Sejak malam itu, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak hingga Mas Alan datang dan menemaniku. Setiap hari aku selalu merasa ada sepasang mata yang mengawasiku dari jauh. Di saat aku menyapu halaman, mengepel lantai, atau saat sesekali aku ke teras rumah untuk mengantar kepergian Mas Alan. Namun, aku masih berusaha menahan diri dari menceritakan semuanya pada Mas Alan. Toh, aku pun masih belum yakin dan membuktikan dugaanku itu. Aku tak mau malah membuat Mas Alan merasa cemas dan pada akhirnya lebih mementingkan menemaniku. Padahal, apa yang kutakutkan selama ini hanyalah keparnoan semata. Kecuali saat Mas Alan berada di dekatku. Aku merasa begitu aman dan nyaman. Aku tidak merasa takut dan cemas. Aku juga merasa, tidak akan terjadi hal buruk apapun selama Mas Alan ada bersamaku. Waktu terasa begitu cepat berlalu dengan kehadirannya di sisiku. Hingga tak terasa kini habis saatnya Mas Alan kembali lagi ke rumah pertamanya."Mas, kamu belum siap-siap?" tanyaku sore itu. Mas Alan yang se
Suara tangis Cilla disambut bahagia oleh Mbak Aira. Dia yang semula sedang rebahan menonton televisi bersamaku kini langsung berlari ke kamar. "Akhirnya kamu bangun, Sayang," ucapnya sambil berlari ke kamar. Aku hanya terkekeh melihatnya. Memang sudah cukup lama Mbak Aira tak datang main ke rumahku. Jadi, pasti kali ini ia begitu merindukan Cilla. Melihat kasih sayangnya sebagai seorang ibu, aku sangat berharap semoga saja Mbak Aira segera diberi kepercayaan untuk menjadi seorang ibu juga.Sore hari Mbak Aira pulang. Ia tentu harus menyambut kepulangan Mas Alan di rumah. Kepulangannya itu membuat suasana hangat di rumah ini kembali redup. Ya, rumah ini kembali seperti biasanya, sunyi dan sepi. Aku mulai melakukan rutinitas sore hari seperti biasa. Memandikan Cilla dan menyetrika pakaian. Hingga malam mulai menjelang, saat aku sedang mengambil wudhu di kamar mandi untuk melaksanakan shalat isya, tiba-tiba lampu mati. Entah memang ada pemadaman atau bagaimana. Setelah menyelesaikan w
Keringat dingin memenuhi dahi dan badan Yulia. Ia bermimpi buruk, memimpikan apa yang semalam terjadi di rumahnya."Ini, minum dulu." Aira menyerahkan air minum kemasan. "Kamu gak sehat mungkin," ucap Vina. "Kamu sakit, Dik?" tanya Alan. "E-enggak, Mas. Aku cuma mimpi buruk saja.""Ya sudah, ayo kita turun. Kita sudah sampai."Mereka pun turun dari mobil dan langsung masuk setelah membayar loket. Aira yang melihat gelagat Yulia sedikit aneh pun tetap menggendong Cilla, ia yakin kalau pasti ada yang disembunyikan oleh wanita itu."Yul, ayo." Aira menarik tangan Yulia untuk berjalan lebih cepat. Keadaan begitu ramai, tak mustahil kalau salah satu di antara keluarga pengunjung bisa saja terpisah dan kesulitan mencari keluarganya lagi.Mereka berpiknik dengan ceria, Cilla pun juga terlihat sangat senang. Ia terus berceloteh dan tertawa-tawa. Pemandangan sekitar yang penuh dengan hiasan warna warni menarik perhatian bayi 4 bulan tersebut. Ia juga mengerjap-ngerjapkan matanya dengan luc
"Insya Allah, yakin! Bang Candra tidak akan ke sini lagi malam ini. Dia sudah terluka. Pasti dia takut sama Mas."Alan terkekeh. "Tapi, ngomong-ngomong kenapa dia tahu kamu tinggal di sini?" "Sebenarnya saat Bapak datang ke sini, Bapak ada memperingatkan aku kalau Bang Candra akan mencariku. Atau mungkin Bang Candra mengikuti Bapak diam-diam waktu itu hingga sampai di sini. Makanya dia bisa dengan cepat menemukan keberadaanku.""Lalu kenapa kamu tidak menceritakannya sama Mas?" Yulia mengatupkan bibirnya. "Maaf, Mas. Soalnya, aku pikir Bang Candra itu maaalahku sendiri. Maslaah dari masa laluku, tidak ada kaitannya dengan Mas, apalagi dengan Mbak Aira, aku tidak mau sa.pai membuat Mas dan Mbak Aira cemas dan malah berujung pada ketidakadilan untuk Mbak Aira."Alan memegang pundak Yulia. "Jangan pernah berpikir seperti itu lagi. Apapaun masalahmu, berarti masalah Mas juga. Mau itu masalah dari masa lalu atau masa sekarang. Semua tentangmu dan urusanmu itu sudah menjadi tanggung jawab
