Pagi yang permai. Kristal bening embun direrumputan belum lagi mengering. Sinar matahari yang berbinar ceria membuat kristal embun itu tertimpa cahaya dan memantulkan sinar yang elok dipandang. Pagi itu suasana Istana Kedatuan Melayu tak seperti biasanya. Ratusan kuda telah disiapkan di halaman istana layaknya akan diadakan gelar pasukan. Suasana makin hiruk akibat ratusan prajurit yang hilir mudik mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan.Di waktu yang telah dijadwalkan, suasana ramai dan hiruk itu berubah senyap. Ratusan prajurit kini telah berbaris rapi di samping kuda masing-masing. Sementara, ratusan lainnya berbaris di sisi yang lain. Tak lama kemudian, dari arah dalam Istana Kedatuan Sriwijaya, dengan langkah tegap, Pangeran Indrawarman berjalan di muka, dikuti oleh rombongan kecil yang terdiri dari Ratu Sobakencana, Bhiksu Dharmapala, Senapati Madya Arsa, dan beberapa orang prajurit pengawal Kedatuan. Tak tampak Selir Laksita didalamnya.Begitu sampai di teras istana, ro
Seminggu setelah pertemuan dengan Aditya dan Pak Cik di dangau kebun, Candra telah mulai melakukan tugasnya. Pertama yang ia lakukan adalah nongkrong di sebuah kedai yang berdekatan dengan Istana Kedatuan Melayu.Sementara Aditya telah pergi ke pedalaman Melayu bersama Nadir. Sedangkan Pak Cik sudah kembali dengan rutinitasnya membuka kedai air nira.Istana Kedatuan Melayu terletak di antara bukit-bukit yang sambung menyambung membentuk rangkaian bukit barisan. Ini sesuai dengan asal kata Melayu. Melayu berasal dari bahasa Sansekerta "Malaya" yang berarti bukit. Letak Istana Kedatuan Melayu sendiri terletak di pedalaman dan lumayan jauh dari pelabuhan Kutaraja Melayu[1].Tak jauh dari istana tersebut terdapat sebuah pasar rakyat. Tempat di mana kini Candra duduk dan menikmati sarapan paginya. Didepannya, gaduh sibuk pasar dengan aneka ragam manusia dan barang dagangannya.Mula-mula suasana pagi begitu nyaman. Jarang sekali ada perselisihan apalagi keributan di pasar rakyat itu. Walaup
Seekor kijang berlarian gesit. Tubuh rampingnya seperti tak terganggu sama sekali dengan rapat dan liatnya tumbuhan hutan. Makin lama, makin cepat dan lincah ia berlari dan menerobos rimba raya Melayu. Tak lama kemudian seekor harimau jantan besar berukuran lebih dari satu depa mengejarnya di belakang. Harimau itu tampak begitu lapar. Ia terus berlari kencang tak memperdulikan hal lain didepannya. Ia harus dapatkan kijang mungil tadi untuk mangsa siang ini.Melihat kejar mengejar itu, dua lelaki muda yang kebetulan berjalan tak jauh dari tempat kejar mengejar kedua binatang tadi, terpaksa menghentikan langkahnya. Keduanya tak mau konyol menjadi santapan alternatif si harimau. Keduanya merunduk lalu tak bergerak sama sekali."Ssssst...jangan bergerak Kak! Harimau tak mau menyerang objek yang gak bergerak. Biarkan ia menjauh dulu. Baru kita lanjutkan perjalanan lagi!" bisik salah satu pemuda tersebut pada yang lain. Pemuda yang dimaksud menurutinya. Ia lalu merunduk dan diam. Hanya dengu
Bantuan Nadir tepat pada waktunya. Saat itu, kondisi seluruh tubuh Aditya terbenam dalam lumpur. Hanya tersisa kepala dan kedua tangannya yang segera menggapai tombak milik yang dilemparkan Nadir.Setelah Aditya berhasil memegang erat tombak, Nadir perlahan mulai menarik Aditya. Ini bukan pekerjaan mudah. Nadir terpaksa mengorbankan tas rotan perbekalan. Ia terpaksa menjatuhkan perbekalan mereka ke rawa-rawa. Tak ada jalan lain supaya kedua tangannya bisa menyelamatkan Aditya.Upaya Nadir menyelamatkan Aditya memerlukan waktu tak sebentar. Walau demikian, tubuh Aditya berangsur-angsur bisa keluar dari lumpur hidup. Kini tinggal kedua kaki Aditya yang terbenam."Uuugh...akhirnya!" Nadir berteriak keras. Upayanya berhasil. Kini kedua kaki Aditya berhasil bebas. Aditya selamat!Setelah berhasil keluar dari lumpur hidup, Aditya yang tubuhnya lemas, memaksakan diri mendekati Nadir dan memeluknya."Terimakasih Nadir. Aku berhutang nyawa padamu!" ujar Aditya sambil memeluk erat Nadir."Sama-
Malam makin larut, tapi malam yang makin pekat itu tak menyurutkan Aditya untuk melanjutkan ceritanya. Sementara Nadir juga dengan sabar menjadi pendengar yang baik."Kau pantas heran kenapa aku malah bersyukur atas peristiwa yang hampir merenggut nyawaku Nadir. Tak salah. Karena aku belum menjelaskannya padamu. Sebentar, sebelum aku melanjutkan penjelasanku, baiknya kau benahi dulu api unggun kita. Supaya makin terang dan nyamuk juga menjauh."Tanpa menjawab, dengan segera Nadir melakukan perintah Aditya. Setelah api kembali menyala bagus, Aditya kembali melanjutkan ceritanya."Dengan peristiwa tadi siang, aku jadi tahu bahwa hutan ini dikelilingi oleh lumpur hidup. Satu-satunya jalan masuk dari jalan setapak Melayu ke Muara Bulian, ya tanah keras selebar dua jengkal yang kita lewati tadi. Sisanya kau tahu sendiri. Lumpur hidup! Jika hutan larangan ini kita jadikan sebagai basis gerilya, maka ini adalah tempat bersembunyi terbaik. Tempat ini memiliki benteng alam berupa lumpur hidup.
