"Domba Keriting, jangan nakal! Ayo pakai kalungmu! Kamu sudah kupilih untuk menjadi pemimpin. Kamu perlu ini supaya teman-temanmu mau menurut, dan supaya aku lebih mudah mengenalimu. Domba Keriting!" Summer berlari sambil melambai-lambai. Di tangannya, tergantung seutas tali yang telah diikat dengan sebuah lonceng. Entah karena takut pada bunyi gemerincing atau suara si gadis kecil, domba yang diincar terus menjauh. Alhasil, mereka berdua lari berputar-putar pada arena di dalam pagar. "Summer, berhentilah mengejar domba malang itu! Apakah kau tidak kasihan padanya? Dia ketakutan. Kalau dia stres, bulunya bisa rontok nanti." Bukannya mendengarkan, Summer malah berlari lebih kencang. Tawanya yang bergema menggelitik semua hati yang mendengar. "Tidak, Mama. Domba itu adalah calon pemimpin kawanannya. Dia tidak boleh takut menghadapi apa pun. Dia harus tegas dan pemberani. Karena itu, dia harus memakai kalung. Ini adalah lambang keberaniannya. Domba Keriting!" Sambil meng
"Ini ...." Emily menarik napas dalam-dalam. Matanya tidak bisa lepas dari nama si pengirim pesan. "Apakah ini Prince—maksudku Cayden? Karena dia tidak bisa memberitahuku secara langsung, dia terpaksa menghubungiku lewat email?" Dengan mata berkaca-kaca dan hati yang penuh harap, Emily membuka pesan. Saat itulah, jantungnya berdebar hebat. Paru-parunya mendadak penuh dengan emosi yang didominasi oleh kegembiraan. Cayden Evans melampirkan sebuah gambar! Pada badan teksnya, terdapat sebuah kalimat, "Fotografi human interest telah menjadi favoritku sejak foto ini." "Ini jelas kata-kata Prince. Tidak salah lagi. Ternyata dia memang benar-benar Cayden! Lalu apa ini? Mungkinkah ...." Emily menelan ludah. Dengan jemari yang gemetar, ia mengunduh file. Begitu gambar ditampilkan, ia cepat-cepat menutup mulutnya. Seiring dengan desah tawa, keharuan menetes dari sudut mata. Itu adalah foto dirinya yang berumur empat tahun di peternakan kuda! Foto yang diambil oleh Cayden tanpa sepengetah
"K-kau siapa?" tanya Emily dengan suara tercekat. Sekujur sarafnya menegang. Ia seperti sedang melihat hantu di depannya. Mengetahui ketakutan sang gadis, pria bertopeng itu kembali bersembunyi dalam bayang-bayang. Saat itulah, Emily dapat melihat jalannya yang pincang meski telah dibantu oleh sebuah tongkat. "Apakah aku menakutimu?" Pria itu menunduk. Sebelah tangannya terangkat memastikan bahwa topengnya terpasang dengan benar. "Maaf, aku tidak bermaksud begitu. Kalau saja aku tahu kau tidak sanggup melihatku ...." Pria itu mendesah berat. "Aku seharusnya tidak menepati janjiku untuk menemuimu." Emily berkedip bingung. Matanya enggan berpaling dari sang pria. "Kau yang mengirimiku email itu? Kau ... sungguh Cayden?" Sang pria meruncingkan telunjuk. Alih-alih menjawab, ia malah masuk dan kembali bersama sebuah kotak berukuran agak besar yang tampaknya berat. "Apa itu?" tanya Emily was-was. "Kau sudah bersusah payah datang kemari. Sangat disayangkan kalau perjalana
Semakin lama Emily memikirkan Prince, semakin banyak duri yang tumbuh di hati. Ketika ia tidak tahan mengatasi nyeri, tangannya terangkat mencengkeram dada. "Tapi itu tidak seperti sandiwara. Aku merasa dia tulus—" "Itu hanya akal-akalannya saja, Emily. Dia mahir melakukan itu. Kalau tidak, bagaimana mungkin dia berhasil menggaet banyak perempuan di luar sana? Dia berpura-pura menjadi diriku." Sementara Emily terjebak dalam kebingungan, Cayden berkata lembut, "Prince yang bersamamu selama beberapa hari terakhir ini palsu. Dia hanya sedang berusaha memenuhi misi terakhirnya untuk menghancurkan hidupku. Dia tahu betapa pentingnya dirimu bagiku. Dia ingin merebutmu, memilikimu seutuhnya sehingga aku patah." Emily tanpa sadar menggelengkan kepala. Ia masih kesulitan mencerna informasi yang terlalu mengejutkan baginya. "Kau adalah motivasiku untuk bertahan, Emily. Kalau sampai kau jatuh dalam pelukannya, aku tidak bisa membayangkan hidupku akan menjadi seperti apa. Aku tidak pun
