Suara beberapa orang pelayan mulai mengusik pendengaran Emma. Dia perlahan membuka matanya, cahaya diruangan itu menusuk matanya. Dia diam sembari berkedip menatap atap ruangan, berusaha mengumpulkan kesadarannya yang belum penuh.
“Kamu sudah sadar?” Suara seorang pria berhasil membuat nyawanya terkumpul seutuhnya. Dia sontak bangkit dari tidurnya dan mengarahkan pandangannya ke arah pemilik suara. “Kamu! Mau apa kamu?” Ucapnya dengan suara panik.
“Aku disini mengantar dia,” Mendengar ucapan Nathan sontak membuat Emma menoleh ke arah seorang pria berbadan tegak nan gagah yang berdiri di samping ranjangnya. Emma menyipit kan matanya, dia menatap pria itu dengan rasa familiar.
“Kamu … kamu yang beberapa hari lalu!?” Setelah mengatakan itu Emma memalingkan wajahnya. Dia mengatupkan kedua tangannya ke pipi. Dia berusaha menyembunyikan pipinya yang memanas, dia tersipu malu mengingat adegan ciumannya di kolam pemandian.
“Hem … ” Pria di sampingnya berdehem karena suasana diruangan menjadi canggung karena pertemuan mereka. "Huff … Emma membuang nafas berusaha menormalkan detak jantungnya yang sedari tadi berdegup kencang.
“Aku pergi dulu, ada urusan.”
“Hei!” Emma yang mengetahui Nathan telah pergi melirik pria di sampingnya. Kemudian Emma bangkit dari ranjangnya dia berlari sembari berkata, “Aku mau mandi dulu.”
Didalam Emma berendam dengan air hangat yang sudah disiapkan sebelumnya. Dia bergumam, ‘Kenapa dia disini? Atau … dia ingin aku bertanggung jawab?’
‘Tidak-tidak, ini adalah ciuman pertamaku seharusnya aku yang meminta pertanggung jawaban.’
‘Ah … sudahlah,’ Emma bergelut dengan pikirannya sendiri, dia merasa bingung bagaimana harus bersikap kepada pria tadi. Dia sendiri tidak bisa menahan pipinya yang memerah jika mengingat adegan ciuman di kolam itu.
'Aa … '
Erland yang merasakan sakit pada pergelangan kakinya segera masuk ke kamar mandi. Disana terlihat Emma yang terduduk dilantai tanpa sehelai kain pun. Pemandangan di depannya sontak membuat jantungnya berdebar kencang, “Berbalik, jangan lihat!” sontak dia berbalik sambil bergumam, ‘Untung saja terhalang pembatas.’
Dia menunggu Emma yang masih berusaha mengenakan bajunya, “Sudah selesai?” Erland bertanya karena dia ikut merasakan rasa sakit dikakinya saat Emma berjalan. Beberapa saat kemudian Emma membuka suara, “Aku sudah selesai.” Dengan suara malu-malu.
Erland bergegas menghampiri Emma. Dia meletakkan tangannya dipinggang Emma, tanpa menunggu persetujuan dia langsung mengangkat Emma dan membawanya keluar. Dia mendudukan Emma di tepi tempat tidur.
“Terima kasih,” Dia tidak menggubris ucapan Emma dan langsung mengambil obat dan membalut kaki Emma yang terkilir. Dia mengerutkan dahinya menahan sakit yang sama.
“Siapa namamu?” Emma berinisiatif membuka pembicaraan. Pria itu pun menjawab, "Panggil saja Erland" Emma tersenyum tipis sembari mengangguk. Dia berkali-kali meringis merasakan rasa sakit akibat kakinya terkilir.
“Sudah,” Ucap Erland dingin sembari mengembalikan kotak obat tersebut. Kemudian dia kembali berdiri di samping ranjang Emma untuk berjaga.
“Apa kamu bekerja disini?”
