Happy reading. Let's vote :)
Nadya berdiri di dekat pintu utama ruang dansa seperti orang bodoh, sendirian, memandangi suasana gemerlap di hadapannya. Lampu-lampu serupa lilin memancarkan cahaya hangat keemasan ke arah para tamu yang sedang sibuk berdansa. Para pria memakai tuksedo, berdampingan dengan wanitanya yang bergaun memukau dengan batu permata berkilauan di leher dan pergelangan tangan mereka, simbol kesuksesan yang mengukuhkan nama besar pribadi maupun perusahaan yang mereka miliki. Nadya sudah terbiasa dengan acara-acara eksklusif seperti ini saat masih tinggal di Paris, namun selalu di luar keramaian karena biasanya dia sedang bekerja. Akan tetapi baru kali ini ia benar-benar merasakan perasaan terasing seperti ini. Padahal kali ini ia menjadi bagian tamu penting dalam acara ini. Bahkan dia sudah menyanggul rambutnya dengan gaya modern yang manis. Dengan gaun satin hijaunya yang tanpa tali di bahu, memamerkan keindahan pundak dan tulang selangkanya yang seksi. Andai saja William melihat penampilannya
“Sayangnya wanita itu tak masuk kriteria calon menantu keluarga Subrata bukan?” Nadya tersenyum melihat William membisu. “Will, aku bisa berkompromi denganmu tentang keberadaan wanita itu dalam hubungan asmara kita nanti. Aku akan tutup mata seakan tak pernah melihatnya dan berlagak tak tahu apa-apa.” “Jangan cari masalah, Nad. Jangan pikir ini perkara yang mudah untuk diatasi.” “Percayalah padaku, Will. Aku hanya butuh status sebagai pacarmu.” “Buat apa sih, Nad?” “Buat menenangkan orangtuaku, Will. Mereka pikir selama ini aku gila karier sampai-sampai melupakan soal asmara. Dengan menjalin hubungan denganmu, mereka tak akan mencecarku lagi. Dan seperti yang kubilang, kalaupun pada akhirnya kita putus, setidaknya mereka sudah melihat aku telah mencoba sebuah hubungan.” “Apa kamu seputus asa itu, Nad?” William tertawa lirih sambil geleng-geleng kepala. “Terus terang, ya.” Nadya mencebik untuk dirinya sendiri. “Oke. Aku terima tawaranmu selama kamu betulan bisa berkompromi tenta
Jelita menarik napas demi menenangkan debar jantung dan emosinya yang bergolak. William tak seharusnya menggugah emosinya sehebat ini. Tapi begitulah kenyataannya. Dan ini sungguh buruk baginya. Mendadak ruangan ini seperti dialiri listrik yang berbahaya karena ketegangan tinggi yang terjadi antar mereka. Kenapa William menatapnya seperti ini? Sedalam ini. Membuat darahnya bergolak dan kulitnya menggelenyar. Membuat Jelita memikirkan hal-hal yang tak senonoh, kotor, tetapi menantang sesuatu dalam dirinya. Tubuh mereka sangat dekat. Jelita merasa terancam, tetapi bukan oleh William, ancaman itu melainkan datang dari dalam dirinya yang memikirkan reaksinya terhadap pria yang berusia sepuluh tahun lebih tua darinya ini. “Lita—” Suara William berubah parau saat menyebutkan nama pembantu yang disayanginya ini. Desakan untuk mencium Jelita bukan hanya karena didorong oleh rasa cinta dan kekagumannya belaka, namun juga karena ia merasakan denyut hasrat yang sudah sekian lama tak ia rasaka
“Eh. Gimana kalau kita berendam aja di jacuzzi. Mau?” Jelita bisa merasakan jelas William tengah menggodanya, tatapannya nakal dan menantang. Gadis itupun menjawabnya dengan cubitan di pinggang William hingga pria itu terbahak-bahak geli. Tawa yang terdengar ceria dan bahagia. Jelita tak sanggup membayangkan bagaimana jika betulan mereka berendam di dalam jacuzzi, fasilitas yang tersedia di villa mewah ini, sebuah kolam yang berukuran kecil dan memiliki kedalaman sedang. Fungsi kolam itu untuk berendam dan relaksasi. Airnya hangat dengan gelembung-gelembung yang dihasilkan alat penyembur sehingga cocok untuk merelaksasi siapapun yang sedang berada di dalamnya. Tawaran yang menggiurkan. Tetapi berendam berdua saja dengan William? Betul-betul sinting. Mengancam sisa-sisa kewarasan yang masih mereka miliki saat ini. Bahkan hubungan asmara antara mereka ini tak semestinya terjadi. “Abang sadar tidak, kita sedang menciptakan skandal yang akan mencederai nama baik keluarga Subrata?” Will
