Share

4. Cari Masalah

Sang pria tercengang. Harga dirinya terluka. Ia tidak pernah menduga seseorang akan menuduhnya gay.

"Pertanyaan macam apa itu?"

Emily memasang raut angkuh. "Kau menggantikan pakaianku semalam. Kau pasti telah melihatku. Rasanya mustahil ada pria yang sanggup menahan godaan sebesar itu."

"Tidak semua laki-laki kurang ajar, Nona. Beberapa pria sepertiku memiliki pengendalian diri yang baik. Kami tahu caranya menghormati wanita," tegasnya diiringi anggukan.

Emily memiringkan kepala sedikit. Matanya menyipit. "Itu sulit dipercaya. Mana ada pria normal yang tahan melihat tubuh wanita tanpa menyentuhnya? Kecuali, kau adalah pengawal yang dikirim Louis. Kau takut dia memecatmu kalau ketahuan menyentuhku."

Sang pria menghela napas panjang. "Kau memiliki krisis kepercayaan, rupanya. Kau tetap akan berpikir kalau aku pengawal meskipun aku menyangkal, kan?"

Belum sempat Emily menimpali, pria itu masuk ke kamar mandi. Emily hanya bisa mengerucutkan bibir.

"Kalau dia bukan pengawal Louis, lalu dia siapa?" gerutunya.

Saat itu pula, mata Emily tertuju pada sebuah kamera. Ia bergegas memeriksanya. Sayangnya, tidak ada petunjuk berarti. Satu-satunya hal unik yang ia temukan hanyalah tali kuning dengan tulisan “Prince”.

“Ini desain custom. Apakah ini namanya?”

Sembari menduga-duga, Emily mengamati file dalam kamera tersebut. Dua foto terakhir adalah hasil jepretan semalam—wajah terkejutnya sebelum jatuh di trotoar dan wajah si penguntit yang hanya kelihatan sebagian. Sisanya adalah foto-foto pemandangan kota Paris.

“Apakah dia sungguh seorang jurnalis? Tapi tidak ada rekaman wawancara di sini.”

Sembari berpikir, Emily beralih ke sebuah ransel di dekat kaki meja. Lagi-lagi, tidak ada petunjuk yang menyatakan identitas sang pria. Hanya ada laptop, kabel-kabel, serta beberapa peralatan lain.

Begitu membuka lemari, perhatian Emily langsung tertuju pada sebuah tas jinjing. Ia yakin ada petunjuk di dalam situ. Namun, saat ia hendak memeriksa, pintu kamar mandi terbuka. Secepat kilat, ia berbalik dan berkacak pinggang.

“Di mana kau menyembunyikan pakaianku?” tanyanya lantang.

Sang pria meninggikan alis. “Aku mengirimnya ke laundry.”

Emily berkedip kaku. “Tanpa persetujuanku? Lalu aku harus memakai apa? Agendaku padat. Aku harus segera pergi. Tidak mungkin aku keluar dengan kaos tipis seperti ini. Kau harus tanggung jawab.”

“Tanggung jawab apa lagi?”

“Belikan aku baju.”

Sang pria mendesah samar. Rautnya sabar. “Apa saja yang kau butuh? Berapa ukuranmu?”

Mata Emily melebar. Selang satu kedipan, ia mengambil secarik kertas dan menulis rinciannya.

“Jangan sampai ada yang salah. Aku tidak mau memakai produk di luar daftar.”

Emily mengulurkan kertas. Sang pria menerimanya dengan raut santai.

“Sebuah bra berukuran—”

“Tidak perlu kau baca kencang-kencang,” sela Emily sigap. “Baca dalam hati saja.”

Sang pria berkedip dengan tampang lugu. “Apakah aku harus membeli semua ini di toko yang berbeda? Itu tidak efisien.”

“Kau tahu? Setiap brand memiliki produk unggulan masing-masing dan aku terbiasa mengenakan yang terbaik. Kalau diganti, aku bisa merasa tidak nyaman. Produktivitas dan kreativitasku bisa menurun nanti. Aku tidak mau itu terjadi.”

“Baiklah, tapi ini akan memakan waktu. Apalagi, aku tidak pernah berbelanja produk wanita. Kau bisa kelaparan kalau menunggu sampai semua pakaian ini terbeli. Kau mau aku pesankan sarapan?”

Emily tertegun. Ia tidak menduga sang pria bisa seperhatian itu.

“Tidak perlu. Aku bisa memesan sendiri. Tugasmu adalah membeli pakaian untukku. Sebelum matahari tinggi, aku harus sudah pergi.”

Sang pria mengangguk. Kemudian, ia meraih pensil dari tangan Emily dan menuliskan sesuatu di kertas lain.

“Kalau ada apa-apa, hubungi aku di nomor ini.”

Emily lagi-lagi termenung. Namun, selang satu kedipan, ia menerima kertas itu dan mengibaskan tangan ke arah pintu. “Sekarang cepat pergi! Aku buru-buru.”

Setelah mengenakan pakaian, sang pria pergi berbekal sebuah kartu kredit dari Emily. Saat itulah, Emily mulai beraksi. Ia memesan pakaian dari toko terdekat, lalu pergi dari hotel. Tanpa ia ketahui, seseorang tersenyum melihatnya berjalan seorang diri.

"Pria itu bodoh sekali. Semudah itu aku lolos darinya," gumam Emily dengan nada bangga.

Sambil terkikik samar, ia menoleh ke belakang. Tidak melihat si pria tampan, kebahagiaannya berlipat ganda.