“Iya,” Jawab Erland singkat dengan terpaksa, dia merasa malas jika harus menjawab banyak pertanyaan namun dia sudah memilih jalan ini tidak ada pilihan lain. “Lalu kenapa Nathan membawamu kesini?”
“Aku ditugaskan menjagamu,” Ucapnya dingin, dalam hatinya berkata, ‘Jika hidupku tidak bergantung padamu maka, aku sudah membunuhmu sejak awal.’ Sambil mengepalkan tangannya menahan kesal.
“Namaku Emma,” Ucapnya sambil tersenyum. Erland yang melihat senyum indah mekar di wajah cantik Emma membuat wajahnya memanas. Dia memalingkan wajahnya, dia memegang dadanya, ‘Berhentilah berdegup kencang,’ Gumamnya lirih.
“Apa kamu juga dipaksa masuk kesini?” Mendengar pertanyaan Emma, dia hanya mengangguk sebagai jawaban. Dia tidak berbohong karena memang dia terpaksa. Kemudian Emma melanjutkan perkataannya, “Kita sama, aku juga dipaksa masuk kesini. Ayahku mengorbankan ku pada si bajing*an Tamsos Karalius itu.”
Mendengar ucapan Emma, Erland sontak mengepalkan tinjunya sembari melirik tajam ke arah Emma. Dia berusaha menahan kesal karena dia di sebut bajing*an oleh seorang gadis muda.
“Jika saja Iblis itu tidak mengaku sebagai Dewa, aku dan para gadis lainnya tidak akan terpenjara ataupun mati sia-sia disini. Memang Si Iblis tua jahat!” Ucap Emma mengutuk Erland.
“Andai saja para warga tahu dia hanyalah Dewa gadungan.” Tambah Emma.
‘Kamu!’ Batin Erland sangat kesal, dia menatap tajam Emma sembari memegang erat pedang yang tergantung dipinggangnya. Sorot matanya seolah ingin sekali memakan gadis didepannya itu. Namun dia sebisa mungkin menahan diri.
‘Jika kutukan ini lepas aku akan langsung memakan mu!’
Dua minggu kemudian …. ‘Hah … bosan sekali,’ Gerutu Emma yang duduk di tepi tempat tidurnya sembari mengerucutkan bibirnya. Tak berapa lama dia merebahkan dirinya ke kasur, dia merengek seperti anak kecil yang ingin mainan. “Ah … aku bisa mati kebosanan.”“Lebih memilih menghilangkan rasa bosan atau nyawamu,” Ucap Erland dengan nada datar tanpa ekspresi. Emma yang mendengar perkataan mengerikan keluar dari mulut Erland langsung mengeluarkan lirikan mautnya. Kemudian dia menjawab nada ketus, “Aku tidak mau memilih.”“Hah … ” Erland menghela nafas berusaha menahan kekesalannya menghadapi Emma. ‘Tahan Erland, bersabarlah setelah kutukan lepas kamu bisa menyingkirkannya,’ Batin Erland yang sedang berusaha menguatkan dirinya menghadapi gadis gila yang menentukan hidupnya.“Ikut aku,” Ucap Erland sembari melangkah keluar kamar meninggalkan Emma yang masih berbaring di atas kasur.“Kamu mau mengajak ku kemana?” Emma mengekori Erland yang berjalan didepannya. Dia mengangkat gaun bagian depan
Setelah mimpi panjang akhirnya, Emma membuka matannya. Dia memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing sembari berusaha bangun dari tidurnya. Kemudian dia merasakan sebuah kain melilit keningnya, ‘Em … apa ini?’ Gumamnya sembari melirik kain putih tersebut.“Kamu sudah bangun?” Ucap seorang pria yang sedang berjaga di samping ranjangnya. “Nathan?” Ucapnya dengan sembari menatap wajah Nathan yang sedang tersenyum ramah. Kemudian dia menelusuri seluruh ruangan seolah sedang mencari sesuatu. “Dimana Erland? Apa dia baik-baik saja?” Tanya Emma dengan wajah khawatir.“E-Erland?” Nathan mengulangi nama yang Emma sebut dan dijawab dengan anggukan oleh gadis itu. ‘Dia tidak mengganti namanya saat menyamar,’ Batin Nathan sambil tersenyum canggung dengan kepala menunduk. Kemudian dia mengangkat kepalanya dan membatin, ‘Kak kamu tidak mengerti atau memang bodoh?’ “Dia baik-baik saja, dia sedang berada di ruangan Tuannya.” Ucap Nathan sembari tersenyum kepada Emma.‘Em … dia sedang menemui S
