Share

7. Apakah Dia Cayden?

“Selama kau juga tidak jatuh cinta padaku,” tutur Prince dengan sorot mata lembut.

Emily ternganga kehabisan kata. Selang satu kedipan, tawa datar lolos dari mulutnya. "Kau berpikir aku akan tertarik padamu?"

Lagi-lagi, Prince mengedikkan bahu. "Cinta itu sulit diterka. Dia bisa datang kapan saja, bahkan di momen-momen yang tak terduga. Dan kalau dia sudah tiba, adakah orang yang sanggup menolaknya?"

Sembari mengerucutkan bibir, Emily meninggikan dagu. "Aku sudah mencintai seseorang. Mustahil hatiku bercabang. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu."

Prince mengangguk sambil mencibir halus. "Baiklah. Kalau kau seyakin itu, kau tidak perlu takut menerima persyaratan dariku. Selama kau tidak mencintaiku, aku juga tidak akan melakukan itu. Tapi begitu kau melanggar, kesepakatan ini berakhir."

"Oke!" Emily mengulurkan tangan. "Mulai sekarang, kau adalah pengawalku. Kau akan bekerja secara profesional, tanpa melibatkan perasaan yang tidak perlu, karena aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu."

Prince menjabat tangan kanan Emily dengan tangan kirinya. "Oke, deal." Lengkung bibirnya menyiratkan sesuatu yang misterius.

"Sekarang, apa tugasku? Kau bilang punya misi penting. Ke mana aku harus mengawalmu?"

Telunjuk Emily mendadak teracung. "Kau tidak perlu tahu. Yang perlu kau lakukan, ikuti saja aku."

"Kau takut aku membocorkannya kepada saudaramu? Aku bahkan tidak punya nomornya."

Emily menggeleng sigap. "Jangan banyak tanya. Sekarang ayo pergi. Polisi bisa heran kalau kita terlalu lama di sini." Ia mulai melangkah.

"Ke mana?"

Emily berhenti dan menoleh ke belakang. "Kau mau aku melakban mulutmu?"

Prince menghampiri Emily dengan langkah santai. "Aku benci berjalan tanpa tujuan. Jadi, bisakah kau katakan satu langkah selanjutnya? Satu saja. Kau boleh merahasiakan tujuan akhirnya."

Emily menghela napas sembari memutar bola mata. "Kita pergi ke hotelku untuk berkemas, lalu ke hotelmu, lalu keluar dari kota ini. Tapi sebelum itu, ayo sarapan. Aku lapar."

"Itu lebih dari satu langkah," gumam Prince dengan nada meledek. "Kau mulai percaya padaku, rupanya?"

Sementara Emily malas menanggapi, Prince melanjutkan, "Jadi, wanita cantik dan langsing sepertimu juga butuh makan?"

"Kau pikir aku bukan manusia? Semua makhluk hidup itu butuh makan. Tunggu. Apakah kau baru saja menggodaku?" Emily terbelalak.

Prince mendengus tipis. "Aku hanya asal bicara. Jangan besar kepala. Sekarang ayo cari makan. Aku juga lapar."

Prince keluar ruangan lebih dulu. Emily hanya bisa mendengus sebelum pergi menyusul.

Begitu sarapannya tiba, mata Emily langsung berbinar. Fokusnya tertuju pada cokelat panas di samping croissant. Ia sudah tidak sabar ingin menyeruputnya. Namun, ketika ia baru meraih cangkir, Prince merebutnya.

"Hei?" Emily terbelalak. Alisnya berkerut tak senang.

Alih-alih merasa bersalah, Prince malah mengamati isi cangkir dengan saksama. Ia mengaduk-aduk, memperhatikan tekstur cokelat itu. Sesekali, ia mengendusnya.

"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Emily masih dengan ekspresi yang sama.

"Apakah kau tidak belajar dari pengalaman? Kau harus lebih berhati-hati dengan apa yang kau konsumsi."

Prince mengambil sesendok cokelat. Sebelum minuman itu sampai ke mulutnya, Emily cepat-cepat menahan.

"Tunggu dulu! Itu cokelatku. Kau mau aku meminum sisamu?"

Prince berkedip lugu. "Kau lebih takut meminum sisaku daripada racun?"

Emily tertegun. "Kalau kau takut ada racun di dalam situ, lalu mengapa kau berani meminumnya?"

"Aku pengawalmu. Tentu saja aku harus memastikan keamananmu."

Emily menghela napas cepat. "Kalau nanti kau keracunan dan mati, apakah kau masih bisa memastikan keamananku? Sudahlah, jangan konyol. Kembalikan itu. Tidak akan ada racun dalam makanan atau minumanku. Kalau penjahat itu memang bertujuan membunuhku, dia sudah melakukannya sejak dulu. Tapi terakhir, dia hanya memasukkan obat tidur, kan?"

Prince bergeming menatap raut santai Emily. "Kau takut aku mati, rupanya?"

Emily mendengus tak percaya. Sambil melipat tangan di depan dada, ia berkata, "Tentu saja. Hanya kau yang bisa kuandalkan sekarang. Kalau kau mati, aku terpaksa melakukan perjalanan seorang diri. Seperti yang kau katakan, itu terlalu berbahaya."

Sembari tersenyum miring, Prince meletakkan cangkir di atas meja. "Kupikir kau tipe yang lebih mengedepankan perasaan. Ternyata, kau adalah seorang pemikir."

Emily mengedikkan bahu ringan. "Aku dan saudaraku memimpin perusahaan besar. Logika jauh lebih dibutuhkan jika berkaitan dengan nasib orang banyak."

"Begitukah? Lalu, apakah kau punya dugaan tentang siapa yang menargetkan dirimu?"