Siang itu Candra sengaja singgah ke kedai Pak Cik. Sesampainya di sana, kebetulan kedai dalam kondisi sepi. Kondisi yang membuat Candra jadi tenang.Begitu masuk pintu kedai, ia mendapatkan Pak Cik sedang santai. Tanpa basa-basi, langsung saja Candra menarik Pak Cik menuju rumah utama. Pak Cik yang kaget tangannya ditarik paksa oleh Candra, sedikit kesal dan langsung bertanya pada Candra."Aih Candra! Apa maksudmu ini? Main tarik tangan orang lain seenaknya saja?"Tahu Pak Cik kesal padanya, Candra bukannya mengendurkan tarikannya. Ia malah makin kuat menarik tangan Pak Cik. Pak Cik kembali mengumpat."Anak kurang ajar! Bukannya berhenti, kau malah makin ngawur Candra!""Haha...Pak Cik! Sudahlah jangan banyak cakap, ayolah! Aku punya kabar baik untukmu!"Walau merasa kesal, mau tak mau Pak Cik akhirnya menuruti mau Candra. Diikutinya telik sandi Kedatuan Melayu yang kini kehilangan induk pasukan itu sampai ke teras rumah panggungnya. Sesampainya di teras rumah, Candra belum berhenti.
Kita tinggalkan sejenak perjalanan Aditya dan Nadir mencari rahasia misteri di dalam hutan larangan rimba raya Melayu. Begitu juga kemenduaan upaya Candra untuk mendekati Tara, antara cinta dan tugas negerinya.Kini kita alihkan perhatian kita ke Kerinci Rendah. Negeri para sigindo.Dalam bab terdahulu, telah diceritakan Sigindo Demahu sengaja datang dari jauh untuk menemui Sigindo Sungai Lintang. Kunjungan itu sengaja dilakukan untuk memberikan dukungan moral dan material bagi Sigindo Sungai Lintang yang negerinya berada di garis depan jika perang melawan ekspansi Melayu terjadi.Saat ini, malam mulai beranjak di Sungai Lintang. Lepas makan malam, Sigindo Sungai Lintang mengajak tamunya untuk bercakap-cakap di teras depan rumahnya. Pembicaraan mereka masih berkutat pada tema rencana ekspansi Sriwijaya dan persiapan mereka untuk menghadapinya.Sigindo Sungai Lintang yang pertama memulai obrolan."Saudaraku Tuan Sigindo Demahu, setelah lama kupikir, saat ini kita sedang melakukan misi
Pagi cerah. Di halaman rumah Sigindo Sungai Lintang telah terlihat Sigindo Sungai Lintang dan Sigindo Demahu. Keduanya bercakap-cakap ringan. Obrolan pagi banyak diwarnai derai tawa. Sementara tak jauh dari mereka, beberapa pengawal berkuda telah bersiap di samping dua ekor kuda yang telah disiapkan untuk keduanya.Kedua sigindo di tanah Kerinci Rendah tersebut pagi ini berencana pergi menyusuri Sungai Lintang ke arah hilir. Sigindo Demahu yang memintanya semalam."Saudaraku Tuan Sigindo Demahu, mudah-mudahan kau tak keberatan mengatakan padaku, kenapa kau minta kuantar menyusuri Sungai Lintang ke arah hilir?""Dengan senang hati Tuan. Sebenarnya aku gelisah dengan benteng dan parit pertahanan yang kita bangun di sana!" ujar Sigindo Demahu sambil mengacungkan tangannya ke arah kejauhan. Ke tempat benteng dan parit pertahanan Kerinci Rendah yang sedang dibangun."Maafkan aku Tuan, apakah aku salah dalam membangunnya sehingga kau kecewa?"Sigindo Demahu tersenyum dan menjawab pertanyaan