Setelah kejadian itu, Erland membawa Emma kembali ke kamar. Dia membantunya mengompres bekas tamparan yang masih memerah. Dia menatap Emma yang tertunduk sehabis menangis, kerutan di dahinya tak kunjung hilang, rasa kesalnya juga semakin besar kala melihat Nathan yang berjalan dengan santai melewati kamar Emma.‘Nathan! Menjaga satu gadis lemah saja tidak bisa.’ Batinnya sembari terus menekan kain berisi es yang menempel di pipi Emma.“Em … sakit." Gumamnya kala tangan Erland menekan pipinya terlalu keras.Emma mendongak, dia menetap Erland yang melamun menatap pintu keluar. Kemudian pandangannya beralih pada wajah Erland, matanya melotot kala melihat pipi kiri pria di hadapannya juga merah seperti miliknya. Tangannya terulur membelai lembut pipi merah Erland. “Apa yang kamu lakukan?”Emma tersentak dan segera menarik kembali tangannya setelah melihat Erland yang menoleh padanya. Dia tertunduk sejenak menyembunyikan pipinya yang memerah karena malu. Kemudian dia memberanikan diri unt
Erland berlarian menyusuri lorong Kastil, dengan panik dia memeriksa seluruh ruangan. Sayangnya, gadis yang dicari tidak ada dimanapun. Dia terpaksa menghubungi Nathan lewat telepati untuk membantunya menemukan keberadaan Emma.Cukup lama dia mencari diseluruh Kastil hingga dia bertemu dengan Nathan, "Bagaimana?" Tanya Erland dengan nafas terengah-engah. Dia semakin khawatir saat Nathan menggelengkan kepalanya, dia juga sudah mengerahkan seluruh bawahannya tapi, tidak ada satupun yang melihatnya.'Joana.'Erland teringat bahwa dia satu-satunya orang yang tidak menerima kehadiran Emma. Erland lantas berlari ke kamar Joana, sesampainya disana, tanpa permisi dia membuka kamar Joana dengan keras. "Joana dimana dia?""Dia? Dia siapa? Siapa yang kamu cari?""Joana jangan berpura-pura!" Bentak Erland sembari menarik tangan Joana dengan kasar. Dia menatap Joana dengan sorot mata tajam seolah siap menyergap mangsanya."Aku tidak tahu siapa yang kamu maksud!" Ucap Joana menaikkan intonasinya. "
Sang surya telah muncul dan memberikan kehangatan, cahaya terangnya masuk menembus Goa tempat Emma dan Erland berada. Perlahan Erland membuka matanya karena merasakan kehangatan cahaya yang bersinar ke arahnya. Dia menoleh menatap wajah damai Emma yang sedang tidur dalam dekapannya. Semalaman dia tidur sembari memeluk Emma yang kedinginan. Dia merasa ada perasaan aneh yang terus berputar di hatinya, perasaan yang hanya muncul ketika dia berada di dekat Emma.'Erland, to-tolong aku, a-aku tidak ingin mati.'Erland tertegun sejenak setelah mendengar Emma mengigau dan memanggilnya. Sesaat kemudian, dia menunduk sembari mengehela nafas. 'Emma aku tidak ingin tapi, jika tahun ini tidak ada persembahan maka aku ... aku akan menggila kehilangan kendali.'Emma perlahan membuka matanya, hal pertama yang dia lihat pagi ini adalah wajah tampan Erland. Dia tersenyum tipis sembari berusaha menggerakan tangannya sayangnya, tubuhnya yang sangat lemas membuatnya tidak bisa bergerak bak orang yang lu
