"Pangeran, kini aku akan menceritakan kenapa Kedatuan Srwijaya harus mengirim ekspedisi penaklukkan ke Pulau Bangka. Secara geografis daerah Pulau Bangka, merupakan dataran yang berhadapan langsung dengan Selat Bangka yang bermuara juga sungai-sungai di Mukha Upang, Sungsang, dan Saleh dari daratan Swarna Dwipa. Disekelilingnya, di sebelah barat, Utara, dan timur masih tertutup hutan rawa pantai. Disebelah selatan tanahnya agak berbukit-bukit. Bagian yang tertinggi disebut Bukit Besar dengan ketinggian sekitar 125 meter di atas permukaan laut. Di sebelah utara, membentang dari timur laut menuju barat mengalir Sungai Mendo yang bermuara di Selat Bangka setelah sebelumnya membelah daerah rawa-rawa," ujar Ratu Sobakencana panjang lebar. Karenanya keluasan pengetahuan sang ibu, pewaris takhta Kedatuan Sriwijaya ini dibuat terkagum-kagum.Ratu Sobakencana melanjutkan ceritanya."Dengan letak mengapit Selat Bangka bersama-sama Swarna Dwipa, kau bisa bayangkan betapa strategis posisi Pulau B
"Aku setuju dengan usulanmu Aditya. Memang sudah saatnya kita lebih maju lagi," ujar Pak Cik menanggapi ucapan Aditya."Bagaimana denganmu Candra?""Aku selalu siap sobatku!""Baiklah sekarang kita langsung berbagi tugas!" ujar Aditya tanpa basa-basi. "Berdasarkan semua laporan hari ini, menurutku paling tidak ada empat hal utama yang harus kita lakukan.""Apa saja itu Aditya?" tanya Pak Cik."Pertama, kita harus tetap mencari informasi sebanyak-banyaknya dari pihak Sriwijaya. Terutama tentang informasi ekspedisi penaklukkan ke Kerinci Rendah, Pulau Bangka, dan Palas Pasemah. Aku sendiri yang akan bertanggung jawab atas hal ini. Kedua, harus ada salah satu dari kita yang fokus merembeskan dan membangun kekuatan prajurit Melayu untuk mengepung Istana Kedatuan Melayu yang saat ini dikuasai Sriwijaya. Tapi tindakan ini harus terukur dan boleh gegabah. Karena ini menyangkut keselamatan Datu Melayu dan keluarganya. Untuk tugas ini, siapa yang bersedia bertanggung jawab?" tanya Aditya pada
"Sekarang giliranku," Aditya meneruskan menyampaikan rencananya. "Sebelum lupa, aku hanya mengingatkan. Semua yang kita lakukan bersifat organik. Artinya, semua, satu sama lain saling berkaitan. Maka apabila ada satu rencana yang gagal, ini akan sangat mempengaruhi keseluruhan operasi militer kita. Maka dari itu, aku mengingatkan kita semua untuk berhati-hati. Jangan sampai ceroboh dan gegabah dalam mengambil keputusan dan bertindak! Sampai di sini paham?""Paham!" jawab Pak Cik dan Candra."Baik. Aku akan sampaikan rencana-rencanaku dalam operasi gangguan keamanan di pedalaman. Setelah pertemuan ini, langkah pertama yang kulakukan adalah pergi ke wilayah-wilayah target tentunya. Aku memerlukan pemetaan kondisi geografis dan pemetaan sebaran kekuatan militer Sriwijaya di pedalaman. Selain itu, aku juga harus benar-benar mendapatkan gambaran utuh mengenai kondisi masyarakat Melayu pedalaman di bawah penjajahan Sriwijaya. Semua data ini harus aku padukan. Khusus data sebaran kekuatan mi
Tak butuh waktu lama. Kebisuan itu segera dipecahkan oleh Pak Cik. Mula-mula Pak Cik terhenyak mendapat pertanyaan yang cukup sulit dijawab dari Candra. Tapi pengalaman keprajuritan dan penguasaannya terhadap alam negeri Melayu, menyebabkan Pak Cik percaya diri untuk menjawab pertanyaan Candra."Luar biasa! Aku tak menyangka mendapat pertanyaan yang begitu baik Candra. Terimakasih, karena pertanyaan ini mengingatkanku agar tak teledor membangun jalur telik sandi darat.""Lalu bagaimana jawabanmu tentang masalah itu Pak Cik?" Candra kembali bertanya."Jalur darat dari Melayu hingga Kerinci Rendah sudah pasti melalui bentang alam berupa rimba raya, jurang, dan sungai-sungai. Khusus untuk rimba raya, aku dan para sigindo di Kerinci Rendah bersepakat tidak membangun jalan sama sekali. Walaupun itu berupa jalan setapak. Yang dilakuan hanyalah memberi tanda seperti cakaran harimau pada kulit kayu-kayu tertentu. Dengan begitu, tak ada jalan sama sekali yang bisa dijadikan penanda jalur telik
