"Kamu saja yang ke sana, Al? Aku harus ke kantor, banyak invoice terbengkalai kutinggal pergi lima hari?" ucapan Erland menyahuti ajakanku mengunjungi Arumi pagi ini.
"Temani Ghaazi bentar, kusiapkan sarapan." kuletakkan putraku di tempat tidur, agak ketengah. Khawatir dia akan berguling walaupun berapa hari ini masih tahap ancang-ancang.Sambil menyiapkan roti selai dan sosis panggang di oven, kupertimbangkan usulan suami untuk mengunjungi Arumi tanpa ditemani. Jika Ghaazi kubawa serta tentunya akan menghibur Om Jiwo dan tante Mia, karena setahuku baby Saloom Almeraa dan papa-mamanya sudah balik ke kota domisili mereka.Erland muncul di ruang makan menggendong Ghaazi yang terkekeh senang khas bayi dicandai papanya."Bagaimana kalau kesana ditemani sama mama? Kutelponkan beliau...""Tidak usah Mas, mama biar istirahat dulu. Sudah lima hari kami merecoki beliau?" tolakku cepat.Lima hari Erland pergi ke luar negeri maka selama itSepanjang obrolanku dengan tante Mia, jarum waktu barangkali sudah melampaui satu jam. Arumi masih betah berinteraksi dengan putraku, baby Ghaazi pun anteng saja.Percakapan ringan seputar maraknya kedua bayi sepantaran, Ghaazi dan Saloom yang menggemaskankami, kabar mertuaku yang pindah ke kota ini dan kondisi kesehatan bunda pun sempat ditanyakan oleh tante Mia. Baby Ghaazi yang mulai rewel segera kutitipkan ke assisten Arumi, sementara aku permisi ke tolilet BAK sekaligus untuk memompa ASI. Susu Formula juga kucadangkan karena bayi lelakiku belum kuberi MPASI. "Biar sebentar denganku?" Arumi berucap ketika baby Ghaazi kusodorkan ke arah Assistennya. Sejenak kuragu, tetapi tante Mia bergerak cepat ke samping Arumi."Tante di sini, kok?" ucapnya meyakinkan. Bukan apa-apa, aku khawatir Arumi tak bisa mengimbangi bobot bayiku bila memegangnya dengan tanggung."Baby Ghaazi lumayan berat lho, mama Arumi?" ucapku kikuk, meminta pengertian t
Putra Erland nampak menggemaskan di pangkuan Arumi. Awalnya aku tak mengenali, sedikit bingung melihat bayi selain Saloom Almeera begitu menggerakkan hati Arumi."Aih gemasss, siapa namamu baby boy?" kutowel pipi bayi yang bergerak kecil menendang udara. "Atthaya Ghaazi Satrio, mamanya sedang pompa ASI. He, mama Arumi kuat juga mangku kamu toh?" mamanya Fakih yang menjawab. Satrio. Bukankah itu nama belakang Erland? Hh, kenapa jumpa lagi dengan Alia disini? Padahal baru dua hari lalu melihatnya di ceremoni Ekspo Mom and Baby & Kid yang harus kulaporkan penyelenggaraannya ke redaksi. Beberapa foto bahkan sempat kubidik jarak jauh dengan lensa kamera. Fotonya tersenyum ditujukan ke Restu. Foto lain yang merekam bentuk perhatiannya menyodorkan kotak sarapan. "Hai," Sapaannya terdengar sopan dan hangat. Kuulas senyum tipis saja menanggapinya. Mama Fakih meninggalkan kami dan Arumi pun berkata ingin beristirahat. Assistennya meng
"Feysa usul kita ke Qatar pas event Piala Dunia. Kamu bisa cuti kan, Mer? Sekonyong-konyong Tyas menyodorkan rencana keren itu sepulangnya dari Singapura dan ketemuan Feysa di sana.Duh, berapa duit harus disiapkan untuk pergi ke negeri padang pasir itu? Tyas tidak masalah merogoh kocek sedalam itu, sedangkan Feysa sangat memungkinkan bila sahabatku itu menodong abangnya Restu dan kakak sepupunya Erland."Nggak ada cuan. Memang kalian mau patungan buat tiket dan akomodasi? Jadi aku cuma mikir uang saku nih?" lontarku meringis."Belum apa-apa dah minta sumbangan, apa nggak bisa kamu bikin proposal atau ngajuin diri meliput berita di sana?" sergah Tyas. "Mana bisa, aku bukan reporter olahraga. Lagian yang dikirim ke ajang bergensi PilDun tuh, pastinya senior yang punya jam terbang tinggi di dunia liputan dan berita ?""Berarti pending sampai kamu siap deh, kamu nabung dulu." Tyas berkata begitu kutanggapi pesimis. "Tyaaas.....mau
"Mau Kemana, Mas? " Alia bertanya melihatku bersiap hendak pergi dengan pakaian formil-atasan kemeja biru muda motif garis tipis."Ke Mercure, Al. Aku juga baru kebaca email dari Iqbal, dia sarankan aku menghadiri kegiatan workshop yang diselenggarakan oleh kementrian." sahutku sambil memperhatikannya dari pantulan cermin. Alia sedang meletakkan baby Ghaazi pada keranjang tidurnya. "Sampai jam berapa? Kalau pulangnya larut, kunci pintu kau bawa saja. Siapa tahu aku sudah tertidur saat kamu pulang?" "Oke," kuiyakan sambil mengecup pipinya, juga putraku yang sudah intens berinteraksi aktif menggunakan mimik yang ekspresif dan celoteh tak jelasnya. Setengah jam kemudian aku sudah meluncur di jalan raya menuju hotel Mercure. Kucoba lagi menghubungi Iqbal untuk mengkonfirmasi bagaimana akses masukku ke tengah acara, sedangkan aku belum sempat mendaftar workshop secara online terlebih dahulu. Di lobby hotel tidak terlihat meja reservasi pan
