Share

5. Penyelamat

"Apakah aku tidak salah lihat? Pria tadi membawa pisau?" bisik si Pirang tegang.

Gadis lain yang masih duduk di trotoar menelan ludah. Belum sempat ia menjawab, si Tinggi memekik dan menutup mulut dengan kedua tangan. Pria bertopi itu telah melancarkan serangan. Tetesan darah berjatuhan di dekat kaki Emily, mengotori trotoar dengan warna merahnya.

"G-gawat! Kita bisa berakhir di kantor polisi lagi! Teman-Teman, ayo kabur! Jangan sampai polisi tiba lebih dulu!" pekik si Pirang.

Sementara ketiga gadis itu pontang-panting, Emily mematung dengan mulut dan mata terbuka lebar. Ia memang terlambat menangkap tangan si penyerang. Ia juga tahu kalau darah telah menetes di trotoar. Akan tetapi, mengapa ia tidak merasa sakit sedikit pun?

Emily pun tertunduk lebih dalam. Mendapati tangan lain yang menggenggam mata pisau, satu inci di depan perutnya, ia terkesiap. Sekujur tubuhnya gemetar.

Tiba-tiba, seseorang menariknya ke belakang. Saat itulah, Emily sadar. Prince telah kembali menyelamatkannya. Ia tidak mengerti bagaimana pria itu bisa tiba tepat waktu di sisinya. Ketika akal sehatnya pulih, pria dengan tangan bersimbah darah itu telah membekuk si penyerang di atas trotoar.

"Emily, telepon polisi!" seru Prince sembari menahan si penjahat agar tidak lolos dari cengkeramannya.

"Emily!"

Emily mengerjap. Dengan tangan yang gemetar, ia mengambil ponsel. Ia tidak peduli jika air mata membasahi wajahnya dan bunyi napasnya seperti orang sesak. Fokusnya hanya tertuju pada satu hal. Menjalankan perintah dari orang yang telah menyelamatkannya.

***

Usai memberi keterangan, Emily melangkah ke ruangan sebelah. Pria yang telah menyelamatkannya masih berada di dalam. Dari jendela yang tidak tertutup tirai, Emily dapat melihatnya diinterogasi dalam kondisi tangan diperban.

"Siapa sebenarnya laki-laki itu? Kenapa dia begitu gigih menjagaku? Dia bahkan rela mengorbankan tangannya demi menahan pisau itu," gumam Emily heran. Dalam hati, ia merasa bersalah telah menuduhnya macam-macam. Ia bahkan sempat menyiramnya dengan cokelat panas.

Tak lama kemudian, petugas kepolisian meninggalkan ruangan. Dengan langkah canggung, Emily akhirnya masuk.

"Hai .... Bagaimana tanganmu?"

Sang pria menatapnya dengan raut kaku. "Kenapa kau pergi dari hotel tanpa memberitahuku? Kau mau kabur?"

Senyum tipis Emily berubah menjadi ringisan. "Aku ...."

"Kau lupa dengan bahaya yang mengintaimu? Kau beruntung aku datang tepat waktu. Kalau tidak? Kau rela menantang maut hanya demi ego dan sifat kekanak-kanakanmu?"

Bibir Emily mengerucut. Kepalanya agak tertunduk. "Kau bukan siapa-siapa bagiku, dan aku juga bukan siapa-siapa bagimu. Kenapa kau memarahiku seolah-olah aku ini orang terdekatmu?"

Pria itu menghela napas dalam-dalam. Rautnya berubah sabar. "Ini bukan soal siapa kita, tapi ini tentang keselamatanmu. Aku yang orang asing saja tahu kalau kau tidak aman bepergian seorang diri. Sedangkan dirimu? Kenapa kau keras kepala sekali, Nona Harper?"

Emily berkedip-kedip menatap ujung sepatu. Keringat dingin membutir di tengkuk. Ia sadar yang dikatakan oleh pria asing itu benar. Ia tidak punya alasan lagi untuk mengelak.

"Maaf. Aku hanya berusaha melindungi diri dari siapa pun, termasuk dirimu. Tadinya kupikir kau orang jahat. Karena itu, aku memilih untuk kabur."

Pria itu kini bersandar di kursinya. Rahangnya sedikit bergeser, tetapi tatapannya lembut. "Sekarang, apa yang mau kau lakukan? Melanjutkan agenda tanpa perlindungan dari siapa-siapa?"

"Ya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi sekarang. Laki-laki itu sudah ditangkap." Emily mengedikkan bahu.

"Apa kau tahu? Laki-laki itu menyerangmu atas perintah seseorang. Penjahat sesungguhnya masih di luar sana."

Mendapat informasi tersebut, mata Emily membelalak. "Benarkah?"

