Share

Pengawal Misterius Nona Pewaris
Pengawal Misterius Nona Pewaris
Penulis: Pixie

1. Melarikan Diri

"Jadi kau rela mempertaruhkan nyawa? Demi cinta pertamamu?" Sosok itu tertawa mengerikan. "Emily Harper, ternyata kau hanya gadis bodoh biasa!"

Kerongkongan Emily tersekat. Matanya gemetar melihat pria yang memain-mainkan pisau di hadapannya.

“K-kamu bukan Cay—”

Ucapan Emily tertahan oleh kilatan mata pisau yang meluncur menuju perutnya. Ia berusaha menghindar, tetapi tubuhnya terlalu tegang. Ia malah terdiam.

Detik berikutnya, darah mulai menetes mengotori lantai. Emily hanya bisa terkesiap, ternganga dengan tatapan nanar. Kilasan memori bergulir cepat dalam benaknya. Ketika terhenti, sebuah pertanyaan bergema. Tepatkah keputusannya untuk mempertahankan cinta yang mendatangkan petaka?

Beberapa saat yang lalu ....

Breaking news!

“Emily Harper, nona pewaris dari Savior Group, dikabarkan telah menghilang. Sejak menolak lamaran Brandon Young pada Sabtu malam lalu, ia tidak lagi terlihat.”

“Banyak pihak berspekulasi bahwa ia kabur untuk menghindar dari publik. Ada juga yang menduga-duga bahwa ia telah diculik. Namun, hal itu disanggah dengan tegas oleh keluarga Harper. Mereka mengatakan bahwa sang nona pewaris sedang butuh waktu untuk menenangkan diri.”

“Hingga kini, para wartawan masih bersiaga di sekitar kediaman Harper dan kantor Savior. Mereka menantikan pernyataan dari Emily Harper terkait keputusannya menolak lamaran pewaris Young Company.”

Emily menghela napas tak percaya. Dengan tatapan sinis, ia mengamati wajah si penyiar.

"Apakah mereka kehabisan bahan? Untuk apa menyiarkan berita tidak berguna semacam ini? Astaga .... Kenapa juga Louis membiarkan kabar ini beredar? Dia seharusnya mengendalikan media. Kalau seperti ini, aku jadi harus ekstra waspada."

Tiba-tiba, nama saudara kembarnya muncul di ponsel. Melihat itu, Emily langsung melirik sekeliling. Tidak ada tanda-tanda keberadaan pengawal Louis di sekitarnya. Merasa situasi aman, ia akhirnya menjawab panggilan.

“Emily Harper, kau pikir boleh kabur begitu saja setelah kekacauan yang kau buat?” hardik Louis dari seberang benua.

Emily spontan menjauhkan ponsel dari telinga. Bukannya merasa bersalah, ia malah menyeruput cokelat hangatnya.

"Bisakah kau pelankan suaramu, Louis? Kau membuatnya terkesan seperti sebuah masalah besar."

"Ini memang masalah besar. Kau tahu seberapa banyak media yang menyoroti ulahmu? Semuanya! Media sosial, telepon kantor, bahkan email kerja pun ramai dengan orang-orang yang menanti penjelasan darimu. Kau sudah menyimak breaking news yang kukirim, kan?"

Emily mengurut pelipis tiga kali. Setelah mendesah samar, ia bersandar pada kursi. "Sekarang kau membuatnya terkesan seperti hal baru. Ayolah, jangan membesar-besarkan masalah. Perusahaan sudah pernah menghadapi hal yang lebih besar dari ini. Kau ingat skandalmu empat tahun lalu?"

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Emily. Kita sedang membahas kelakuanmu. Jadi berhentilah mengelak dan akui kesalahanmu!"

Pangkal alis Emily mulai berkerut. "Aku tidak bersalah."

"Ya, kau melakukan kesalahan dan itu sangat fatal. Kenapa kau menolak lamaran Brandon? Kau masih normal, kan? Dia itu pria yang paling banyak diidamkan oleh wanita! Nomor dua setelah aku."

Emily mendengus tipis. "Itu bukan salahku. Dia yang terlalu bodoh. Sudah berulang kali kukatakan kalau aku tidak punya perasaan terhadapnya, tapi dia malah melamarku di tempat umum, di depan banyak media."

"Itu karena dia sangat mencintaimu. Brandon laki-laki yang baik, Emily. Sejauh ini, dia yang terbaik untukmu. Kalian bisa menjadi pasangan yang sempurna."

"Kau mengatakan itu karena dia sahabatmu," sela Emily ketus.

