Krak!
Rintihan terdengar lirih bersahutan dengan suara tawa penuh kemenangan. Pukulan kanuragan Barok mengincar bagian luar tubuh, tepat di tulang rusuk bagian kanan. Barok tidak memberi kesempatan Asoka untuk mengeluarkan api biru penyembuhan.
“Jangan membangkitkan amarah murid padepokan! Aku tidak peduli siapa dirimu, Guru sudah memberi titah. Perburuan ini harus berhasil!” Barok mengerang, dia memaksa tubuhnya melampaui batas kemampuannya.
Asoka kewalahan karena Barok tidak mau menghentikan serangan, dia terus berusaha menghindari hujaman vertikal Barok, sesekali dia menghindar, tidak jarang pula menggulingkan tubuh di tanah.
Sambil memegangi pinggul kanannya yang sakit, pemuda berkuncir terus bergerak. “Fahma ... lepaskan selendangmu, ini sudah termasuk kategori darurat!”
Melihat Asoka kesakitan, Fahma langsung menangis. Tiba-tiba keluar cahaya hijau dari matanya yang tertutup selendang Asoka.
Barok yang diselimut
Sebelum tubuh Fahma mengkerut, matanya kembali memancarkan cahaya hijau pekat. Asoka tidak peduli dengan keadaan, dia tetap duduk memangku Fahma walau cahaya itu menebas tubuhnya berulang kali.Tapi kali ini sedikit berbeda. Cahaya yang terpancar tidak melukai siapapun, hanya ada percikan api yang tersebar di sekitaran Hutan Babel. Dari seluruh penjuru, terdengar derap kaki gerombolan binatang buas.Asoka coba memastikan hal ini pada Gatra, tapi sang gagak tetap hening tidak menjawab.“Tidak, ini bukan binatang buas,” ujar Gatra yang sadar jika getarannya aneh. “Terasa gelombang energi aneh, binatang buas tidak mungkin memancarkan gelombang seperti ini.”“Jangan katakan ini adalah efek samping cahaya hijau mata Fahma...” Asoka coba menebak, dia masih meyakini ucapan Ki Langkir bahwa kekuatan mata Fahma bisa menarik perhatian siluman-siluman hutan.Gino belum kunjung bangun dari pingsannya. Bono juga masih merinti
Teriakan kematian keluar, sekujur tubuh Asoka memancarkan gelombang energi yang sangat dahsyat.“Jangan ada yang mengganggu ketenangan adikku!”Haki raja milik Asoka menggempur para siluman hingga mengakibatkan gempa berkekuatan tinggi di sekitar Hutan Babel, banyak pohon tumbang dan daun-daunnya tercabik hebat menjadi serpihan kecil.Dedemit dan siluman yang awalnya tertarik dengan cahaya hijau dari mata kiri Fahma, mendadak terpental jauh. Ada yang menghancurkan bebatuan goa, ada pula yang mati karena tidak kuat menahan gelombang energi yang terpancar.“Asoka masih belum sadar. Setiap kali dia marah, menanggung dendam, atau ingin membalas perbuatan musuh, teriakan itu pasti muncul. Begitu juga dengan haki rajanya. Dia masih belum bisa mengendalikan dua kekuatan dahsyat itu,” batin Gatra pelan.Sebagai antisipasi jikalau Asoka gagal mengendalikan pikirannya saat memendam amarah, Gatra cepat-cepat masuk, mengontrol Asoka dar
Tragedi besar Perguruan Api Abadi tidak mungkin bisa dilupakan oleh murid-murid perguruan, utamanya Banitura dan beberapa murid lencana giok yang turut hadir membantu para tetua.Semenjak itu, Abah Suradira tidak lagi membuka Asrama Api Naga kecuali ada hal darurat yang tidak bisa diselesaikan kecuali dengan membuka asrama terlarang itu.“Sudah, lupakan saja, tragedi itu hanya membangkitkan trauma mendalam di benak murid-murid perguruan. Ada baiknya kau mempercepat jalanmu menuju padepokan. Lihatlah Fahma, dia sangat lemah. Kau harus bergegas sebelum kondisi gadis itu makin parah.”Ucapan Gatra ada benarnya. Asoka tidak boleh larut dalam alur mengerikan yang pernah terjadi beberapa bulan silam. Tapi baru berjalan beberapa langkah, pemuda berkuncir menyadari suatu hal.Tulang lengan kanan Fahma kembali menyusut. Asoka memegangnya, yang tersisa hanya tulang tanpa daging. Pori-pori gadis itu mengeluarkan lendir hijau bercahaya.“Kena
Penerapan Aura Pancasona tergolong berhasil. Murid-murid Padepokan Ajisaka tidak ada yang terluka walau harus bertarung sampai titik darah penghabisan. Hal itu berdampak sampai saat ini, terutama saat Asoka semakin dekat dari aula perguruan.Tubuh pemuda itu mulai terasa ringan, aliran energinya seolah bergerak mengikuti aliran aura yang masuk ke tubuhnya. “Aura ini ... sepertinya tidak asing.”Pernah suatu hari Asoka merasakan aura ini saat menjadi murid di Perguruan Kabut Butana.Waktu itu ada penyusup yang nekat masuk melalui kabut tebal hutan hingga berhasil mencapai garis tepi gerbang perguruan. Dia mengalami luka parah.Pasalnya, lokasi Perguruan Kabut Butana berada di puncak gunung yang tertutup kabut putih tebal serta asap beracun pekat.Hanya pendekar dengan daya tahan tubuh tinggi yang bisa menahan efek samping asap beracun gunung itu. Dan ketika Ki Langkir membawanya masuk ke perguruan, aura putih tiba-tiba terasa. Aura yang
