Sebuah kapal layar milik seorang saudagar dari Tiongkok melaju pelan meninggalkan Tanah Jawa. Semakin ke tengah laut, semakin cepat laju kapal dagang tersebut. Empat orang laki-laki berdiri di geladak kapal layar yang besar itu. Mereka adalah Suro Joyo, Lau Pan, Ching Cuan, dan Sou Wei.Suro Joyo terlihat gagah mengenakan pakaian serba kuning, berikat kepala warna kuning, dan mengenakan ikat pinggang yang berhiaskan kepala burung rajawali. Wajahnya yang tampan terlihat memandang ke kejauhan, yakni ke arah utara. Sejauh mata memandang hanya terlihat kebiruan air laut yang seolah-olah tiada bertepi.Baru kemarin aku terlibat pertempuran dahsyat melawan para pemberontak pimpinan Ganggayuda. Kata Suro Joyo di dalam hati. Ganggayuda dan anak buahnya ingin merebut tahta dari Tiyasa yang menjadi raja di Kerajaan Karangtirta. Aku membantu melawan pemberontak sebagai balas terhadap Banaswarih, putra mahkota Karangtirta. Sekarang aku mesti melanjutkan pengembaraan menuju Tanah Utara, atau masya
“Siapa mereka?” tanya Suro Joyo pada diri sendiri. “Apa yang akan mereka lakukan? Siapa pun mereka, apa pun yang akan mereka lakukan terhadap kapal ini, aku harus mencegahnya! Aku harus melawan mereka yang kelihatannya ingin melakukan tindakan jahat di kapal yang kutumpangi.” Suro Joyo mengingat-ingat cerita teman-temannya tentang penjahat atau gerombolan penjahat yang melakukan kejahatan di lautan. Samar-samar dia teringat tentang keberadaan penjahat yang menjarah harta milik orang-orang yang melintas di lautan. “Orang-orang yang melakukan perampokan di tengah laut biasanya disebut bajak laut atau perombak,” gumam Suro Joyo. “Jadi…, apa mereka ini bajak laut?” Tiba-tiba terdengar suara keras. Bahkan sangat keras. Saking kerasnya, suara itu sampai memekakkan telinga. Dhuer! Dhueeer! Terjadi benturan antara dua balok kayu yang dilemparkan Suro Joyo dengan besi berkait dengan tali besar. Dua balok hancur berkepingan setelah berhasil menggagalkan dua tali berkait besi. Kaitan itu jat
Suro Joyo mengatakan sebuah kenyataan apa adanya. Tidak ditambah, tidak juga dikurangi. Dia mendapatkan cerita tentang keganasan bajak laut pimpinan Ponggewiso dari beberapa orang. Ceritanya dari beberapa orang itu tidak sama persis, tetapi satu dengan lain ada kesamaannya, yaitu Ponggewiso dan gerombolannya sesama bajak laut sangat kejam.“Ponggewiso dan gerombolannya tidak segan-segan membunuhi seluruh orang yang berada dalam kapal yang dirampoknya,” lanjut Suro Joyo dalam menceritakan tentang gerombolan perompak di Selat Utara atau Selat Selebes itu. “Ponggewiso dan anak buahnya tidak pernah merasa belas kasihan kepada orang-orang yang dirampoknya.”Lau Pan dan anak buahnya terdiam mendengarkan cerita Suro Joyo. Mereka mendengarkan cerita yang diungkapkan Suro Joyo dengan penuh perhatian. Tak ada satu pun yang menganggap cerita dari Suro Joyo hanyalah omong kosong atau sekadar untuk menakut-nakuti.“Menurut cerita yang bere
”Anak buah Tuan Lau Pan ternyata jago main senjata golok,” gumam Suro Joyo. “Mereka bisa menandingi para bajak laut yang sok jago. Mereka mampu membuat anak buah Ponggewiso keteter.”Kata-kata yang digumamkan Suro Joyo tidak salah. Anak buah Lau Pan berhasil memecah gerombolan bajak laut menjadi dua kelompok. Para bajak laut terpecah kekuatannya. Kalau mereka bergerombol, maka akan mudah menghabisi anak buah Lau Pan. Namun karena mereka terpecah menjadi dua bagian, kekuatan mereka tinggal separuh untuk masing-masing kelompok.Beberapa bajak laut luka parah terkena sabetan golok-golok anak buah Lau Pan dalam pertempuran yang seru. Sebagian dari anak buah Ponggewiso itu malah terjungkal tewas dan masuk ke laut. Para bajak laut tewas karena terkena sabetan golok yang cepat dan sulit dihindari.“Bajingan…, kalian licik!” umpat seorang bajak laut yang masih hidup. “Jangan merasa telah menang. Kalian semua akan ku
