Publik gempar saat Emily Harper menolak lamaran dari Brandon, pengusaha muda idaman semua wanita. Lelah menghadapi komentar orang-orang, pewaris Savior Group itu nekat kabur ke negara lain. Tanpa satu pun pengawal, tanpa satu pun orang yang menjaganya. "Jangan bertingkah seperti anak-anak, Emily. Berhentilah menunggu Cayden. Bocah dari 23 tahun yang lalu itu pasti sudah lupa padamu. Sekarang juga cepat pulang! Jangan sampai musuh kita mengambil kesempatan ini untuk menculikmu!" Gawatnya, Emily tidak mengindahkan peringatan itu. Ia mengira dirinya aman hingga akhirnya ia sadar. Seseorang telah memasukkan obat tidur ke dalam minuman yang baru saja dihabiskannya itu! Bagaimana nasib Emily selanjutnya? Adakah seseorang yang bisa menyelamatkannya dari situasi genting tersebut?
View MoreSetibanya di sebuah peternakan, Emily langsung mengetuk pintu. Jantungnya berdebar hebat selagi menunggu. Ia tidak yakin bagaimana harus menyapa atau bertanya. Otaknya terlalu penuh dengan rasa takut dan cemas. Saat pintu terbuka, punggungnya tidak bisa lagi bertambah tegak. Kedua tangannya terkepal erat di sisi badan, sesekali meremas celana. "Sky?" sapanya spontan begitu seorang wanita muncul dari dalam. Namun, menyadari bahwa sosok di hadapannya itu bukanlah seorang gadis muda melainkan wanita paruh baya, ia cepat-cepat meralat. "Nyonya Hills." Alice Hills pun terperangah. Matanya berkedip-kedip mengamati wajah Emily. Sesekali ia melihat ke arah langit, memastikan bahwa hari memang sudah gelap. "Emily? Apa yang kau lakukan di sini malam-malam begini?" desahnya lirih. Emily tersenyum tipis. Ia sadar pelupuknya telah memanas. Air mata pasti telah membutir di situ. "Maaf mengganggumu malam-malam begini. Aku sebenarnya berencana untuk datang besok pagi. Tapi ada hal penting
"Quebracha adalah perusahaan properti?" gumam Emily setelah membaca website dari perusahaan tersebut. Sambil berkedip-kedip, ia mengumpulkan memori. Saat itulah, suara Cayden kecil terngiang dalam benaknya. "Perusahaan keluargaku bergerak di bidang properti. Karena itulah, aku tertarik pada bangunan. Aku ingin mengikuti jejak ayah dan pamanku. Tapi sepertinya, aku akan lebih fokus ke desain interior nanti." Emily mendesah lirih. Ia sudah sering mencari informasi mengenai perusahaan properti di T City. Ia juga pernah membaca tentang Quebracha sekilas. Karena tidak menemukan nama Cayden, ia melewatinya. Namun kini, ia tidak mau lagi gegabah. Dengan petunjuk dari Jasper, mustahil ia rela membiarkan Quebracha lolos dari pantauannya. "Apa yang membuat keluarga itu menghilang? Mungkinkah karena perebutan kekuasaan? Tapi kenapa mereka benar-benar lenyap dari peredaran?" Emily pun melakukan pencarian lain di ponsel. Sayangnya,
"Nona Cantik, tidakkah kau lihat? Dia jelas bukan dari kalangan atas. Dia bukan pebisnis seperti kita. Aroma miskinnya bahkan begitu kentara sekalipun kau sudah berusaha untuk menutupinya dengan pakaian mahal." Jasper melirik Prince dengan tatapan meledek. Melihat itu, wajah Emily berubah cemberut. Namun, saat ia hendak bicara, Prince menyela. "Mengapa Anda bisa menilai saya miskin, Tuan? Kalau bukan dari tuksedo ini, apakah dari pakaian yang saya kenakan di pesawat?" Gaya bicaranya santai. "Itu terpancar jelas dari wajahmu. Apakah kau tidak pernah bercermin? Kau terlihat lusuh." Tanpa terduga, Prince mendengus. "Kalau begitu, Anda bicara tidak berdasarkan fakta ataupun data. Itu hanya asumsi Anda. Apakah karena Anda iri?" Jasper tersentak. "Apa kau bilang?" "Aku punya kehidupan yang fleksibel. Tidak ada bisnis yang perlu kuawasi. Aku bisa bebas berekspresi. Meskipun hanya mengandalkan royalti, hidupku sudah lebih dari cukup dan terasa berarti." "Bukankah itu artinya kau mi
