Drap drap drap!Iblis Jelita yang sedang tidur terbangun mendengar suara langkah kuda di pinggir sungai.Memang, indera Iblis Jelita sangat peka terhadap suara-suara di sekitar rumahnya. Dia bahkan bisa terbangun oleh hanya suara ikan melongok di permukaan air sungai, sampai-sampai dia jarang bisa tidur nyenyak. Itu sudah menjadi gaya hidupnya tanpa mengganggu kesehatannya.Iblis Jelita sangat bisa membedakan antara suara binatang serupa kecoa atau cecak dengan suara pergerakan manusia.Suara kaki kuda jelas menunjukkan ada orang yang datang. Sulit dipercaya jika ada kuda yang datang tapi menunggangi orang atau tanpa ditunggangi.Ehehehek!Setelah suara kaki kuda berhenti, terdengar suara ringkikan kuda.“Oh, Surami,” ucap wanita cantik itu lirih saat mengenali suara ringkikan kuda miliknya, yang ternyata bernama Surami. Sepertinya kuda milik Iblis Jelita bergender betina dan jomblo.Iblis Jelita yang jelita, meski baru bangun dari tidur, tersenyum. Itu karena dengan pulangnya Surami,
Mendengar Ardo Kencowoto menceritakan tentang Aninda Maya, Semuri, Kenanga dan Uni Priwangi, hati Iblis Jelita jadi terbakar api cemburu. Namun, api itu tidak sampai membakar keluar atau menimbulkan asap tanda adanya yang terbakar.Iblis Jelita memendam api cemburunya dengan sikap ketenangan, tapi rasa cemburu itu tergambar dari perubahan raut wajahnya. Namun, Ardo tidak melihat itu karena mereka berdua sama-sama memandang ke arah yang sama, yaitu ke arah kegelapan hulu sungai.“Yang mana lebih cantik, keempat gadis itu atau aku?” tanya Iblis Jelita tanpa mengalihkan pandangannya dari kegelapan.“Ya jelas, Nyai Sakti lebih cantik. Maafkan aku, Nyai Sakti, jika aku suka belpikil aneh-aneh tentang Nyai Sakti,” ucap Ardo seraya tersenyum sendiri kepada malam.Ungkapan hati Ardo itu ternyata bisa menggerakkan wajah Iblis Jelita untuk menengok memandang Ardo. Dipandangi seperti itu, Ardo jadi malu dan tersenyum lebar.“Hal aneh apa yang kau hayalkan denganku, Ardo?” tanya Iblis Jelita bena
Iblis Jelita membiarkan ketiga perwira itu saling berdiskusi. Dia hanya berdiri memandang, hitung-hitung tebar pesona seperti boneka baju di etalase butik.“Nisanak!” panggil Arjunatama Cula Garang pada akhirnya.Iblis Jelita bergeming.“Siapa kau sebenarnya?” tanya Cula Garang.“Siapa yang kalian cari? Jika kalian mencari penghuni rumah ini, maka akulah orangnya. Jika kalian mencari orang lain, siapa namanya?” tanya balik Iblis Jelita.“Kami mencari Iblis Jelita!” seru Cula Garang dari seberang.“Akulah orangnya!” seru Iblis Jelita pula.“Kau jangan membohongi orang Istana, Nisanak!” tukas Cula Garang. “Meski kami belum pernah bertemu dengan Iblis Jelita, tapi kami dapat memperkirakan usianya.”“Kalian belum pernah bertemu, tapi bisa seyakin itu. Jika kalian tidak percaya, lebih baik pulanglah. Kalian tidak akan menemui Iblis Jelita di tempat lain jika kalian menyangkalku,” kata Iblis Jelita.“Sudah, kita tangkap atau bunuh saja wanita itu, Cula Garang. Dia sudah mengaku,” kata Ubar
“Siapa yang ingin menuju ke kematiannya?” tanya Iblis Jelita kepada dua arjunatama yang masih tertawa karena melihat nasib apes Ubar Ubaran yang hanyut terbawa arus sungai. Pertanyaan itu seketika menghentikan tawa kedua arjunatama. Cula Garang dan Gading Margin sejenak terdiam memandang kepada Iblis Jelita yang berdiri di ujung titian tali tambang. Sebenarnya Cula Garang dan Gading Margin sedang berpikir cara menghadapi Iblis Jelita. Jika Iblis Jelita berada satu pijakan tanah dengan mereka, tidak perlu berpikir lagi, bisa langsung sikat. “Putuskan tali itu!” perintah Cula Garang kepada prajurit pasukannya. Dua prajurit segera cabut pedang dan berlari ke ujung titian untuk menebas ujung tambang yang ada di darat. Mereka bersemangat dengan harapan nanti dapat “bonus keberanian”. Set set! Des des! “Akk! Akh!” Namun, dua butir sinar hitam lebih cepat mengenai tubuh kedua prajurit itu sebelum mereka menebas tali titian. Kedua prajurit itu terkena energi Sentilan Dewi Hitam tingka
