Suro Joyo mengatakan sebuah kenyataan apa adanya. Tidak ditambah, tidak juga dikurangi. Dia mendapatkan cerita tentang keganasan bajak laut pimpinan Ponggewiso dari beberapa orang. Ceritanya dari beberapa orang itu tidak sama persis, tetapi satu dengan lain ada kesamaannya, yaitu Ponggewiso dan gerombolannya sesama bajak laut sangat kejam.
“Ponggewiso dan gerombolannya tidak segan-segan membunuhi seluruh orang yang berada dalam kapal yang dirampoknya,” lanjut Suro Joyo dalam menceritakan tentang gerombolan perompak di Selat Utara atau Selat Selebes itu. “Ponggewiso dan anak buahnya tidak pernah merasa belas kasihan kepada orang-orang yang dirampoknya.”
Lau Pan dan anak buahnya terdiam mendengarkan cerita Suro Joyo. Mereka mendengarkan cerita yang diungkapkan Suro Joyo dengan penuh perhatian. Tak ada satu pun yang menganggap cerita dari Suro Joyo hanyalah omong kosong atau sekadar untuk menakut-nakuti.
“Menurut cerita yang bere
”Anak buah Tuan Lau Pan ternyata jago main senjata golok,” gumam Suro Joyo. “Mereka bisa menandingi para bajak laut yang sok jago. Mereka mampu membuat anak buah Ponggewiso keteter.”Kata-kata yang digumamkan Suro Joyo tidak salah. Anak buah Lau Pan berhasil memecah gerombolan bajak laut menjadi dua kelompok. Para bajak laut terpecah kekuatannya. Kalau mereka bergerombol, maka akan mudah menghabisi anak buah Lau Pan. Namun karena mereka terpecah menjadi dua bagian, kekuatan mereka tinggal separuh untuk masing-masing kelompok.Beberapa bajak laut luka parah terkena sabetan golok-golok anak buah Lau Pan dalam pertempuran yang seru. Sebagian dari anak buah Ponggewiso itu malah terjungkal tewas dan masuk ke laut. Para bajak laut tewas karena terkena sabetan golok yang cepat dan sulit dihindari.“Bajingan…, kalian licik!” umpat seorang bajak laut yang masih hidup. “Jangan merasa telah menang. Kalian semua akan ku
Suro Joyo tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Dia benar-benar terkejut ketika Lau Pan berterus terang bahwa pedagang dari Tiongkok itu mengenal Raja Agung Paramarta, ayah Suro Joyo. Bagaimana mungkin pedagang dari negeri yang letaknya jauh dari Krendobumi itu bisa mengenal Agung Paramarta?”Benar, Raden Suro Joyo,” jawab Lau Pan atas pertanyaan Suro Joyo. “Saya mengenal Raja Agung Paramarta yang bijaksana.””Ah..., jangan berbasa-basi seperti itu, Tuan Lau Pan. Saya lebih senang dipanggil ’Suro Joyo’ saja. Tidak perlu memanggil saya dengan sebutan ‘raden’, ‘pangeran’, atau semacamnya.””Baiklah. Kalau begitu, Saudara Suro Joyo jangan panggil ’Tuan’, karena Saudara Suro Joyo bukan anak buah saya.””Lantas, saya mesti memanggil dengan sebutan apa?””Terserah Saudara Suro Joyo saja.””Ya..., kalau begitu saya panggi
”Aku heran..., mengapa manusia suka mengumbar nafsu liarnya?” gumam Suro Joyo sambil terus berjalan menelusuri jalan bersemak belukar yang ditumbuhi rumput liar. “Padahal semua manusia pasti tahu bahwa nafsu liar tidak bisa dikendalikan. Nafsu liar tidak ada batasannya. Sekali nafsu liar diumbar, maka perilaku manusia tersebut bisa brutal. Bahkan bisa sangat brutal.”Ketika manusia sudah tidak dapat mengendalikan nafsunya, maka perbuatannya sudah tidak sesuai nalar. Perbuatan manusia yang hanya menghamba kepada nafsunya semata, maka perilakunya sudah tidak waras. Perilaku manusia semacam ini tidak bisa diterima dengan akal sehat.Manakala manusia suka mengumbar nafsu liarnya, maka derajat manusia tersebut rendah. Bahkan sangat rendah. Saking rendahnya, manusia tersebut setara dengan binatag. Bahkan bisa lebih rendah di bawah derajat binatang.Karena binatang memang tak mempunyai akal pikiran. Yang dimiliki binatang adalah nafsu belaka. Se
Batang pohon yang ambruk cukup besar. Kalau sampai menindih seseorang, maka orang itu bisa celaka. Atau bahkan bisa kehilangan nyawa. Suro Joyo menoleh ke belakang. Dia menyadari bahwa ada bahaya mengancam jiwanya. Pendekar muda itu mesti melakukan sesuatu untuk menghindari bahaya. Bahaya yang sudah nyata ada di depan mata!“Empat orang itu benar-benar memiliki kemampuan silat yang mumpuni,” gumam Suro Joyo. “Tenaga dalam mereka juga luar biasa hebatnya. Patahan ranting yang mereka lemparkan, bisa merobohkan sebuah pohon.”Tiba-tiba Suro Joyo menjatuhkan tubuhnya ke semak belukar. Gerakan Suro Joyo saat menjatuhkan diri berlangsung sangat cepat. Dia berusaha menjauhi tempat yang akan kejatuhan pohon tumbang itu.Brusss!Batang pohon menerpa rerumputan, berjarak beberapa tombak dari tubuh Suro Joyo yang tengkurap di semak belukar. Dirinya lolos dari terpaan batang pohon. Tubuhnya selamat dari timpaan batang pohon. Pendekar Rajah Cakra Geni itu segera melompat bangun.Suro Joyo lansung
