“Kalian akan berlatih dengan pemuda ini. Seperti yang sudah kuajarkan, jangan menilai sesuatu dari luar. Dia memang lebih muda, tapi dalam dirinya mengalir tekad Ki Seno Aji. Hal yang perlu kalian tanamkan di sini, bahwa, dia sudah diakui sebagai murid emas Ki Seno Aji.”
Begitu nama pertapa tanpa tanding itu disebut, semua murid padepokan Ajisaka diam. Barok juga terpaku. Dia baru tahu kalau Asoka adalah bocah pilihan Ki Seno Aji.
Kembali, murid-murid dibuat kagum dengan Asoka.
Setelah berhasil mengalahkan Barok dan dua rekannya, kini Asoka diminta melatih. Belum lagi Raden Kusuma membuka jati diri Asoka kepada seluruh murid padepokan.
Dari empat pendekar terkuat dunia, Ki Seno Aji lah yang selalu disebut-sebut sebagai yang terkuat masa kini.
Mungkin, sekarang sedikit berbeda. Kekuatan Ki Seno Aji tidak selevel dengan pemegang mustika lain, lebih-lebih, setelah pertapa tua itu mewariskan mustika merah kepada Asoka.
Meskipun banya
Mereka hanya menuruti permintaan Asoka, berdiri di tengah terik sinar matahari bercampur energi Bunar Kumbara.Keringat menetes di mana-mana, bahkan ada salah satu murid yang mengeluh tidak kuat menjalani siksaan ini, padahal baru lima menit pertama.Seluruh murid saling pandang heran. Guru macam apa ini! 15 menit sudah tapi kami hanya berdiri di bawah terik matahari! Ingin sekali mereka mengeluarkan umpatan kasar pada Asoka.Namun, mereka tidak jadi melakukan itu karena terbayang, bagaimana amarah Raden Kusuma nanti ketika tahu jika murid padepokan Ajisaka berani membentak guru mereka.Dari dalam ruang ritual, Raden Kusuma mencolek Ki Langkir Pamanang yang ikut membantu ritual penutupan mata kiri Fahma. “Lihat muridmu, edan tenan!”“Heh,” heran Ki Langkir, “maksudmu Asoka?”“Coba lihat di luar sana!”Ki Langkir melipirkan badannya ke dekat pintu. Dia melihat Asoka hanya duduk sambil men
Jarak Asoka dengan ruang ritual tidak terlalu jauh. Aura hitam pekat Yasa bisa dirasakan Raden Kusuma dan Ki Langkir Pamanang.Semakin geram, aura hitam itu terasa semakin pekat.Raden Kusuma dan Ki Langkir Pamanang khawatir, jika Asoka dibiarkan mengamuk, semua murid bisa terbunuh dengan mudah. Jangankan mereka berdua, Abah Suradira, yang sudah diakui sebagai pendekar elemen api terkuat, tumbang saat ingin menghentikan murka Asoka.Bono dan Barok hanya bisa menggelengkan kepala melihat tetua padepokan bernama Suryo.Bukannya berhenti, dia malah memprovokasi Asoka, membuat pemuda itu makin emosi. “Jangan gegabah, Kisanak. Bukannya sombong, Barok yang terkuat di sini saja sudah tumbang olehku, apalagi dirimu.”“Gertakanmu tidak akan berguna. Kau tidak pantas mengajar di padepokan Ajisaka!” Asoka mengerang, lalu mengeluarkan aura kemerahan di sekitar tubuhnya.Usai menghela nafas panjang, dia berdiri, menuruni anak tang
“Kenapa? Keluarkan saja seluruh energimu, aku tidak takut.” Suryo semakin berlagak di hadapan Asoka, seolah, dia adalah orang terkuat setelah Raden Kusuma.“Jangankan satu orang, jika ada tiga orang seperti dirimu, pasti kukalahkan semuanya! Gelar yang terkuat di padepokan hanya dimiliki Raden Kusuma, tapi aku adalah orang terkuat nomor dua di sini. Kau tidak tahu seberapa besar tenaga dalamku, kan?”Asoka memicing heran. Bagaimana bisa pria ini begitu sombong. Dia melihat ada sesuatu yang menonjol tapi bukan bakat.“Aku tidak tahu jika kesombonganmu jauh lebih besar dari belalai gajahmu, itu kelihatan menempel di celana.”“Bocah tengik!” Suryo berlari ke arah Asoka dengan pedang terhunus di samping kepala.Awalnya dia ingin menghabisi Asoka dengan jurus terkuatnya, Teknik Pedang Kawah Angin, namun ternyata gagal. Suryo makin geram kala Asoka mempermalukannya di hadapan murid-murid lain.Mau di
Kembali, Asoka melesat dengan Ajian Sepuh Angin, ke belakang tubuh Suryo, lalu menekan arteri nada, tempat aliran energi utama manusia yang letaknya di sekitar leher kiri bawah.Barok yang tidak tahan, segera lari menghampiri Suryo. Dia tidak peduli walau Asoka menatapnya sangat tajam.“Harus berapa kali aku memperingatkanmu, Barok, tidak boleh ada yang ikut campur dalam pertarungan ini!” Dari tangan Asoka, keluar bola-bola api. Dia geram, siap menyerang Barok dan Suryo bersamaan.“Sekali ini saja, aku mohon!” Barok hampir saja sujud jika Raden Kusuma tidak meneriakinya dari jauh.“Kau menang telak setelah berhasil mematikan aliran kanuragan Suryo. Pertandingan ini, merupakan ajang pembuktian siapa yang terkuat. Kau berbuat curang. Teknik totok jarimu sama sekali tidak diketahui murid padepokan.”“Lalu kenapa? Ada masalah dengan teknikku?”“Harusnya kau tahu, kita sebagai pendekar medis,
