Setelah Raja Iblis dikirim kembali ke Sungai Akhirat-- Feng Huang pun menjentikkan jarinya untuk mengembalikan Kaisar Gao yang sedang terluka ke kapal yang ditumpangi oleh Shu Haocun dan keempat Tetua Sekte. Ia dan Jinlong tidak menghampiri para Kultivator di kapal itu, melainkan hanya melambaikan tangan saja dari atap Istana Jinlong. Di saat yang sama, Hong Hu juga berpamitan pada Feng Huang dan Jinlong untuk kembali ke rakyatnya yang masih berada di hutan perbatasan. Sepeninggal Hong Hu, Feng Huang dan Jinlong memutuskan untuk kembali ke Alam Langit demi menemui para Dewa dan Dewi yang selama lebih dari 500 tahun telah dibiarkan hidup tanpa Pemimpin mereka. ***Keesokan harinya, keadaan di Benua Zhejiang kembali seperti sedia kala. Di Istana Taiyang, dua Tabib Istana sibuk bolak-balik ke ruangan kerja Kaisar Gao untuk mengobati Kaisar mereka itu. "Bagaimana keadaan Yang Mulia?" tanya Gong Fai pada seorang Tabib yang baru keluar dari kamar pribadi Kaisar Gao.Tabib itu mengernyit
Suatu hari di puncak tertinggi benua Zhejiang... Ketenangan tiga Alam tiba-tiba terusik oleh hancurnya pembatas Alam Iblis. Bersamaan dengan itu Pasukan dari Neraka terdalam menyeruak keluar, beterbangan ke angkasa bak helai benang halus dandelion yang tertiup angin. Seperti sekelompok gagak yang sedang berburu mangsa. Dengan jubah hitam dan kulit yang beraneka warna... Pasukan Iblis yang dipimpin langsung oleh Raja Iblis, melakukan penyerangan ke Alam Langit demi merebut Tahta Penguasa Tiga Alam yang dipegang oleh Kaisar Langit Dewa Naga Emas Jinlong bersama Permaisuri Pheonik Api Feng Huang. Tiga Alam larut dalam pertempuran panjang, percik api beterbangan dan mengubah warna biru langit menjadi merah membara. Pasukan Langit dan Pasukan Iblis saling beradu senjata, para Dewa dan para Jenderal Iblis mencoba menjajal kultivasi milik lawannya. Tidak ada lagi ketenangan, bahkan di Alam Manusia yang ditinggali oleh para Kultivator dan juga penduduk biasa. Semua terkena imbasnya di saat
Lima belas tahun kemudian... Pagi hari keributan terdengar dari rumah salah seorang Bangsawan yang sangat terpandang di wilayah Zhejiang. Seorang gadis cantik berusia 15 tahun sedang duduk bersimpuh di lantai dengan sebagian tubuh atasnya basah terkena air yang telah disiramkan oleh Ibu tirinya padanya. Gadis belia itu bernama Yu Jie yang artinya giok yang indah, Yu Jie telah kehilangan Ibunya ketika ia berusia 5 tahun. Di hari pemakaman Ibunya... Ayahnya pulang ke kediaman dengan membawa seorang wanita dan seorang bocah perempuan yang usianya lebih tua 3 bulan darinya, juga ada seorang bocah laki-laki berusia 3 tahun. Tidak hanya itu, keesokan harinya wanita itu bahkan diangkat sebagai Nyonya kediaman. Dan pagi ini, setelah sepuluh tahun Li Mei menjadi Nyonya di kediaman Yu, untuk ke sekian kalinya Li Mei kembali menyiksa anak tirinya Yu Jie. Kecantikan Yu Jie membuatnya iri terhadap anak tirinya itu, hingga ia selalu menghukum Yu Jie atas kesalahan-kesalahan kecil yang tanpa seng
Usai menegur Chun atas ucapan yang baru saja dilontarkan oleh pelayannya itu kepadanya... Yu Jie pun membersihkan wajahnya dengan air hangat yang dibawakan Chun untuknya serta mengganti pakaiannya yang kotor. Ia membiarkan Chun merapikan rambutnya juga mengoleskan salep pada memar yang terdapat di kedua betisnya. Pelayan setianya itu mengoles dengan sangat hati-hati agar tidak menyakitinya. Meski begitu, pada wajah Chun... Yu Jie bisa melihat kalau Chun sedang menahan amarahnya. "Chun?" ia mencoba menegur Chun dengan lembut untuk meredakan kemarahan yang dirasakan oleh gadis belia itu yang usianya hanya terpaut satu tahun darinya. "Chun benar-benar tidak mengerti Nona." Chun mengangkat wajahnya, ia menatap Yu Jie dengan tatapan protes. Ia tidak mengerti mengapa Yu Jie selalu bersikap sabar kepada Ibu tirinya juga kedua Saudara tirinya. Padahal Yu Jie adalah Cucu satu-satunya yang diakui oleh Nyonya Besar. Yu Jie yang menerima tatapan itu hanya tersenyum kepada pelayan setianya. Jika
