"Hmmm.... Tampaknya, kau memang pandai memutar lidah, Pak Tua," sahut Baraka. "Aku bisa mengerti apa yang kau katakan. Tapi, tentu saja aku tak mau percaya begitu saja! Katakan asal-usulmu lebih jelas! Kalau memang kau orang baik-baik, mungkin aku bisa menolongmu. Dan mungkin pula, kau pun bersedia menolongku...."
Mendengar ucapan Pendekar Kera Sakti yang terus terang itu, Setan Bodong tertawa untuk kesekian kalinya.
"Ha ha ha...! Dunia ini memang seringkali tidak adil. Aku sudah memperkenalkan diri. Tapi, dua orang yang ada di hadapanku ini terus saja bertanya tanpa terlebih dulu menyebutkan nama dan gelar. Ya! Dunia ini memang seringkali tidak adil! Ha ha ha...!"
Berkerut kening Baraka seketika. Ditatapnya lekat-lekat wajah Setan Bodong yang masih terbaring telentang di cekungan tanah. Karena merasa tak enak hati mendengar sindiran kakek gendut itu, akhirnya Baraka berkata, "Aku bernama Baraka. Kalau ingin tahu gelarku, aku akan mengatakan. Tapi, harap kau tak
Untuk kesekian kalinya, Setan Bodong menatap lekat wajah Pendekar Kera Sakti. Lalu katanya, "Kau sudah tahu kalau aku bergelar Setan Bodong, bukan? Kau lihat sekarang ini, perutku memang gendut, tapi tidak bodong, bukan? Pusar ku biasa-biasa saja....""Apa hubungannya tindakan Banyak Langkir dengan gelarmu itu?" tanya Baraka, penasaran."Ketahuilah, Bocah Bagus..., sebenarnya aku punya pusar sebesar buah terong tua. Oleh karena itulah orang-orang memberi ku gelar Setan Bodong. Tapi..., seperti yang kau lihat sekarang, pusar ku telah hilang. Banyak Langkir telah mencopotnya....""Mencopotnya?" kejut Baraka."Ya. Setelah gagal membunuhku, dia mencopot pusar ku saat aku sedang bersemadi. Akibatnya, seluruh ilmu kesaktianku lenyap....""Astaga! Kejam benar muridmu itu, Pak Tua," dengus Baraka. "Bukan hanya itu perlakukan kejam Banyak Langkir," sahut Setan Bodong. "Karena takut aku akan dapat mengembalikan ilmu kesaktianku, tubuhku yang sudah tak bisa d
Mendadak, tiupan angin berdesir aneh. Hawa bukit yang sudah dingin menjadi lebih dingin. Dewa Geli terkesiap manakala mendengar lantunan syair yang terasa begitu dekat dengan telinganya....Di antara sesama manusia....tak ada istilah menanam budiApa yang telah kulakukan tak lain darikewajiban di antara sesama umatYang Kuasa menciptakan manusia adalah untuktolong-menolong dan bantu-membantuAndai ada seorang manusia sanggup memberiuluran tangan Tapi tak memberi bantuanBerdosalah orang ituKarena, dia telah lupa pada kodratnyaSebagai makhluk Tuhan yang harus selaluberbuat baik kepada sesamaKenapa tenaga mesti disimpan dan tangandisembunyikan bila ada yang memerlukan"Ketahuilah, Bocah....Merasa berhutang budi itu bagus
Karena rohnya telah lepas dari badan kasarnya, dia tak dapat mengelak ketika Dewi Pedang Halilintar membuka topeng yang dikenakannya. Dan karena topeng itu sama persis dengan topeng yang dikenakan Hantu Pemetik Bunga, Dewi Pedang Halilintar menyangkanya benar-benar sebagai Hantu Pemetik Bunga."Jahanam kau!" geram Dewi Pedang Halilintar."Kau tak perlu mungkir, Darma Pasulangit! Dosa-dosa mu telah bertumpuk. Kini tiba saatnya kau mempertanggungjawabkan seluruh dosamu itu!""Nini Kembangsari!" bentak Ksatria Seribu Syair yang tentu saja tak mau dituduh sembarangan. "Aku bukan Hantu Pemetik Bunga! Aku tahu kau menyimpan dendam kesumat terhadap orang itu. Tapi, aku benar-benar bukan Hantu Pemetik Bunga!""Jahanam! Rupanya, kau hendak mungkir lagi!"Dewi Pedang Halilintar balas membentak. "Aku bisa membuktikan bila kau memang Hantu Pemetik Bunga! Keluarkan benda yang menonjol di balik pakaianmu itu!""Apa hubungannya Hantu Pemetik Bunga dengan b
"Hmmm...," Baraka tersenyum. "Kau tak perlu mengkhawatirkan aku. Kau tetaplah di sini. Jaga Kakek Setan Bodong. Aku akan segera kembali...."Di ujung kalimatnya, tiba-tiba Baraka berkelebat meninggalkan halaman rumah batu. Dewi Pedang Kuning menatap kepergian si pemuda dengan hati berdebar. Haruskah dia menyusul."Tak perlu...," ujar Kemuning dalam hati, menjawab pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. "Aku percaya pada ilmu kesaktian Baraka. Sebaiknya, aku kembali...."Kemuning berusaha menghilangkan rasa khawatirnya terhadap keselamatan Baraka. Dengan langkah berat, dia lalu berjalan masuk kembali ke rumah batu. Ditemuinya Setan Bodong yang masih terbaring lemah di cekungan tanah.Sementara itu, Baraka berlari cepat dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang bernama 'Kelana Indra'. Baraka tampak tergesa-gesa sekali. Dia memang tak mau kehilangan waktu. Pusar Setan Bodong harus segera didapatkannya. Agar dia bersama Kemuning dapat secepatnya