Selang satu anggukan, Jasper pergi lebih dulu ke lift. Tampak jelas bahwa dirinya memang pemilik hotel. Sementara itu, Prince berbisik, "Kau yakin mau memenuhi undangan laki-laki itu? Dia bisa saja mengetahui identitasmu, dan kalau ada orang yang mengenalimu di ruang makan, kita bisa viral. Seluruh dunia bisa gempar kalau mereka tahu kau punya calon suami sepertiku." "Tenang. Kita berada di negara paling terisolasi secara geografis di muka bumi. Tidak akan ada yang mengenaliku. Sekarang yang terpenting adalah membungkam mulut pria sombong itu. Aku paling tidak suka kalau seseorang membuatku malu." "Dia meremehkan aku. Kenapa kau yang malu?" Mata Prince menyipit. Emily membalas tatapannya dengan mata bulat. "Apakah kau lupa? Kau sedang berperan sebagai calon suamiku. Dengan dia menghinamu, itu artinya dia menghina seleraku. Aku tidak bisa membiarkan itu. Sebelum melanjutkan misi, aku perlu memberinya pelajaran terlebih dahulu." Sementara Prince tersenyum simpul, Emily menepuk-n
"Apakah sakit? Dia mencengkeram pergelangan tanganmu begitu erat tadi," tanya Prince dengan suara yang sangat lembut. Emily pun melirik. Prince ternyata sedang memeriksa tangannya dengan teliti. Ia sama sekali tidak seperti sedang berakting. Di kursi lain, seorang pria sedang mengamati mereka dengan tatapan iri. Rautnya masam, bibirnya mencibir. Tiba-tiba, Prince mengecup pergelangan tangannya. Emily pun tersentak. Matanya melebar. Hatinya seketika memanas. Ia merasa Prince mencuri kesempatan. Namun, melihat senyum tulus di wajah tampan itu, omelannya tertahan. "Kenapa tidak kau tinju saja mukanya? Kau terlalu baik saat melawan. Lain kali, jangan hanya menggertak. Hajar saja setiap laki-laki yang kurang ajar padamu. Mengerti?" Emily berkedip-kedip menahan air mata. Bibirnya gemetar. Gejolak dalam hati yang sempat reda kini kembali bangkit. Namun, ia tidak mau membahasnya. Penyamaran mereka bisa terbongkar kalau mereka bertengkar. "Kaulah yang terlambat datang. Kau seharusnya
"Maaf, saya sedang ingin sendiri. Saya harap Anda bersedia memberi saya ruang. Terima kasih," tutur Emily, dingin dan cenderung ketus. Sayangnya, hal itu justru membuat si pria asing merasa tertantang. "Karena itukah Anda bepergian seorang diri?" Ia menaruh tangan di atas meja Emily. Sambil bersandar, ia memainkan alis. "Jarang ada wanita seberani Anda, Nona. Saya salut pada Anda." Emily memutar bola mata. Ia benar-benar malas menanggapi pria itu. Sambil membawa tablet dan bukunya, ia bergeser ke kursi Prince. Namun, tepat ketika ia hendak meraih tas, si pria asing sudah lebih dulu menempati kursinya tadi. "Hei? Kenapa kau duduk di kursiku?" Emily tidak lagi menaruh respek. Tatapannya berubah sinis. Bukannya merasa bersalah, sang pria malah bertopang dagu dan memperhatikan wajah Emily dengan senyum tipis. "Bukankah ini yang kau mau? Kau sengaja bergeser untuk memberiku tempat di sampingmu." Sudut bibir Emily berkedut jijik. "Tolong jangan macam-macam. Aku tidak akan se