“Tidak …, bagaimana mungkin wanita yang dicintainya itu Jelita …, pembantunya sendiri!” Namun bersama penolakannya itu, memori Nadya kembali memutar beberapa fakta yang pernah dilihatnya di masa lalu, bagaimana diam-diam William menempatkan tangannya di pinggiran meja makan untuk menjaga Jelita dari kemungkinan benturan saat gadis itu tengah menunduk mengambil sendok yang terjatuh di bawah meja. Juga kala William membukakan pintu mobil saat membawa pulang Jelita bersama mereka dari bandara. Bahkan Nadya sempat melihat perubahan wajah William yang menegang kala Jelita menerima telepon dari lelaki bernama Bimo, sampai-sampai pria itu tak fokus lagi dengan obrolan hangat mereka. “Kenapa harus dia, Will. Kenapa?” Nadya memegangi dadanya yang bergemuruh sakit seraya meratapi sosok William yang sedang menatap kekasihnya yang sedang terbang dengan senyumnya yang sarat kebahagiaan, berbanding terbalik dengan perasaan Nadya yang porak poranda dilanda nelangsa. Merasa ada yang memerhatikan, W
Jelita menyusuri koridor kampus sambil berlari-lari kecil. Di sebuah belokan, tiba-tiba dia bertabrakan dengan Bimo. Keduanya sama-sama tertegun. Ini adalah pertemuan tak sengaja mereka setelah lebih dari empat bulan Bimo tak lagi mengacuhkan Jelita usai mengetahui status Jelita yang cumalah seorang pembantu. Bimo memungut buku Jelita yang terjatuh. Dengan tatapan seperti mencibir, Bimo mengembalikannya. “Telat? Habis masak dan mengepel rumah dulu?” sindirnya. Jelita mengambil bukunya dari tangan Bimo sambil membalas senyum mencibir itu dengan santai. “Bahkan aku masih sempat menyeterika setumpuk pakaian dulu, bukan cuma masak dan mengepel. Itu memang pekerjaanku sebagai pembantu. Buat apa tanya hal yang sudah jelas? Kurang kerjaan,” sahutnya sambil memutar bola mata lalu melewati Bimo dengan acuh tak acuh. “Dih! Cuma pembantu aja sombong.” Bimo mendengkus sambil melanjutkan langkahnya, menuju kelas yang sudah lama tak dimasukinya karena keseringan membolos. Katanya bakal ada uji
Jelita memacu motor maticnya mengikuti arah map pemandunya, dan perjalanan itupun berakhir di sebuah gedung apartemen elit yang diketahui memiliki harga sewa selangit. Gedung apartemen itu berada di lokasi yang strategis, diapit dua gedung mall besar. Setelah memarkir motor, Jelita menelepon William. “Abang, aku sudah sampai. Abang di mana?” “Langsung masuk saja ke apartemen, Sayang. Aku tunggu di unit 2105.” Jelita tertegun sesaat. William menunggunya di dalam apartemen? Dia pikir mereka akan makan di restoran atau gerai makanan yang ada di dalam salah satu mall itu. Jelita yang tak mau pusing-pusing lagi, langsung mengikuti apa yang dikatakan William tadi. Setelah melewati penjagaan yang ketat, dia akhirnya bisa memasuki lift dan tiba juga di lantai 21, kemudian mencari unit yang disebut William tadi. Setelah menemukan unit yang dicari, Jelita memencet bell. Tak lama kemudian pintu apartemen itu terbuka dan memperlihatkan sosok William yang tersenyum tampan menyambutnya. Pria
Jelita menunjukkan kepada William IPK yang diraihnya di semester pertamanya ini dengan bangga, dia berhasil mengumpulkan banyak nilai A. Jelita cukup lega bisa mengikuti kuliah dengan baik, nilainya itu adalah bukti pencapaiannya. William tersenyum melihat angka 3,44 yang tertera di sana. “Lumayan,” pujinya. “Lumayan?” protes Jelita sambil memberengut. Padahal dia merasa sudah kerja keras untuk mencapainya. “Jangan mudah puas. Punyaku dulu jauh lebih baik dari itu, padahal aku anak teknik. Dan aku ke kampus tak cuma buat kuliah, aku ikut organisasi kemahasiswaan yang juga menyita waktu dan pikiran. Sedangkan kamu? Cuma ke kampus buat kuliah. Bahkan kamu tak benar-benar mengerjakan sendiri semua ujianmu.” Jelita mencebik menerima sindiran William yang pernah menyelamatkannya dari ujian open book mematikan itu. “Aku juga pengen bisa ikut organisasi di kampus, bukan cuma datang untuk kuliah seperti yang Abang bilang. Tapi aku sadar diri, aku punya kewajiban yang tak kalah penting