Suara mobil yang menderu memasuki halaman terbuka, membuatku menghentikan kesibukan, blender yang sedang melumat buah kumatikan. Nampak pada layar monitor cctv Erland keluar dari mobil. Tak lama kemudian sosok suami sudah membuka pintu dan masuk tanpa harus kudatangi menyongsongnya. Penghuni rumah bisa mengakses melalui sandi sidik jari atau sederet kata kunci yang dicadangkan.Rumah baru yang dilengkapi fasilitas modern ini baru seminggu kami tempati, kehadiran baby Ghaazi membuka keluasan rezeki hingga usia putranya genap setahun Erland menghadiahkan hunian idaman ini."Diminum dulu jus buahnya, Mas?" kuletakkan sebuah gelas berisi melon yg diblender bersama susu segar. Erland langsung asik dengan putranya yang sedang bergerak kesana kemari menggelindingkan kereta jalannya."Boleh kan , Al?" diicipknya setengah sendok ke mulut mungil baby Ghaazi yang lantas berkecap kesenangan."Kalau aneka buah tentu saja boleh, asal tidak terlalu kec
Hari kedua ditinggalkan hanya berdua dengan baby Ghaazi, kuputuskan mengajak putraku keluar rumah. Karena belum memungkinkan membawanya bermain di playground maka kupilih taman kota yang sore ini terasa sejuk.Baby Ghaazi kuangkat dari stroller dan kududukkan di atas rumput beralas tikar plastik daur ulang yang tadi dijajakan penjual. Wajah montoknya antusias tengadah memandangi langit nan cerah. Kusuapkan biskuit bayi untuk digigit merangsang gusi yang mulai menonjolkan gigi susu."Suka main di sini, sayang? Kalau nanti bisa jalan, Egha pasti seru berlarian seperti kakak-kakak itu?" kuajak putraku ngobrol sambil sekilas memperhatikan balita lain yang sudah bisa dituntun atau berlarian di lapangan berumput hijau.Bruukkk. Aaaaarrggh! Papaaaa!Aku sigap mengangkat putraku begitu stroller terjungkang. Kereta beroda tiga itu ditabrak oleh tubuh mungil yang tadi berlari, dan sekarang melengkingkan tangis sambil mencoba bangkit duduk. Baby Ghaazi yang
Malam turun semakin larut ditandai jarum waktu yang menunjuk pukul 22.40 WIB. Dengan cepat kuiris wortel dan kentang serta brokoli untuk racikan bubur baby Ghaazi esok pagi. Bahan sayur minimalis juga kusiapkan buat porsi sarapan. Tangkapan cctv di layar monitor memperlihatkan putraku nyenyak dalam ranjang tidurnya. Dua kamera cctv di rumah ini ditujukan untuk memantau depan rumah dan pojok kamar yang menampilkan aktivitas baby Ghaazi jika ia terbangun dari tidur. Kukembalikan kasur lipat dan kotak mainan ke dalam kamar serba guna, bermaksud menyapu dan ngepel lantai ruang tamu. Biar Besok sudah aman buat arena bermain putraku, entah kenapa tangan malah menggapai ponsel di meja.Beberapa file image yang masuk ke laman WatshApp, menghentikan aktivitas. Foto yang dikirim berupa bidikan zoom itu menampakkan pasangan lelaki dan wanita yang tengah makan malam, juga beberapa fose akrab di tepi kolam renang.Drrrtttt. Mode getar yang kuatur untuk pangg
Ternyata baby Ghaazi terus saja gelisah, bahkan dalam tidurnya. Suhu badannya sedikit di atas normal ketika diukur dengan termometer. Kuhalau kecemasan dengan banyak istigfar dan tak berselang satu jam putraku muntah.Tak bisa abai lagi, kukemas keperluan mendesaknya ke dalam tas ransel, mengambil dokumen asuransi kesehatan di laci dan memesan taksi online. Turun ke lantai bawah untuk mengambil susu formula dan MPASI.Pukul sebelas siang dokter jaga di IGD rumah sakit merekomendasi pemeriksaan lab. darah, kuiyakan saja karena baby Ghaazi kubawa ke rumah sakit setelah gejala panas disertai muntah. Tetap berada di rumah sendirian menghadapi kondisi itu hanya membuatku bertambah panik."Maaf ibu, jumlah trombosit dalam darah putra ibu turun di bawah seratus ribu. Kami sarankan dirawat supaya penanganannya intesif?" Dokter jaga memberi rekomendasi yang membuat tubuhku lemas. Kecemasan mulai melanda, juga bingung dengan gejala putraku itu."Sakit apa anak saya, Dok?" "Jika trombosit di baw