Beberapa saat kemudian di dalam kamar Nyonya Besar, Yu Jie yang baru saja memasuki kamar bersama Chun langsung memberi hormat ketika ia bertemu sang Nyonya Besar yang merupakan Nenek kandungnya sendiri. "Salam Nenek." Ia membungkukkan tubuhnya di hadapan Nyonya Besar setelah Chun melepaskan lengannya. "Chun, juga memberi salam kepada Nyonya Besar," ucap Chun mengikuti tingkah Majikannya sembari membungkuk lebih rendah dari Yu Jie. Melihat kehadiran Cucu kesayangannya bersama pelayan setianya, Nyonya Besar hanya menyunggingkan senyum di bibirnya, "Kalian berdua, berdirilah!" perintahnya dengan suara lembut. "Terima kasih Nenek." "Terima kasih Nyonya Besar." Yu Jie dan Chun menegakkan tubuhnya lalu melemparkan pandangannya pada wanita paruh baya yang sedang duduk di atas dipan. Meskipun wajah wanita itu telah tampak termakan usia, masih ada sisa-sisa kearifan yang terlihat di sana. Hal itu yang membedakan Nyonya Besar dari Li Mei. Nyonya Besar memiliki tata krama seorang Bangsawan
Selama hampir satu sichen dua kereta mewah dari Kediaman Yu terus berlari dengan kecepatan sedang menuju Istana Taiyang. Salah satu dari kereta tersebut ditempati oleh Yu Jie bersama Chun, sementara kereta lainnya ditempati Li Qui bersama pelayan setianya. Nyonya Besar sengaja tidak menempatkan Yu Jie dan Li Qui di dalam satu kereta, sebab ia tahu kalau Li Qui selalu iri terhadap Yu Jie dan kerap mengganggu Yu Jie tanpa sepengetahuan dirinya. Ia menerima laporan itu dari beberapa pelayan setia yang telah ia tempatkan di kediaman untuk menjaga Yu Jie secara diam-diam. Dan saat ini, dari dalam kereta yang membawanya menuju Istana Taiyang, Li Qui menyibak tirai jendela kereta yang berada di sisi kiri tubuhnya. Ia memperhatikan kereta Yu Jie yang bergerak di depan kereta yang ia tumpangi. Ada kecemburuan besar yang ia rasakan untuk Saudari tirinya itu yang pagi ini telah berhasil mendominasi perhatian Nyonya Besar hingga sang Nenek tidak memperhatikannya sama sekali ketika ia akan menin
Terlalu letih setelah menjalani pemeriksaan setengah hari ini, Yu Jie pun akhirnya terlelap. "Feng, Feng Huang!" Suara seorang pria tiba-tiba terdengar, suara itu sangat lirih menyapu indera pendengaran Yu Jie hingga ia mencoba untuk membuka matanya yang terasa berat. Di saat matanya telah terbuka lebar, Yu Jie seketika merasa bingung karena kini ia tidak lagi berada di dalam aula melainkan di sebuah tempat yang sangat asing. Tempat ini tampak seperti sebuah taman yang indah, bunga-bunga beraneka warna terhampar di depan matanya. "Feng Huang."Suara itu kembali terdengar, tetapi tidak ada seorang pun yang Yu Jie temukan di taman ini. Selain padang bunga dan kabut putih tebal yang membatasi jarak pandangnya. "Pheonikku, kemarilah!"Yu Jie mengangkat wajahnya, ia memicingkan matanya ke arah kabut tebal karena suara yang baru saja ia dengar seolah berasal dari dalam kabut tersebut. "Feng Huang? Aku adalah suamimu!" Seorang pria tiba-tiba menyeruak kabut, tubuh pria itu yang sedang m
Tatkala para Kasim Kekaisaran yang menjadi juri penilai uji bakat tengah kebingungan, di saat yang sama di wilayah barat Benua Zhejiang, di kaki bukit Gu Shan, tempat berdirinya Sekte Burung Api... Dua orang pria sedang berlari terburu-buru memasuki Sekte, melewati para murid Sekte yang sedang berlatih ilmu bela diri. Kedua pria ini adalah Ming Hao dan Guan Lin. Mereka merupakan murid senior dari Pimpinan Sekte Burung Api yang bertugas untuk mengawasi Yu Jie dari kejauhan atas perintah Shu Haochun. Setelah melintasi lahan tempat pelatihan dan memasuki aula Sekte Burung Api, akhirnya Ming Hao dan Guan Lin berhenti di hadapan Guru Besarnya yang tengah berdo,a pada patung Kaisar Langit. "Murid memberi salam pada Guru." Dengan mengatupkan kedua telapak tangannya di depan tubuhnya kedua pemuda yang baru berusia 18 dan 19 tahun itu membungkuk di hadapan Shu Haocun. "Mengapa kalian kembali?" lontar Shu Haocun datar tanpa membalikkan tubuhnya, ia melangkahkan kakinya ke arah altar sembahya