Pagi yang permai. Kristal bening embun direrumputan belum lagi mengering. Sinar matahari yang berbinar ceria membuat kristal embun itu tertimpa cahaya dan memantulkan sinar yang elok dipandang. Pagi itu suasana Istana Kedatuan Melayu tak seperti biasanya. Ratusan kuda telah disiapkan di halaman istana layaknya akan diadakan gelar pasukan. Suasana makin hiruk akibat ratusan prajurit yang hilir mudik mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan.Di waktu yang telah dijadwalkan, suasana ramai dan hiruk itu berubah senyap. Ratusan prajurit kini telah berbaris rapi di samping kuda masing-masing. Sementara, ratusan lainnya berbaris di sisi yang lain. Tak lama kemudian, dari arah dalam Istana Kedatuan Sriwijaya, dengan langkah tegap, Pangeran Indrawarman berjalan di muka, dikuti oleh rombongan kecil yang terdiri dari Ratu Sobakencana, Bhiksu Dharmapala, Senapati Madya Arsa, dan beberapa orang prajurit pengawal Kedatuan. Tak tampak Selir Laksita didalamnya.Begitu sampai di teras istana, ro
Seminggu setelah pertemuan dengan Aditya dan Pak Cik di dangau kebun, Candra telah mulai melakukan tugasnya. Pertama yang ia lakukan adalah nongkrong di sebuah kedai yang berdekatan dengan Istana Kedatuan Melayu.Sementara Aditya telah pergi ke pedalaman Melayu bersama Nadir. Sedangkan Pak Cik sudah kembali dengan rutinitasnya membuka kedai air nira.Istana Kedatuan Melayu terletak di antara bukit-bukit yang sambung menyambung membentuk rangkaian bukit barisan. Ini sesuai dengan asal kata Melayu. Melayu berasal dari bahasa Sansekerta "Malaya" yang berarti bukit. Letak Istana Kedatuan Melayu sendiri terletak di pedalaman dan lumayan jauh dari pelabuhan Kutaraja Melayu[1].Tak jauh dari istana tersebut terdapat sebuah pasar rakyat. Tempat di mana kini Candra duduk dan menikmati sarapan paginya. Didepannya, gaduh sibuk pasar dengan aneka ragam manusia dan barang dagangannya.Mula-mula suasana pagi begitu nyaman. Jarang sekali ada perselisihan apalagi keributan di pasar rakyat itu. Walaup
Seekor kijang berlarian gesit. Tubuh rampingnya seperti tak terganggu sama sekali dengan rapat dan liatnya tumbuhan hutan. Makin lama, makin cepat dan lincah ia berlari dan menerobos rimba raya Melayu. Tak lama kemudian seekor harimau jantan besar berukuran lebih dari satu depa mengejarnya di belakang. Harimau itu tampak begitu lapar. Ia terus berlari kencang tak memperdulikan hal lain didepannya. Ia harus dapatkan kijang mungil tadi untuk mangsa siang ini.Melihat kejar mengejar itu, dua lelaki muda yang kebetulan berjalan tak jauh dari tempat kejar mengejar kedua binatang tadi, terpaksa menghentikan langkahnya. Keduanya tak mau konyol menjadi santapan alternatif si harimau. Keduanya merunduk lalu tak bergerak sama sekali."Ssssst...jangan bergerak Kak! Harimau tak mau menyerang objek yang gak bergerak. Biarkan ia menjauh dulu. Baru kita lanjutkan perjalanan lagi!" bisik salah satu pemuda tersebut pada yang lain. Pemuda yang dimaksud menurutinya. Ia lalu merunduk dan diam. Hanya dengu
Bantuan Nadir tepat pada waktunya. Saat itu, kondisi seluruh tubuh Aditya terbenam dalam lumpur. Hanya tersisa kepala dan kedua tangannya yang segera menggapai tombak milik yang dilemparkan Nadir.Setelah Aditya berhasil memegang erat tombak, Nadir perlahan mulai menarik Aditya. Ini bukan pekerjaan mudah. Nadir terpaksa mengorbankan tas rotan perbekalan. Ia terpaksa menjatuhkan perbekalan mereka ke rawa-rawa. Tak ada jalan lain supaya kedua tangannya bisa menyelamatkan Aditya.Upaya Nadir menyelamatkan Aditya memerlukan waktu tak sebentar. Walau demikian, tubuh Aditya berangsur-angsur bisa keluar dari lumpur hidup. Kini tinggal kedua kaki Aditya yang terbenam."Uuugh...akhirnya!" Nadir berteriak keras. Upayanya berhasil. Kini kedua kaki Aditya berhasil bebas. Aditya selamat!Setelah berhasil keluar dari lumpur hidup, Aditya yang tubuhnya lemas, memaksakan diri mendekati Nadir dan memeluknya."Terimakasih Nadir. Aku berhutang nyawa padamu!" ujar Aditya sambil memeluk erat Nadir."Sama-