Srat!Sring!Hunusan pedang Suryo hampir saja memotong tangan Asoka kalau dia tidak fokus. “Bahkan kalian yang belum sampai tingkat pendekar kahyangan saja bisa tahu ke mana pria jelek ini akan menyerang.”Semua murid mengangguk.Barok mengiyakan pernyataan Asoka. Diam-diam, dari kejauhan, pemuda itu mempelajari gerakan Asoka dalam menghindar, lalu menjabarkannya pada murid-murid padepokan lainnya.Memang, melihat pertarungan dari sudut pandang penonton, terasa lebih luwes dari pada harus bertarung di dalam arena. Kesemua murid diminta memperhatikan gerakan Asoka dari jarak aman.Raden Kusuma menyunggingkan senyum puas kala mengetahui semua muridnya fokus, mengamati bagaimana gerakan kaki dan tangan Asoka saat menghindar.“Sudah, cuma itu kekuatanmu?” tanya Asoka.Suryo kewalahan.Tenaganya terus terkuras. Dia merasa dipermainkan oleh seorang bocah. “Jangan hanya berani menghindar, Bocah! La
Dalam dunia pendekar, ada empat tingkat kekuatan api. Yang terkuat adalah api hitam, sangat susah untuk dilawan ataupun dipadamkan. Dua ada api biru, kemudian merah, dan terakhir api oranye atau api biasa.Sedangkan api kuning ada di tingkatan kedua tertinggi setelah api hitam.Sebenarnya ada satu tingkatan api lagi, dan itu hanya dimiliki oleh anak dalam ramalan yang mewarisi kekuatan Bunar Kumbara tiap 400 tahun sekali.Pertarungan ini sebenarnya tidak perlu, karena sudah jelas, siapa yang keluar sebagai pemenang.Tapi mungkin, Asoka punya niat lain dia mau menuruti ego Suryo. Entah sekedar mengajari murid-murid padepokan, atau bahkan praktek langsung dasar-dasar persilatan yang selama ini hanya diajarkan secara teori.“Sebaiknya aku hentikan pertarungan ini. Asoka tidak boleh dibiarkan mengamuk. Jika amarahnya terpancing, aku bisa pastikan Suryo tumbang di tangan Asoka. Minimal kalau dia tidak mati, dia menderita luka bakar yang sangat par
“Cu-cukup... tidak perlu sampai seperti ini. Bangun, Paman. Aku tidak terlalu mempermasalahkannya. Semua keributan sudah selesai. Bangunlah, tolong...”Asoka meraih bahu Suryo dan mengangkatnya. Sekalipun Suryo berusaha untuk tetap bersimpuh, dia kalah tenaga dengan Asoka. Keduanya saling bersalaman dan membalas senyuman.Ki Langkir Pamanang dan Raden Kusuma hanya bisa saling pandang. Kepercayaan mereka pada Asoka semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Meskipun kadang ceroboh, tapi Asoka memiliki hati yang suci.Keesokan harinya, latihan kembali digelar. Asoka menyuruh seluruh murid padepokan untuk bersantai hingga matahari sudah berada di atas kepala.Begitu terik, Asoka menyuruh mereka berbaris seperti kemarin tanpa memberitahu alasan dan manfaat dari latihan ini. Tapi sekarang, 30 menit lamanya berdiri, tidak satupun dari mereka ada yang pingsan.Setelah beristirahat, latihan kembali dilanjutkan sore harinya. Asoka diberikan ma
Asoka berbalik arah. Dia melihat ada dua orang murid sedang bercanda satu sama lain. Eskpresinya berubah, dia agak jengkel melihat tingkah dua murid muda itu, padahal dia sendiri juga masih muda.“Apa yang kalian bicarakan? Jangan bilang, kalian membicarakan diriku yang suka buat onar, suka mencari gara-gara dengan para tetua lain? Jawab, apa yang kalian bicarakan!?” Asoka tiba-tiba berada di belakang mereka.“Ti-tidak, Gu-”Ctak!Ctak!Dua pukulan mendarat hingga memunculkan benjolan kecil di kepala belakang dua murid muda itu. Tidak ada yang bersuara atau protes, mereka menerimanya, terpaksa, dengan lapang dada.Asoka berjalan menuju gubuk. Sementara di belakang, kepala dua murid tadi mengikutinya.“Apa kubilang, dia pemuda semprul. Kalian kalau ikut semprul dan tidak serius, jadinya gitu!” Barok mengingatkan, usai Asoka masuk ke dalam gubuk.“Ma-maaf, Kakang Barok, kami tidak tahu se