"Meskipun dia terlihat baik dan jujur, aku tidak boleh percaya begitu saja. Selagi ada kesempatan, aku harus kabur. Aku tidak akan tertipu oleh siapa pun."

Setelah mengangguk mantap, Emily mempercepat langkah. Ia sudah bertekad untuk segera pergi dari Paris.

Namun, satu blok dari sana, tiga orang gadis muncul. Mereka berjalan ke arah Emily dengan senyum kecut. Saat mereka nyaris berpas-pasan, yang tertinggi mengincar bahu Emily. Beruntung, Emily dengan gesit menghindar.

"Hei, apakah kau tidak punya mata? Kau tidak lihat kami sedang berjalan? Beraninya kau menabrak temanku?" hardik gadis yang berdiri di tengah.

Emily berkedip lugu. "Aku tidak menabrak temanmu. Dialah yang hampir menabrak pundakku."

Ketiga gadis itu kompak mendengus.

"Kau punya nyali, rupanya. Memangnya kau siapa? Beraninya menantang kami?"

Alis Emily berkerut tak senang. "Aku hanya gadis biasa yang sedang tergesa-gesa. Karena itu, maaf. Aku tidak ada waktu untuk ribut dengan kalian. Permisi."

Emily hendak lanjut melangkah, tetapi gadis tinggi tadi menghadang. "Tunggu. Bukankah kau Emily Harper?"

"Oh, wow! Pantas saja wajahnya tidak asing. Ternyata dia Emily Harper!"

"Dan pantas saja dia berani melawan kita. Dia pasti merasa hebat. Dia bahkan berani menolak Brandon Young mentah-mentah."

Ketiga gadis itu berdiri mengelilingi Emily. Raut mereka sinis dan licik. Emily hanya bisa berdiri diam sambil mengawasi situasi.

"Apa yang membuatmu tega menolak Brandon Young? Apakah dia kurang sempurna bagimu? Atau, kau hanya ingin membuat sensasi saja?"

"Kurasa dia sengaja melakukan itu demi mendongkrak popularitas. Aku kasihan pada Brandon. Dia tidak seharusnya menyukai gadis seangkuh ini."

"Kalau aku bukan kasihan, tapi heran. Apa hebatnya gadis ini? Dia tidak terlalu cantik. Aku bahkan lebih tinggi. Dia hanya mengandalkan harta orang tuanya saja. Itu bukan sesuatu yang bisa dia banggakan."

Dua gadis lain mengangguk.

"Kau benar. Dia menilai dirinya terlalu tinggi. Karena itu, dia butuh seseorang untuk menyadarkannya. Bagaimana kalau kita membantunya?" Gadis berambut pirang menaikkan alis sekali.

"Ide bagus. Dia memang perlu diingatkan kalau dia tidak ada apa-apanya."

Tiba-tiba, gadis yang berdiri di belakang meraih bahu Emily. Sebelum tasnya direbut, Emily dengan sigap memelintir tangan gadis itu lalu mendorongnya ke arah dua gadis yang lain.

"Rossy, astaga! Kau tidak apa-apa?" bisik si Tinggi.

Si Rambut Pirang pun tak kalah khawatir. Namun, alih-alih memeriksa temannya, ia malah meruncingkan tatapan ke arah Emily.

"Kau! Beraninya melukai teman kami!"

"Sudah kubilang, aku sedang buru-buru. Jadi berhentilah menghalangi jalanku."

Ketiga gadis itu terbelalak mendengar suara lantang Emily.

"Dia membentak kita?" desah si Pirang tak percaya.

"Dia memang perlu diberi pelajaran. Teman-Teman?" Si Tinggi memainkan alis.

Sedetik kemudian, ketiga gadis itu berlari ke arah Emily. Dengan tangan terangkat ke depan, mereka terlihat seperti zombie.

"Terima ini, Gadis Sombong!" Si Tinggi hendak menjambak rambut Emily.

"Kau tidak seharusnya menantang kami!" Dua gadis lain mengincar pundak Emily.

Namun, begitu mereka tiba, Emily dengan gesit menghindar. Dengan satu serangan balik saja, ketiga gadis itu terjerembap di trotoar.

"Aduh, lututku," ringis si Pirang.

"Pinggangku .... Kenapa kau menabrakku tadi?"

"Kakiku tersandung," ringis si Tinggi.

Emily menatap mereka miris. "Itu akibatnya kalau kalian tidak mendengarkan peringatanku. Sebelum kalian cedera parah, kalian sebaiknya berhenti menggangguku."

Setelah melemparkan sebungkus plester dan obat merah, Emily cepat-cepat mundur.

"Sampai di sini saja urusan kita. Mari jangan bertemu lagi. Aku tidak punya waktu untuk meladeni kegilaan kalian. Mengerti?"

Melihat Emily berbalik pergi, ketiga gadis itu mendengus jijik. Yang tertinggi pun kembali bangkit. Ia berencana untuk menyerang Emily dari belakang. Namun, ketika ia hendak melangkah, seorang pria bertopi mendahului. Ia melesat cepat menuju Emily dengan sebilah pisau di tangannya.

Menyadari seseorang mendekati punggungnya, Emily berbalik. Wajahnya mengernyit geram.

"Kalian ini—"

Melihat apa yang datang, Emily seketika lupa dengan apa yang ingin diucapnya. Kilatan mata pisau itu meluncur cepat menuju perutnya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status