Akar Sejara dan Sambar Anuk berkuda menyusuri jalan yang tidak jauh dari Sungai Ukirati, yang katanya menjadi tempat kediaman Iblis Jelita, pembunuh ibu mereka. Namun, mereka tidak tahu di mana tepatnya posisi rumah pendekar wanita sakti itu.Sekedar informasi bahwa Akar Sejara menyandang pedang hitam-putih yang memiliki nama Pedang Gelap. Sedangkan Sambar Anuk membawa pedang warna putih-perak yang bernama Pedang Terang Buta, bukan Pedang Terang Bulan.Akar Sejara yang tidak berbaju memiliki badan yang kekar berotot. Sambar Anuk tidak berbaju juga, tetapi dia mengenakan kain selempangan warna perak. Jari-jari tangan kanan mereka ada warna emas yang menempel di kulitnya.Mereka berdua berpisah dengan kedua saudaranya yang bernama Rawa Kujang dan Teguk Permana. Adik dan kakak mereka itu sedang berada di Gampartiga, ibu kota Kadipaten Dadariwak.Di saat mereka sedang berkuda pelan sambil mencari-cari keberadaan rumah di sekitar sungai, tiba-tiba mereka melihat ada satu dua mayat yang han
“Kakang, kenapa kau tidak terus terang bahwa kita mencari Iblis Jelita?” tanya Akar Sejara agak berteriak karena mereka sedang berkuda yang berlari. “Menurutmu, apakah kita sanggup membunuh lebih seratus prajurit dalam sekali pertarungan?” tanya Sambar Anuk. “Tidak,” jawab Akar Sejara. “Tapi aku yakin itu bukan Iblis Jelita.” “Kau berubah pikiran?” tanya Sambar Anuk. “Jangan-jangan kau jatuh hati kepada gadis itu, Adik.” “Kakang juga pasti jatuh hati. Tadi Kakang menggodanya!” tukas Akar Sejara. “Aku tiba-tiba berpikir. Mungkin saja itu putri dari Iblis Jelita.” Sambil menunggang kudanya, Sambar Anuk manggut-manggut tanda menerima dugaan adiknya itu. “Jika putrinya saja semengerikan itu, ibunya pasti lebih ganas,” kata Sambar Anuk. “Tapi kita harus membicarakan ini kepada Kakang Teguk Permana.” Keduanya terus berkuda dengan tenggelam di dalam pikiran masing-masing di saat keduanya tidak saling bercakap. Namun, meski tidak saling mencontek, tetapi ada satu perkara yang sama di da
Ardo Kencowoto memilih langsung menuju ke Tebing Pahat, sesuai perintah sang guru.Pada hari yang cerah itu sepertinya Ardo sedang ketiban untung, pasalnya dia tidak menemukan aral dan rintangan yang menghambat perjalanan.Ketika ada godaan pendekar-pendekar wanita yang berpapasan dengannya, dia abaikan dan bersikap sombong. Ketika ada petani yang terperosok roda pedatinya di jembatan kayu, dia tidak berhenti membantu dan bersikap masa bodo. Ketika serombongan prajurit kadipaten yang berpatroli, dia lewati begitu saja dan tidak patuh karena sempat dihadang.Ketika lewat di dekat Desa Guling tempat tinggal dua gadis cantik yang menaksirnya, Ardo memilih tidak mampir ke desa tersebut. Dia langsung menuju ke Tebing Pahat.Keberuntungan masih milik Ardo karena dia dengan mudah menemukan Iblis Satu Kaki yang sedang memahat dinding batu membuat saluran air, agar nanti di musim penghujan air bisa ditampung. Istilah kerennya adalah memanen air hujan. Seperti kata pepatah “sedia payung sebelum
Rinta Kemiri menggendong bakul keluar dari pasar. Bakulnya berisi dengan buah jengkol. Jangan salah paham, Rinta Kemiri bukan pedagang jengkol.Rinta Kemiri penjual ikan pagi, menggantikan ibunya di hari itu. Ikan dagangan Rinta Kemiri sudah habis terjual. Rinta hari ini punya rencana untuk memasak semur jengkol. Jadi dia membeli jengkol setelah dagangannya habis.Drap drap drap…!Di saat Rinta Kemiri sedang berjalan seorang diri, tiba-tiba terdengar suara lari beberapa ekor kuda yang sangat cepat dari arah belakang. Rinta yang terkejut cepat menengok ke belakang.“Aaak!” jerit Rinta Kemiri lebih terkejut.Gadis cantik itu melihat tiga ekor kuda yang berlari kencang sudah dekat dan hendak menabraknya. Dia cepat melempar tubuhnya ke samping dan jatuh cukup keras di tanah, bukan jatuh di dalam pelukan seorang pangeran.“Aaak!” rintih Rinta Kemiri kesakitan.“Hahaha…!” tawa ketiga orang penunggang kuda tersebut sambil berlalu memandangi adik Ardo Kenconowoto itu.Ketiga orang itu tidak l