongan keluarga Hana ke bandara. “Pak, saya sudah di lobi yang tadi. Bapak di mana?” tanyanya sambil menoleh ke sekitar, mencari-cari dengan tatapan bingung. “Loh saya sudah balik ke Jakarta, Mbak.” “Hah? Kok saya ditinggal?” “Tadi saya ditelepon sama tuan William, saya disuruh langsung balik saja, katanya Mbak Lita nanti pulangnya bareng sama tuan.” “Oh. Baik, Pak. Terima kasih.” Jelita kemudian menutup sambungan telepon itu dan menatap ke arah William dan Nadya yang terlihat asyik berbincang tak jauh darinya. Dia mendesah, mengusir rasa tak nyaman yang melingkupi dirinya. Tak lama kemudian sebuah mobil sedan menepi. Jelita melihat sosok Pak Mamat, sopir pribadi William, turun dari dalam mobil untuk membukakan pintu bagi sang tuan. William mempersilakan Nadya masuk, setelah Nadya memasuki mobil barulah William menutup pintunya, kemudian pria itu menoleh kepada Jelita sambil membukakan pintu bagian depan lal
Jelita bisa merasakan perubahan sikap Bimo yang mendadak menarik diri sejak tahu dirinya hanyalah pembantu. Cowok itu tak pernah lagi mengiriminya pesan-pesan gombal seperti ucapan selamat pagi dan selamat tidur. Atau pesan-pesan kepo ingin tahu apa saja kegiatan Jelita seharian. Jelita justru tenang dan tak terganggu. Juga tak tersinggung andaikata Bimo benar kecewa dan memutuskan pertemanan hanya karena perbedaan kasta antara mereka. Baginya itu hak Bimo dalam memilih teman, setiap orang berhak memutuskan dengan siapa dia ingin berteman. Ketika Jelita sudah mulai masuk kuliah dan melewati masa-masa ospek yang melelahkan, Jelita tak agresif memperluas jaringan pertemanan, meskipun William menganjurkan begitu. Jelita yakin ada banyak orang seperti Bimo yang akan kecewa setelah tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Pertemanannya dengan Bimo mengajarinya satu hal penting bahwa bagaimanapun umumnya orang lebih peduli tentang siapa kita daripada bagaimana kita. Dalam waktu singkat sosok Je
Nadya berdiri di dekat pintu utama ruang dansa seperti orang bodoh, sendirian, memandangi suasana gemerlap di hadapannya. Lampu-lampu serupa lilin memancarkan cahaya hangat keemasan ke arah para tamu yang sedang sibuk berdansa. Para pria memakai tuksedo, berdampingan dengan wanitanya yang bergaun memukau dengan batu permata berkilauan di leher dan pergelangan tangan mereka, simbol kesuksesan yang mengukuhkan nama besar pribadi maupun perusahaan yang mereka miliki. Nadya sudah terbiasa dengan acara-acara eksklusif seperti ini saat masih tinggal di Paris, namun selalu di luar keramaian karena biasanya dia sedang bekerja. Akan tetapi baru kali ini ia benar-benar merasakan perasaan terasing seperti ini. Padahal kali ini ia menjadi bagian tamu penting dalam acara ini. Bahkan dia sudah menyanggul rambutnya dengan gaya modern yang manis. Dengan gaun satin hijaunya yang tanpa tali di bahu, memamerkan keindahan pundak dan tulang selangkanya yang seksi. Andai saja William melihat penampilannya
“Sayangnya wanita itu tak masuk kriteria calon menantu keluarga Subrata bukan?” Nadya tersenyum melihat William membisu. “Will, aku bisa berkompromi denganmu tentang keberadaan wanita itu dalam hubungan asmara kita nanti. Aku akan tutup mata seakan tak pernah melihatnya dan berlagak tak tahu apa-apa.” “Jangan cari masalah, Nad. Jangan pikir ini perkara yang mudah untuk diatasi.” “Percayalah padaku, Will. Aku hanya butuh status sebagai pacarmu.” “Buat apa sih, Nad?” “Buat menenangkan orangtuaku, Will. Mereka pikir selama ini aku gila karier sampai-sampai melupakan soal asmara. Dengan menjalin hubungan denganmu, mereka tak akan mencecarku lagi. Dan seperti yang kubilang, kalaupun pada akhirnya kita putus, setidaknya mereka sudah melihat aku telah mencoba sebuah hubungan.” “Apa kamu seputus asa itu, Nad?” William tertawa lirih sambil geleng-geleng kepala. “Terus terang, ya.” Nadya mencebik untuk dirinya sendiri. “Oke. Aku terima tawaranmu selama kamu betulan bisa berkompromi tenta