"Kau boleh bertanya kepada polisi tadi kalau tidak percaya," tutur sang pria sambil melirik ke arah luar.

Melihat keseriusan di wajah tampan itu, Emily diam-diam mengepalkan tangan. "Bagaimana ciri-cirinya?"

Sang pria mengangkat pundak. "Bahkan laki-laki yang menyerangmu tadi tidak tahu bagaimana rupanya. Mereka hanya berkomunikasi via telepon dan pesan tertulis."

Pangkal alis Emily pun tertaut. Sementara dirinya sedang serius berpikir, pria di hadapannya menyodorkan tangan.

"Mana ponselmu?"

Emily mengangkat pandangan lagi. "Untuk apa?" Sebelah tangannya bersembunyi di balik pinggang.

"Di sini tidak aman untukmu. Kau lebih baik pulang. Mintalah keluargamu untuk datang menjemput."

Mulut Emily terbuka lebar. Helaan napas tak percaya berembus dari sana. "Siapa kau berani mengatur hidupku?"

"Aku tidak bisa selamanya siaga menjagamu."

"Aku tidak butuh orang untuk menjagaku. Aku sudah dewasa. Aku tidak pernah memintamu untuk menyelamatkan aku, kan?"

Mendengar nada bicara yang naik tersebut, sang pria tertegun. Emily kembali merasa bersalah atas sikap kasarnya.

"Kau tahu? Aku sangat berterima kasih kau sudah menyelamatkan aku. Tapi kuharap kau mengerti kalau aku datang jauh-jauh kemari karena suatu misi. Aku tidak mungkin pulang tanpa hasil. Karena itu, kurasa kita sebaiknya berpisah di sini."

"Dan membiarkanmu seorang diri?" Sang pria mengangkat sebelah alis. Sedetik kemudian, ia menggeleng dan beranjak dari kursi. "Tidak. Itu sama saja dengan menyerahkan nyawamu secara cuma-cuma kepada dalang misterius itu. Kemarikan ponselmu."

Sang pria menarik tangan Emily. Ia tahu ponselnya ada di situ. Akan tetapi, Emily dengan gesit memindahkan ponsel ke tangan yang lain. Sambil menjauhkannya dari jangkauan Prince, ia bergeser mundur.

"Kita sedang berada di kantor polisi. Kau berani mencuri ponselku?"

"Cepat hubungi kakakmu."

Sebelah alis Emily bergerak turun. "Kau terdengar seperti mengenal Louis. Apakah dia bosmu? Dia yang mengirimmu kemari untuk mendesakku pulang?"

Sang pria menggeleng. "Tidak."

"Kau pengawal khusus yang disewa olehnya?"

Pria itu mengembuskan napas cepat. "Bukan."

"Lalu kenapa kau peduli sekali padaku?"

Keheningan menggantung di udara. Mengamati diamnya sang pria, mata Emily menyipit. "Apakah mungkin ... kau penggemar rahasiaku?"

Sang pria mendengus tipis. "Apakah aku terlihat seperti tergila-gila padamu?"

Bibir Emily mengerucut. "Lalu kau siapa?"

Tiba-tiba, petugas kepolisian tadi kembali. Sembari menyodorkan sebuah flashdisk kepada Prince, ia berkata, "Terima kasih banyak atas kerja sama Anda, Tuan Evans. Kalau ada perkembangan lebih lanjut, kami pasti akan segera menghubungi."

Dunia sontak berhenti berputar bagi Emily. Matanya yang terbelalak bergetar menatap pria tampan yang kini tersenyum manis dan berbicara kepada sang polisi.

"Tuan Evans? Nama belakang laki-laki ini Evans? Mungkinkah dia ... Cayden Evans?" pekiknya dalam hati.

Setelah mengerjap, Emily memaksakan paru-paru untuk bekerja lagi. Ia perhatikan bagaimana pria tampan itu berinteraksi dengan sang polisi. Begitu perbincangan itu berakhir, ia cepat-cepat meraih lengannya.

"Siapa kau sebenarnya?"

Pria yang baru saja mengalungkan flashdisk di leher itu terbelalak. "Aku? Pria hidung belang yang tidak mungkin kau nikahi? Orang asing yang tidak selevel dengan pewaris Savior Group yang cantik dan keras kepala ini?"

"Aku serius." Emily mengguncang lengan sang pria. "Siapa kamu? Polisi tadi memanggilmu Tuan Evans. Mungkinkah ... kau Cayden Evans?"

Sang pria tertegun dalam hening. Mata cokelatnya semakin melekat pada manik abu-abu Emily.

"Jawab!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dewi Novita
batuuu si emily yaaa.. tau ga si itu tu prince ya si Cayden hihiji
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status