Asoka terkejut bukan main. Dia tidak menyangka Barok akan menodongnya dengan bola-bola api. Niatnya datang adalah menjemput Barok agar pria itu bisa segera menyembuhkan Fahma, namun Barok salah memahami maksud kedatangan Asoka.“Ti-tidak. Aku tidak mencari kekerasan. Tolong bantu adikku, aku butuh seseorang bernama Barok.” Asoka memohon, tapi nada suaranya masih tergolong tinggi.“Aku Barok, kau siapa? Ada urusan apa mencariku?” Barok membalas agak kasar, tapi sebisa mungkin Asoka memperhalus ucapannya agar Barok tidak semakin kesal.“Orang di sana memintaku untuk mencari seseorang bernama Barok.”“Aku sudah lemah, kakiku luka karena nekat loncat dari ketinggian air terjun. Jika kau berkenan membantuku, segera bawa aku ke padepokan. Aku tahu bagaimana cara menyembuhkan adikmu Fahma.”Barok meringkuk di punggung Asoka.Keduanya langsung menghilang hanya hitungan detik. Asoka tidak peduli walau h
Aula padepokan adalah tempat paling sakral yang ada di sekitaran gunung. Tidak ada yang boleh menumpahkan sedikitpun darah, walau setetes.Dulu sebelum babat alas dilakukan beberapa pendekar sakti melakukan pertapaan lumayan lama. Butuh mediasi belasan tahun agar mereka bisa kompromi dengan siluman penghuni Hutan Babel, terutama dengan rajanya.Ada sebuah petak kecil yang selalu dihindari oleh para warga, lebih-lebih pendekar yang ingin mendaki puncak Welirang.Petak itu pernah menjadi pusat kerajaan jin Hutan Babel jauh sebelum pertapaan dimulai. Sang raja tidak ingin ada darah tumpah di area kekuasaannya.Bagi bangsa jin, darah sama seperti makanan paling lezat. Hal itu bisa menimbulkan sengketa antara para petinggi istana jin dan para pemangku kekuasaan. Mereka pasti berebut, bahkan tak segan membunuh satu sama lain.Sampai saat ini tradisi anti darah masih melekat di kalangan warga yang tinggal di kaki Gunung Welirang.Mereka sempat terk
Kusuma beberapa kali tidak sadarkan diri, bahkan sempat hidup di alam lain dan bertemu bapaknya. Namun tak berselang lama, dia hidup lagi, dan kembali disiksa dengan perlakuan yang jauh lebih kejam.Kejadian itu terus berulang sampai tiga kali.Setelah bangkit dari kematian ketiganya, Kusuma dinyatakan lolos dengan tanda, terbukanya gerbang misterius menuju puncak.Menurut beberapa pengakuan pewaris mustika merah, gerbang itu tempatnya tidak pernah menetap.Di masa Bhagawad Gita misalnya, gerbang itu terletak di bawah tempatnya berpijak. Di masa Ki Damardjati ada di tengah belahan batang pohon beringin. Sementara di masa Ki Seno Aji, gerbang itu malah ada di kaki bukit yang mana tempat itu menjadi tempat berlangsungnya ujian pertama.Kusuma masuk ke gerbang yang muncul setelah batu raksasa di hadapannya terbelah. Dia masuk, lalu tidak sadarkan diri. Ketika membuka mata, pemuda tanggung itu melihat sosok putih bercahaya.“Kau tidak bisa
Barok sadar, ada kemungkinan Raden Kusuma terkena karma yang selama ini tidak boleh dilanggar, tapi kemungkinannya sangat kecil. Barok sempat ragu. Pasalnya, tumpahan darah lima anggota sekte tidak satu pun menetes di lantai aula padepokan.Apa karma itu hanya menimpa mereka yang menumpahkan darah di aula, atau menumpahkan darah di seluruh petak istana jin? Entahlah.Tidak ada harapan hidup lagi, Barok lebih memilih mati dari pada harus menyaksikan kematian Raden Kusuma. Dia tidak menginginkan hal tersebut.Di satu sisi, dia harus terus menghindar tanpa membalas serangan Asoka agar pemuda itu tidak makin murka dan menghancurkan padepokan. Di sisi lain, Barok pesimis Raden Kusuma bisa diselamatkan.“Sembuhkan adikku atau kau akan mati!” suara Asoka menggema ke seluruh tebing di kiri-kanan padepokan.Barok mengangguk. “Ba-baik, akan kuusahakan. Tapi tolong, biarkan aku melihat kondisi Raden Kusuma lebih dulu. Hanya dengan izinnya, b