"Kau tahu?" Prince berbisik di sela desah napasnya yang menggoda. "Aku sudah berusaha menahan diri sebaik mungkin, tapi kau terus mendesakku untuk melewati batas." "Apa?" balas Emily lirih. "Apa yang membatasimu untuk mendekatiku? Apa yang membuatmu ragu?" Prince menyelami manik abu Emily dengan tatapan sayu. Ibu jarinya mengelus pipi sang gadis dengan lembut. "Bisakah kau bersabar?" Emily mendengus. Sambil memalingkan pandangan, ia menyibak tangan Prince dari lengannya. "Kenapa kau terus memintaku bersabar? Aku benar-benar sudah lelah, Prince. Aku tidak bisa lagi menahan rasa penasaranku lebih lama. Kenapa kau tidak mengaku saja bahwa kau adalah Cayden?" Prince menggertakkan geraham. "Aku tidak bisa. Aku bukan—" "Kau Cayden, kan?" desak Emily, dengan raut paling serius. Prince menelan ludah pahit. "Maaf, Nona Harper. Tolong jangan menganggapku Cayden." Emily sontak melayangkan pukulan ke arah Prince. Beberapa kali ia menghantam dada bidang itu dengan kepalan ta
"Kau belum mau tidur?" tanya Prince membuat Emily semakin gugup. "B-belum. Pekerjaanku masih banyak dan aku belum mengantuk. Kau tidur saja dulu." Emily melirik malu-malu. Prince pun mendesah samar. "Baguslah. Dengan begitu, kita bisa gantian berjaga. Bangunkan aku kalau kau sudah mau tidur." Kecanggungan Emily seketika tergantikan oleh keheranan. "Bukankah di sini aman? Untuk apa kita gantian berjaga?" "Ada baiknya kalau kita tetap waspada. Jangan lengah, mengerti? Segera bangunkan aku kalau ada sesuatu yang mencurigakan." Emily mengangguk kecil. Kemudian, sementara Prince mengatur posisi berbaring, ia berpura-pura fokus pada tabletnya. Setelah pria itu terpejam, barulah ia berani menoleh. "Bagaimana mungkin dia bisa bersikap sesantai itu? Apakah kejadian tadi sama sekali tidak berdampak padanya? Apakah karena dia sudah sering mencium—menyentuh bibir para gadis?" pikir Emily, sedikit kesal. Tiba-tiba, matanya tertuju pada bibir Prince. Tangannya tanpa sadar bergerak meny
"Nona Harper? Ada apa? Nona Harper?" Prince kebingungan melihat Emily berlari sembari menutup mulut. Tanpa menunggu jawaban, ia ikut berlari, mengejar hingga ke depan toilet. "Nona Harper? Kau baik-baik saja?" Prince mengetuk. Ternyata, pintu tidak tertutup rapat. Khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Emily, ia pun ikut masuk. Di dalam, Emily sedang terbatuk-batuk. Beberapa kali ia meludah. Tangannya yang mencengkeram botol minum tampak gemetar, takut. "Nona Harper, apa yang terjadi? Apakah ada sesuatu yang aneh di dalam makananmu?" Prince meraih pundak gadis yang membungkuk itu. Emily bergegas mengelap mulut. "Udang .... Ada udang dalam bola-bola itu." Sementara Emily kumur-kumur, Prince membeku. "Kau alergi udang?" bisiknya ketika mendapat kesimpulan. Emily mengangguk. "Apakah biasanya reaksimu parah?" Prince memperhatikan wajah Emily dengan lebih saksama. "Aku pernah dilarikan ke IGD saat berumur dua tahun dulu," jawab sang gadis sebelum mengecap-ngec
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.