"Erland, lepaskan!" "Erland sakit!" Joana berteriak di sepanjang lorong menuju kamarnya, dia berkali-kali meronta berusaha melepaskan genggaman Erland. Sayangnya, meski dia mengerahkan seluruh tenaganya tangan Erland tak bergerak sama sekali dari tempatnya. Tulangnya terasa sedikit ngilu merasakan genggaman Erland yang sangat erat dan penuh emosi. Sesampainya di kamar dia dilempar ke tempat tidur hingga tersungkur, dia bangkit dan berdiri tepat di depan Erland sembari memasang wajah seolah tidak bersalah. Dia berkata dengan intonasi tinggi, "Apa yang kamu lakukan?" "Untuk apa kamu mencelakainya hingga seperti itu?" Tanya Erland sembari berusaha menahan amarahnya. "Apa yang aku lakukan? Aku tidak melakukan apa-apa padanya." "Jangan berbohong Joana!" Bentak Erland dengan keras. "Jelas-jelas dari gejalanya dia keracunan Buah Peri!"Tambah Erland sembari menunjuk ke luar. "Aku tidak tahu!" "Joana!" "Diamlah! Apa kamu selama ini tidak pernah merasakan cintaku padamu?!"
"Bukankah dia bersamamu?"Nathan menatap Erland dengan wajah kesal, dia ingin sekali memarahi kakanya yang dia anggap orang bod*h itu. 'Ceroboh sekali, bagaimana bisa dia meninggalkan Emma sendiri tanpa pengawasan.' Batin Nathan sembari menunduk dengan tangan yang mencubit pangkal hidungnya.Tiba-tiba Erland berlari menyusuri lorong sepi yang berakhir di depan kamar Joana. Dengan keras dia membanting pintu kamar Joana yang tertutup rapat. "Joana!" Teriaknya sembari melangkah masuk."Ada apa?" Tanya Joana yang keluar dari kamar mandi dengan rambut basah yang tergerai.Erland melangkah dengan mantap mendekati Joana, dia mengenggam erta pergelangan tangan Joana dan menyeretnya. Dia melemparnya ke tempat tidur dan menindihnya lalu berkata, "Kamu sembunyikan dimana Emma!""Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.""Joana! Jangan berbohong.""Erland! Minggir," Teriaknya sembari mendorong tubuh Erland menjauh. Dia bangkit lalu berkata, "Apa kamu lupa? Kamu mengurungku disini lalu bagaimana aku bisa
"Apa salahku kali ini?"Joana berlutut di lantai kamar Emma, tinjunya mengepal erat gaun yang dia kenakan menahan rasa kesal dan cemburu sekaligus. Dia menunduk menghindari berkontak mata dengan Erland yag sedang duduk di tepi tempat tidur Emma. "Berdiri!" Ucap Erland dingin.Joana lantas menuruti apa yang Erland katakan, dia berdiri namun, tetap dengan posisi kepala menunduk. "Tatap wajahku," Ucapan Erland membuatnya sedikit terkejut, dia memegang erat gaunnya dan mengangkat kepalanya menatap Erland."Wajah ... itu, ada apa dengan wajahmu?" Ucap Joana dengan panik."Lalu lihat wajahnya."Joana melotot kala melihat luka yang berada di wajah Emma sama persis dengan milik Erland. Dia menutup mulutnya tidak percaya dengan apa yang terjadi, "A-apa yang terjadi?" Ucapnya sembari mengalihkan pandangannya menatap Erland.Erland bangkit dan mendekati Joana lalu berkata, "Hidupku terhubung dengan hidupnya, semua yang dia terima aku juga menerimanya. Kami terhubung oleh Kutukan Penyatuan Jiwa.