"Dan juga sahabatmu," pungkas Louis, tiba-tiba melunak. "Bukalah matamu, Em. Kita sudah mengenalnya sejak kecil. Semua sifat dan kebiasannya sudah kita ketahui. Keluarganya juga kita kenal. Apa lagi yang kurang darinya?"

Emily terdiam. Ia hanya bisa menggertakkan geraham. Sebelah tangannya meremas siku yang menopang ponsel. Dengan sikapnya yang menjadi kurang awas, ia tidak sadar bahwa tiga orang di meja lain mulai memperhatikannya.

"Apakah karena Cayden? Kau masih menunggu bocah itu?" Louis memecah hening.

Emily mengerjap. "Cayden bukan bocah. Dia satu tahun lebih tua dari kita," koreksinya, terdengar seperti menggerutu.

"Tapi dia hanyalah bocah berumur 5 tahun saat dia mengucapkan janji itu. Dan sekarang, kau bukan anak 4 tahun lagi."

Emily membuang napas cepat. Matanya kini terpejam. Ia sadar bara dalam hatinya telah kembali menyala.

“Sadarlah, Emily,” sambung Louis. “Dia bisa saja sudah melupakanmu. Atau mungkin, dia sama sekali tidak mengingatmu.”

"Cayden sudah berjanji padaku," gumam Emily pelan.

"Untuk menemuimu dalam 20 tahun. Sekarang? Umurmu sudah 27 tahun, Emily. Berpikirlah realistis. Tidak ada gunanya kau menunggu seseorang yang tidak pasti."

Emily menelan ludah pahit. "Tidak ada gunanya kau menghasutku. Aku tidak akan terpengaruh. Aku yang lebih mengenal Cayden. Aku yang lebih tahu."

"Aku mengingatkanmu karena aku peduli padamu. Aku tidak mau kau kecewa, Emily. Bagaimana kalau ternyata dia sudah menikah? Atau yang lebih buruk, bagaimana kalau dia sudah di alam yang berbeda?"

"Louis!" Mata Emily membulat. Alisnya berkerut tak senang.

"Bagaimana kalau saat kalian bertemu nanti, dia tidak sesuai dengan ekspektasi? Mungkin saja, sekarang dia jelek dan tidak mengurus diri. Dia pengangguran, jorok, tidak punya masa depan—"

"Berhenti sekarang atau aku tidak akan menjawab panggilanmu lagi," tegas Emily, tidak main-main.

Louis mendesah pasrah. "Baiklah. Kalau kau tidak mau mendengarkan aku, terserah. Tapi kau harus kembali secepatnya. Kau tahu seberapa cemas Mama dan Papa memikirkanmu?"

Bibir Emily mengerucut. Egonya kembali bergejolak. "Aku sudah dewasa. Aku bisa mengurus diriku sendiri."

"Ini masalah keamanan, Emily. Tidakkah kau memikirkan ancaman yang mengintai di luar sana? Kau lupa seberapa banyak musuh yang kita punya? Kalaupun bukan perusahaan pesaing, laki-laki hidung belang atau penggemar fanatikmu bisa saja berbuat sesuatu yang gila. Kau tidak takut diculik?"

Emily menggeleng samar. Tepat saat itulah, seorang wanita tua berjalan terhuyung-huyung dan menabrak mejanya. Seketika, Emily berdiri mengamankan tas dan ponsel.

“Maaf,” ujar wanita itu. Wajahnya yang penuh keriput tampak lelah dan gusar. “Saya sedang tidak enak badan. Saya tidak bermaksud mengganggu Anda.”

Emily berkedip-kedip mencerna keadaan. Merasa bahwa wanita tua itu bukan ancaman, ia mengangguk samar. “Ya, tidak apa-apa.”

Tiba-tiba, pria di meja sebelah menutup majalah dan menghampiri mereka. “Madame, apakah Anda butuh bantuan?”

“Oui, Merci.”

Sementara dua orang itu berlalu, Emily kembali ke kursi. Ia terdiam sejenak, merenungkan apa yang baru saja terjadi. Ia tidak peduli jika Louis memanggil-manggil hingga frustrasi.

“Apakah Madame itu baik-baik saja? Dia tampak begitu ketakutan. Mungkinkah dia baru saja menerima kabar buruk tentang keluarganya?” gumamnya.

Selang satu kedipan, mata Emily melebar. Cokelat panas yang belum sempat dinikmatinya telah tumpah sebagian.

“Oh, cokelatku!” Emily cepat-cepat menarik tisu dan membersihkan cangkir. Kemudian, tanpa sedikit pun rasa curiga, ia menyeruputnya sedikit. Ia tidak tahu bahwa wanita tua tadi telah memasukkan sesuatu ke dalam minumannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status