Jelita menarik napas demi menenangkan debar jantung dan emosinya yang bergolak. William tak seharusnya menggugah emosinya sehebat ini. Tapi begitulah kenyataannya. Dan ini sungguh buruk baginya. Mendadak ruangan ini seperti dialiri listrik yang berbahaya karena ketegangan tinggi yang terjadi antar mereka. Kenapa William menatapnya seperti ini? Sedalam ini. Membuat darahnya bergolak dan kulitnya menggelenyar. Membuat Jelita memikirkan hal-hal yang tak senonoh, kotor, tetapi menantang sesuatu dalam dirinya. Tubuh mereka sangat dekat. Jelita merasa terancam, tetapi bukan oleh William, ancaman itu melainkan datang dari dalam dirinya yang memikirkan reaksinya terhadap pria yang berusia sepuluh tahun lebih tua darinya ini. “Lita—” Suara William berubah parau saat menyebutkan nama pembantu yang disayanginya ini. Desakan untuk mencium Jelita bukan hanya karena didorong oleh rasa cinta dan kekagumannya belaka, namun juga karena ia merasakan denyut hasrat yang sudah sekian lama tak ia rasaka
“Eh. Gimana kalau kita berendam aja di jacuzzi. Mau?” Jelita bisa merasakan jelas William tengah menggodanya, tatapannya nakal dan menantang. Gadis itupun menjawabnya dengan cubitan di pinggang William hingga pria itu terbahak-bahak geli. Tawa yang terdengar ceria dan bahagia. Jelita tak sanggup membayangkan bagaimana jika betulan mereka berendam di dalam jacuzzi, fasilitas yang tersedia di villa mewah ini, sebuah kolam yang berukuran kecil dan memiliki kedalaman sedang. Fungsi kolam itu untuk berendam dan relaksasi. Airnya hangat dengan gelembung-gelembung yang dihasilkan alat penyembur sehingga cocok untuk merelaksasi siapapun yang sedang berada di dalamnya. Tawaran yang menggiurkan. Tetapi berendam berdua saja dengan William? Betul-betul sinting. Mengancam sisa-sisa kewarasan yang masih mereka miliki saat ini. Bahkan hubungan asmara antara mereka ini tak semestinya terjadi. “Abang sadar tidak, kita sedang menciptakan skandal yang akan mencederai nama baik keluarga Subrata?” Will
“Tidak …, bagaimana mungkin wanita yang dicintainya itu Jelita …, pembantunya sendiri!” Namun bersama penolakannya itu, memori Nadya kembali memutar beberapa fakta yang pernah dilihatnya di masa lalu, bagaimana diam-diam William menempatkan tangannya di pinggiran meja makan untuk menjaga Jelita dari kemungkinan benturan saat gadis itu tengah menunduk mengambil sendok yang terjatuh di bawah meja. Juga kala William membukakan pintu mobil saat membawa pulang Jelita bersama mereka dari bandara. Bahkan Nadya sempat melihat perubahan wajah William yang menegang kala Jelita menerima telepon dari lelaki bernama Bimo, sampai-sampai pria itu tak fokus lagi dengan obrolan hangat mereka. “Kenapa harus dia, Will. Kenapa?” Nadya memegangi dadanya yang bergemuruh sakit seraya meratapi sosok William yang sedang menatap kekasihnya yang sedang terbang dengan senyumnya yang sarat kebahagiaan, berbanding terbalik dengan perasaan Nadya yang porak poranda dilanda nelangsa. Merasa ada yang memerhatikan, W
Jelita menyusuri koridor kampus sambil berlari-lari kecil. Di sebuah belokan, tiba-tiba dia bertabrakan dengan Bimo. Keduanya sama-sama tertegun. Ini adalah pertemuan tak sengaja mereka setelah lebih dari empat bulan Bimo tak lagi mengacuhkan Jelita usai mengetahui status Jelita yang cumalah seorang pembantu. Bimo memungut buku Jelita yang terjatuh. Dengan tatapan seperti mencibir, Bimo mengembalikannya. “Telat? Habis masak dan mengepel rumah dulu?” sindirnya. Jelita mengambil bukunya dari tangan Bimo sambil membalas senyum mencibir itu dengan santai. “Bahkan aku masih sempat menyeterika setumpuk pakaian dulu, bukan cuma masak dan mengepel. Itu memang pekerjaanku sebagai pembantu. Buat apa tanya hal yang sudah jelas? Kurang kerjaan,” sahutnya sambil memutar bola mata lalu melewati Bimo dengan acuh tak acuh. “Dih! Cuma pembantu aja sombong.” Bimo mendengkus sambil melanjutkan langkahnya, menuju kelas yang sudah lama tak dimasukinya karena keseringan membolos. Katanya bakal ada uji