Dengan perasaan tak enak Aira berjalan dengan tergesa mendekati Yulia. Matanya ikut membulat sempurna saat melihat stroller bayi itu kini kosong. "Ya Allah! Cilla?" pekik Aira membuat pengunjung lain menoleh."Mbak, Cilla mana?" tanya Yulia semakin membuat Aira panik. "Aku ... Aku ....""Cillaaaa!". Yulia histeris dan berjalan sambil celingukan mencari anaknya itu. Aira masih terdiam, tubuhnya gemetar saking syoknya dia. Yulia terus berteriak mencari Cilla, lalu berkali-kali bertanya pada pengunjung lain sambil menyebutkan ciri-ciri Cilla. Vina datang dengan berlari. Ia menghampiri Aira yang matanya mulai memerah. "Ada apa, Ra?" Aira tersentak mendengar pertanyaan Vina. Ia langsung berhambur memeluk Vina dan menangis."Cilla hilang, Bu!" ucapnya sambil meraung histeris. "Hilang? Kenapa bisa hilang?" Vina membawa Aira mendekati Yulia. Dia sedang berbincang-bincang dengan salah satu pengunjung. "Apa?" tanya Yulia begitu Aira dan Vina berada di belakangnya. "Kenapa tidak ditah
Yulia berjalan dengan berjinjit-jinjit. Berkali-kali ia celingukan ke sekeliling, waspada kalau-kalau ada seseorang yang melihatnya. Ia tiba di tembok samping sebuah bangunan kecil yang terpencil. Ya! Dia datang ke kontrakan Candra. Entah kenapa, sejak Alan mengatakan kalau ternyata penculik itu sudah mengintai dari sebelum masuk ke dalam mall, dugaan Yulia langsung terarah pada Candra. Yulia mengendap-endap. Ia mengintip sedikit dari kaca jendela. Tidak ada siapa-siapa. Lalu Yulia beralih ke belakang dan kebetulan pintunya terbuka. Yulia ragu, apakah ia harus masuk atau tidak. Ia takut kalau ternyata pemilik kontrakan itu kini bukanlah Candra.Setelah berpikir beberapa saat Yulia beralih ke bagian depan. Dia harus memastikan lebih dulu kalau kontrakan ini masih digunakan Candra, belum berpindah tangan. Seketika suara tangisan bayi membuat tubuh Yulia langsung menegang. "Itu suara tangisan Cilla. Ya, aku yakin sekali. Berarti Cilla memang ada di sini. Ya tuhan, terima kasih," uca
"Maaas!" Aira langsung berlari mendekati Alan yang sudah tak sadarkan diri. "Mas bangun, Mas!" ucap Aira sambil terus mengguncang tubuh suaminya itu. Suara kekehan terdengar dari Candra. Pria itu tertawa-tawa walaupun masih terbaring lemas. "Bidikanku hebat, kan?" tanya Candra pada Yulia. Yulia berjalan dengan tertatih-tatih mendekati Candra dan kemudian meraih sapu. "Dasar pria gila! Pria jahat!" ucap Yulia sambil terus memukul Candra dengan sapu. Candra hanya bisa pasrah menerima pukulan yang tak seberapa itu. Hingga kemudian suara sirine mobil polisi terdengar, membuat Candra panik dan berusaha bangkit untuk melarikan diri. Namun Aira membantu Yulia untuk menahan pria tersebut. ---"Yul, kita makan siang dulu, yuk?" ajak Aira untuk kesekian kalinya. Tetapi yang diajak bicara sama sekali tak menggubris. Yulia terus saja melamun semenjak masuk ke rumah sakit. Aira masih terus menggendong Cilla dan dengan sabar membujuk Yulia. "Ayolah, jangan seperti ini, Yul. Lihat Cilla, di
"Yulia?" Yulia tersentak dari lamunan. Ia langsung tersenyum bahagia menyadari kalau semua ini ternyata bukanlah hayalannya saja."Iya, Mas?" jawabnya dengan nyaris menangis.Mendengar suara parau sang suami, membuat rasa rindu dalam hatinya semakin meronta-ronta. "Bagaimana kabarmu?" tanya Alan dengan lirih. Entah lemas atau sedih, Yulia pun tak bisa mengerti."Aku baik, Mas. Mas sendiri bagaimana? Sudah sembuh?" "Alhamdulillaah. Kenapa kamu tidak pernah datang ke sini?""Aku ... aku mau sekali datang ke sana, Mas. Tapi ...."Yulia menunduk. Bingung untuk melanjutkan ucapannya. "Ah, Mas mengerti. Jangan cemas, tidak lama lagi Mas juga pulang."Yulia langsung tersenyum lebar. "Benarkah?" Di rumah sakit, Alan tersenyum setelah mendengar nada suara Yulia yang terdengar lebih bersemangat. "Iya. Nanti di rumah, giliran kamu yang urus Mas, ya? Kasihan Aira sudah kecapekan di sini." Yulia berkali-mali menganggukkan kepalanya walaupun Alan tak dapat melihat itu. "Tentu, Mas. Aku akan m