"Alirkan tenaga dalam dengan lembut, lalu tempelkan di tengah perutku. Hei! Hei! Jangan terbalik! Yang harus ditempelkan adalah bagian ujungnya yang besar itu!"Setengah berteriak Setan Bodong memberi petunjuk pada Pendekar Kera Sakti yang telah kembali ke rumah batu. Sementara, Kemuning tak berani menatap gumpalan daging di tangan Pendekar Kera Sakti karena merasa jijik dan ngeri."Nah! Nah! Begitu! Bergegaslah!" seru Setan Bodong, tak sabaran.Pendekar Kera Sakti yang sebenarnya juga menyimpan rasa jijik dan ngeri, tak mau membuang waktu. Tergesa-gesa sekali murid Eyang Jaya Dwipa itu mengikuti petunjuk yang diberikan Setan Bodong.Tatkala pusar Setan Bodong yang berupa gumpalan daging merah telah ditempelkan ke tempatnya, Baraka dan Kemuning tampak melonjak kaget. Kulit tubuh Setan Bodong yang semula kuning pucat berubah merah matang seperti warna buah tomat masak. Warna merah itu menjalar dari gumpalan daging yang telah melekat di tengah perut si kake
Tak setetes pun darah keluar dari dada Setan Bodong. Agaknya, si kakek punya ilmu kebal yang membuat tubuhnya tak mempan senjata tajam."Jangan turuti hawa marah mu! Lihat itu!" seru Setan Bodong kemudian.Lewat ekor matanya, Kemuning melihat tubuh Baraka yang masih tergeletak di atas tanah. Namun, kini tubuh pemuda itu tampak bergerak-gerak. Kedua pergelangan tangannya menekuk dengan jari-jari terkepal. Bunga-bunga es biru langsung rontok."Uh...!"Pendekar Kera Sakti mengeluh pendek. Perlahan dia bangkit. Dan..., melototlah bola mata Kemuning. Di atas tanah tempat terbaringnya tubuh Baraka tadi, telah tergeletak batu berbentuk limas segitiga berwarna biru."Itukah batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'...?" desis Kemuning.Setan Bodong tak menjawab."Ya, Tuhan...," sebut Baraka seraya memungut sekepal batu yang tergeletak di dekat tubuhnya. Bergegas pemuda itu meloncat ke arah Kemuning. Tanpa sadar dia memeluk dan mencium p
MATAHARI belum begitu tinggi di ufuk kaki langit sebelah timur. Namun sinarnya seolah ingin membakar semua yang ada di muka bumi. Tanah kering merekah. Tak urung, rumput-rumput yang tumbuh di sekitar hutan kecil tempat seorang pemuda tengah berlatih silat pun mengering karena terlalu sering tertimpa sinar matahari di musim kemarau yang berkepanjangan ini.Di tanah agak luas dalam hutan kecil itu Pendekar Kera Sakti memang tengah giat menempa diri mempelajari Pukulan 'Angin Es dan Api' yang diwarisi dari Eyang Jaya Dwipa. Tanpa mengenal putus asa sedikit pun, pemuda itu terus mencoba untuk menyempurnakan Pukulan 'Angin Es dan Api' seperti yang pernah dikatakan oleh Raja Kera Putih.“Ternyata Ilmu Angin Es dan Api yang kau miliki belum sempurna. Nanti kalau dua larik sinar putih dan merah dari kedua telapak tanganmu sudah dapat kau ubah menjadi dua gulungan asap putih dan merah, baru kau dapat menguasai Ilmu Angin Es dan Api dengan sempurna seperti yang Eyang Jaya
Namun..., rentetan kata kakek berambut riapriapan itu segera lenyap tertelan suara gemuruh angin yang terus bertiup di Padang Angin Neraka. Tak ada orang lain yang muncul. Justru dari belakang Setan Selaksa Wajah tampak putaran angin puling beliung!Wesss!"Akkhhh...!"Memekik parau Setan Selaksa Wajah. Kepalanya yang menyembul ke permukaan tanah terasa amat pening luar biasa, bagai terhantam palu godam. Putaran angin puting beliung yang menimpa, memelintir lehernya. Andai kakek itu tidak mempunyai kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi, dapat dipastikan bila lehernya akan putus, dan kepalanya akan terbawa putaran angin puting beliung!"Setan alas kau, Banyak Langkirrr...!" teriak Setan Selaksa Wajah, keras menggelegar. Kakek itu berusaha menahan rasa sakit yang mendera kepala dan sekujur tubuhnya. Dia melampiaskan kekesalan dan hawa amarahnya dengan berteriak mengumpat-umpat. Sumpah serapah dan katakata kotor segera tertumpah dari mulutnya.Namun, s