"Cayden Evans?" Summer menyipitkan mata. Kedua tangannya masih menempel di pinggang. "Aku tidak pernah mendengar nama itu. Siapa kamu, Cayden Evans?" "Aku seorang fotografer yang telah mengenal Emily jauh sebelum ibumu mengenalnya. Kami sudah lama terpisah, tapi baru sekarang kami bisa bertemu lagi. Aku bahkan bisa ada di NZ karena mengikutinya." Bibir Summer mengerucut. Pipinya sedikit menggembung. "Apa buktinya kalau kau teman Bibi Emily?" Prince berlari mengambil kameranya. Ia tunjukkan foto dirinya dan Emily di Mont Saint Michel. Summer pun memperhatikan dengan saksama. "Laki-laki ini tampak sepertimu," gumamnya sembari membandingkan. "Mata, hidung, mulut. Kurasa ini memang dirimu. Kau juga terlihat akrab dengan Bibi Emily. Kalau begitu, sekarang aku percaya kau berteman dengan Bibi." Merasa gemas, Prince mengelus kepala Summer. "Kalau begitu, bisa tolong kau panggil Emily sekarang? Ada hal penting yang perlu kubicarakan dengannya." "Bibi tidak ada di sini, Tuan. Dia
"Emily ...." Prince tampak senang telah menemukan Emily. Namun, melihat siapa yang berdiri di belakang sang gadis, wajahnya berubah cemberut. Ia cepat-cepat menghampiri. Sayangnya, pria bertopeng maju ke depan Emily. Sambil mengacungkan tongkat ke arah Prince, ia menggertak, "Jangan mendekat!" Kemudian, ia menoleh tipis ke balik pundaknya. "Jangan takut, Emily. Aku akan melindungimu." Prince mendengus mendengar itu. Sambil memiringkan kepala, menatap gadis yang mengintip di belakang musuh, ia berkata lembut, "Nona Harper, cepat kemari. Menjauhlah dari laki-laki itu. Dia pembunuh." Alis Emily berkerut. Ia terjebak lagi dalam kebingungan yang membuatnya mematung. Siapa yang harus ia percaya? Prince atau "Cayden"? "Nona Harper?" Suara Prince menggetarkan hati Emily. Selang satu helaan napas, ia akhirnya buka suara. "Kalian berdua, bisakah kalian berdamai saja? Kalian bersaudara. Kalian tidak seharusnya bermusuhan." Prince terbelalak menatap Emily. "Kau bilang kami berdua ber
"Emily, ayo pergi dari sini!" desak pria bertopeng sambil menariknya pergi. Akan tetapi, Emily enggan bergerak. Ia sama sekali tidak bergeser dari posisi. "Kau mau meninggalkan Prince sendirian di sini? Dia bisa mati!" "Tidak usah pedulikan dia. Luka tembak itu sudah biasa baginya. Dia hanya berpura-pura kesakitan demi mendapatkan simpatimu." Emily mendesah tak percaya. Ia menarik lengannya dari genggaman "Cayden", berbisik, "Tidak. Aku tidak bisa meninggalkannya sendirian." Emily kembali membungkuk, membantu Prince berdiri. Namun, lagi-lagi, ia dihalangi. "Emily, dengarkan kata-kataku. Ikut aku dan tinggalkan laki-laki ini." "Dia adikmu, Cayden! Meskipun benar dia pernah mencelakaimu, kau tidak berhak membunuhnya. Di mana nuranimu?" timpal Emily dengan suara serak. Hidungnya kembang-kempis mengimbangi emosi. Sementara Cayden mendesah tak percaya, Emily kembali memperhatikan pria yang masih menekan luka. "Ayo, Prince. Jangan sampai kau kehabisan darah." "Kau le
"Cayden berjuang sekuat tenaga untuk menyelamatkanmu. Dia bahkan membahayakan nyawanya sendiri, tapi kau malah memasrahkan diri di hadapan pembunuh itu? Kau seharusnya lari menyelamatkan hidupmu! Tapi apa yang kau lakukan di sini?" Emily tertunduk sembari mengepalkan tangan. Ia tidak perlu bertanya siapa wanita yang berani menampar dan memarahinya. Ia tahu. Itu pasti Grace Evans. "Aku tidak bisa meninggalkan Cayden sendirian di sini," gumamnya lirih. "Memangnya apa yang bisa kau lakukan dengan tetap berada di sini? Lukanya bisa sembuh sendiri? Kau hampir membuat pengorbanannya sia-sia. Kau beruntung kami tiba tepat waktu. Kalau tidak? Kau mau Cayden terbangun dalam penyesalan dan kemarahan yang teramat besar?" Tiba-tiba, Emily menegakkan kepala. Matanya berbinar kecil memantulkan harapan. "Cayden pasti akan bangun, kan? Dia pasti sembuh dan sehat lagi?" Grace menghela napas tak percaya. Ia sudah mengomeli Emily panjang lebar. Namun, hanya bagian itu yang dicerapnya? "Aku