Suro Joyo tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Dia benar-benar terkejut ketika Lau Pan berterus terang bahwa pedagang dari Tiongkok itu mengenal Raja Agung Paramarta, ayah Suro Joyo. Bagaimana mungkin pedagang dari negeri yang letaknya jauh dari Krendobumi itu bisa mengenal Agung Paramarta?”Benar, Raden Suro Joyo,” jawab Lau Pan atas pertanyaan Suro Joyo. “Saya mengenal Raja Agung Paramarta yang bijaksana.””Ah..., jangan berbasa-basi seperti itu, Tuan Lau Pan. Saya lebih senang dipanggil ’Suro Joyo’ saja. Tidak perlu memanggil saya dengan sebutan ‘raden’, ‘pangeran’, atau semacamnya.””Baiklah. Kalau begitu, Saudara Suro Joyo jangan panggil ’Tuan’, karena Saudara Suro Joyo bukan anak buah saya.””Lantas, saya mesti memanggil dengan sebutan apa?””Terserah Saudara Suro Joyo saja.””Ya..., kalau begitu saya panggi
”Aku heran..., mengapa manusia suka mengumbar nafsu liarnya?” gumam Suro Joyo sambil terus berjalan menelusuri jalan bersemak belukar yang ditumbuhi rumput liar. “Padahal semua manusia pasti tahu bahwa nafsu liar tidak bisa dikendalikan. Nafsu liar tidak ada batasannya. Sekali nafsu liar diumbar, maka perilaku manusia tersebut bisa brutal. Bahkan bisa sangat brutal.”Ketika manusia sudah tidak dapat mengendalikan nafsunya, maka perbuatannya sudah tidak sesuai nalar. Perbuatan manusia yang hanya menghamba kepada nafsunya semata, maka perilakunya sudah tidak waras. Perilaku manusia semacam ini tidak bisa diterima dengan akal sehat.Manakala manusia suka mengumbar nafsu liarnya, maka derajat manusia tersebut rendah. Bahkan sangat rendah. Saking rendahnya, manusia tersebut setara dengan binatag. Bahkan bisa lebih rendah di bawah derajat binatang.Karena binatang memang tak mempunyai akal pikiran. Yang dimiliki binatang adalah nafsu belaka. Se
Batang pohon yang ambruk cukup besar. Kalau sampai menindih seseorang, maka orang itu bisa celaka. Atau bahkan bisa kehilangan nyawa. Suro Joyo menoleh ke belakang. Dia menyadari bahwa ada bahaya mengancam jiwanya. Pendekar muda itu mesti melakukan sesuatu untuk menghindari bahaya. Bahaya yang sudah nyata ada di depan mata!“Empat orang itu benar-benar memiliki kemampuan silat yang mumpuni,” gumam Suro Joyo. “Tenaga dalam mereka juga luar biasa hebatnya. Patahan ranting yang mereka lemparkan, bisa merobohkan sebuah pohon.”Tiba-tiba Suro Joyo menjatuhkan tubuhnya ke semak belukar. Gerakan Suro Joyo saat menjatuhkan diri berlangsung sangat cepat. Dia berusaha menjauhi tempat yang akan kejatuhan pohon tumbang itu.Brusss!Batang pohon menerpa rerumputan, berjarak beberapa tombak dari tubuh Suro Joyo yang tengkurap di semak belukar. Dirinya lolos dari terpaan batang pohon. Tubuhnya selamat dari timpaan batang pohon. Pendekar Rajah Cakra Geni itu segera melompat bangun.Suro Joyo lansung
Senang hati Suro Joyo karena sudah berada di Perguruan Tepaswaja. Susah payah dia datang dari jarak yang sangat jauh, kini telah sampai tanah tujuan. Jauh-jauh dia datang ke pulau ini, sekarang sudah sampai tempat Lakseta menggembleng murid-muridnya.Selama perjalanan memasuki areal Perguruan Tepaswaja, Suro Joyo belum mengemukakan maksud kedatangannya ke Perguruan Tepaswaja. Umpama Suro Joyo tanpa mengatakannya pun, Lakseta tentu sudah tahu. Dulu keinginannya ini sudah pernah disampaikan kepada Lakseta.Sementara waktu cerita beralih ke Pulau Sapit Yuyu. Sebuah pulau berbentuk setengah lingkaran yang bentuknya mirip penjepit yang dimiliki ketam atau udang. Di pulau tersebut dihuni Ponggewiso dan kekasihnya yang bernama Lasih Manari, serta ratusan anak buahnya. Anak buah Ponggewiso adalah orang-orang yang berlatar belakang buruk. Ada yang pernah jadi pencuri, ada yang pernah jadi perampok, ada nada pula pelarian dari sebuah wilayah kerajaan karena pernah melakukan suatu kejahatan.Di