Senang hati Suro Joyo karena sudah berada di Perguruan Tepaswaja. Susah payah dia datang dari jarak yang sangat jauh, kini telah sampai tanah tujuan. Jauh-jauh dia datang ke pulau ini, sekarang sudah sampai tempat Lakseta menggembleng murid-muridnya.Selama perjalanan memasuki areal Perguruan Tepaswaja, Suro Joyo belum mengemukakan maksud kedatangannya ke Perguruan Tepaswaja. Umpama Suro Joyo tanpa mengatakannya pun, Lakseta tentu sudah tahu. Dulu keinginannya ini sudah pernah disampaikan kepada Lakseta.Sementara waktu cerita beralih ke Pulau Sapit Yuyu. Sebuah pulau berbentuk setengah lingkaran yang bentuknya mirip penjepit yang dimiliki ketam atau udang. Di pulau tersebut dihuni Ponggewiso dan kekasihnya yang bernama Lasih Manari, serta ratusan anak buahnya. Anak buah Ponggewiso adalah orang-orang yang berlatar belakang buruk. Ada yang pernah jadi pencuri, ada yang pernah jadi perampok, ada nada pula pelarian dari sebuah wilayah kerajaan karena pernah melakukan suatu kejahatan.Di
“Aku mesti ke Pelabuhan Atri,” gumam Kowara. “Tak ada gunanya singgah di Pulau Sapit Yuyu. Tak ada gunanya ketemu Ponggewiso dan Lasih Manari.”Sebenarnya Ponggewiso dan Lasih Manari pendekar yang mempunyai ilmu silat tinggi dan mampu menggunakan berbagai macam senjata. Kowara bisa belajar banyak ilmu kepada sepasang pendekar hebat itu. Namun Kowara menyadari bahwa mereka sepasang pendekar yang suka merompak kapal dagang yang lewat di Selat Utara.Kowara mendengar kabar dari teman-teman bahwa Ponggewiso, Lasih Manari, dan anak buah mereka suka merampok kapal dagang di tengah laut. Banyak pedagang atau pun masyarakat pada umumnya yang menjadi korban perbuatan jahat Ponggewiso dan anak buahnya. Perilaku mereka yang mencelakakan banyak orang itu yang kurang disukai Kowara.“Kalau aku terlihat akrab dengan Ponggewiso dan Lasih Manari, diriku bisa rugi,” kata Kowara pada diri sendiri. “Aku bisa dijauhi teman-teman, di antaranya sesama pedagang. Aku juga bisa dijauhi teman-teman lain yang p
Tiga orang yang mengenakan pakaian serba hitam tidak menghiraukan teriakan Kowara. Mereka tidak mengindahkan ancaman yang dilontarkan Kowara. Yang ada di benak mereka adalah lari dan terus lari. Ruanya mereka menyadari bahwa Kowara bukan pendekar sembarangan. Dengan kelihaiaannya, ketika dilempari senjata beracun, bisa membalikkan senjata tersebut, sehingga menewaskan satu dari orang yang berniat jahat pada Kowara. Dari gerakan Kowara tadi bisa diketahui bahwa kemampuan Kowara tidak diragukan lagi. Kowara bisa membunuh lawan dengan senjata yang dilemparkan lawan tersebut. Kalau tiga orang itu tidak lari, bisa mati di tangan Kowara. “Gila…, mereka bisa lari sekencang ini,” gumam Kowara. “Aku akan berlari lebih kencang lagi supaya bisa mengejar mereka. Aku mesti tahu siapa mereka dan apa yang menyebabkan mereka ingin membunuhku.” Kowara merasa gusar. Dia merasa penasaran. Apa mereka ingin membunuhku atas keinginan sendiri ataukah disuruh orang lain? Begitu pertanyaan berkecamuk dalam
Beberapa saat Suro Joyo masih termenung. Dia merasa senang atas semangat yang ditunjukkan masyarakat. Para penduduk setempat terlihat punya tekad kuat untuk ikut terlibat. Mereka berani maju untuk bertempur melawan para bajak laut yang telah menculik para gadis. Suro Joyo sebagai seorang laki-laki menyadari bahwa para penduduk merasa diinjak-injak harga dirinya. Mereka merasa disepelekan oleh gerombolan perompak. Para perompak itu seolah-olah merasa tidak ada yang bisa menandingi. Para bajak laut seolah-olah merendahkan kemampuan para penduduk yang dekat dengan pelabuhan itu. Namun di sisi lain, Suro Joyo juga bertanya-tanya dalam hati. Apakah para penduduk yang berada di Desa Glagah itu mempunyai ilmu silat untuk menghadapi para bajak laut? Apakah mereka kemampuan yang bisa diandalkan ketika bertempur melawan gerombolan bajak laut yang ganas dan tidak mengenal belas kasihan? Sebelum Puguh sebagai kepala desa menggerakkan warganya untuk menggempur gerombolan bajak laut, Suro Joyo in