Emily lagi-lagi gagal menyeruput cokelat panasnya. Matanya berkedip-kedip menatap cangkir yang seolah membisikkan jawaban.

"Aku tidak tahu." Emily mengangkat pandangan. Rautnya serius sekarang. "Perusahaan kami punya banyak pesaing. Mereka semua mengharapkan kami runtuh. Orang yang mengirim penyerang tadi mungkin saja salah satu dari pihak-pihak itu."

Prince bergeming. Ia tidak mengangguk, tidak juga berkedip. Hanya alisnya yang tertaut tipis.

"Apakah kau sudah sering mendapat ancaman semacam itu?"

Emily tersenyum kecut. Ia menyeruput cokelat panasnya sedikit, lalu menghela napas dalam.

"Beberapa kali. Mereka pintar dalam mencari celah. Untungnya, aku selalu selamat. Kau tahu? Di antara saudara-saudaraku, aku yang paling lemah. Kurasa itulah yang membuatku menjadi sasaran empuk mereka. Tapi sejak Orion menjadi pengawal pribadiku, mereka tidak berani macam-macam."

"Kenapa kau tidak mengajak sepupumu itu untuk menemanimu ke sini?"

"Karena misiku ini rahasia. Aku tidak mau dia melapor kepada Louis dan semuanya terbongkar. Atau yang lebih buruk, dia bisa menyeretku pulang kapan saja. Rencanaku bisa gagal."

Emily mencelupkan potongan croissant ke dalam cokelatnya. Namun, ketika ia hendak memasukkannya ke mulut, ia terbelalak.

"Tunggu dulu. Dari mana kau tahu kalau Orion adalah sepupuku?"

Mendengar pertanyaan tersebut, Prince mematung. "Apakah kau lupa? Keluarga kalian itu terkenal. Aku juga tahu kalau kau punya sepupu perempuan."

Mata Emily menyipit curiga. "Siapa kau sebenarnya? Apakah kau penggemar fanatikku? Kau tidak mungkin tahu banyak tentang kami kalau tidak sengaja mengikuti berita."

Prince mendengus. "Kenapa kau terus menuduhku sebagai penggemar fanatikmu? Apakah kau kecewa kalau pria setampan diriku ternyata tidak tertarik padamu?"

Emily tertawa datar. "Kenapa aku harus kecewa? Bukankah sudah kubilang kalau aku sudah punya seseorang? Hanya dia yang kupedulikan. Aku bertanya karena penasaran saja. Atau jangan-jangan, kau memang seorang jurnalis?"

"Bukan. Aku ini seorang fotografer yang gemar memantau media sosial. Aku selalu berharap fotoku menjadi trending nomor satu. Tapi sampai detik ini, ketenaran kalian selalu memupuskan harapanku."

Emily kembali terbelalak. "Kau dari Amerika?"

Prince mengangguk.

"Apakah L City?" Emily mengangkat sebelah alis.

"Bukan. Aku dari T City. Tapi beberapa tahun terakhir, aku suka berpetualang mencari gambar."

Bayangan Cayden kembali muncul dalam benak Emily. Nama belakang, hobi, dan tempat asalnya ... mengapa semua itu bisa sama dengan Prince?

"Sejak kapan kau menyukai fotografi?" Emily berusaha mengontrol suara, tetapi kesannya tetap tergesa-gesa.

"Sejak kecil."

"Umur berapa?" Emily tanpa sadar memajukan badan.

Prince tersenyum tipis. "Kau mulai tertarik padaku, rupanya."

Menyadari sikap agresifnya, Emily berkedip. Ia menegakkan punggung lagi lalu mengibas rambut sekali.

"Tolong jangan mengada-ada. Aku hanya penasaran. Pekerjaan sampinganku adalah model untuk produkku sendiri. Kalau hasil fotomu bagus, kau bisa saja menjadi fotograferku nanti."

Lengkung bibir Prince berubah miring. "Itu terdengar menjanjikan. Sayangnya, aku belum pernah melakukan pemotretan untuk tujuan komersial. Aku lebih tertarik pada fotografi lanskap, arsitektur, dan manusia."

"Bukankah model juga manusia?"

Prince menggeleng cepat. "Ya, tapi itu adalah dua hal yang berbeda. Fotografi human interest memang menjadikan manusia sebagai subjek utama. Tapi, itu harus natural dan lebih menonjolkan rasa. Ekspresi, gestur, serta reaksi yang tertangkap kamera harus bisa menimbulkan simpati dan empati dari penikmat foto. Emosi lebih ditonjolkan di sini. Sering kali, subjek foto tidak sadar bahwa kamera sedang membidik ke arahnya."

Sekali lagi, Emily jatuh dalam perenungan. Ia ingat pertemuan pertamanya dengan Cayden. Anak laki-laki itu dulu memotretnya tanpa pemberitahuan saat ia sedang menyaksikan seekor kuda putih bermain salju di ladang peternakan.

"Mungkinkah Prince adalah Cayden? Mereka punya begitu banyak kesamaan. Tapi kenapa dia tidak mau mengaku? Apakah itu halusinasiku saja? Aku yang terlalu berharap bisa menemukan Cayden secepat ini?" batinnya hening.

Pixie

Jreng, jreng, jreeeng .... Siapakah Prince sebenarnya? Berikan pendapat kalian! Oh ya, buat kalian yang pengen tahu lebih lanjut tentang Cayden, bisa baca Cinta CEO dalam Jebakan, ya. Masa kecil dia dan Emily ada di special chapter Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan. Anyway, terima kasih sudah membaca. Happy Sunday and have a good day!

| 2
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Indah Carolina
hahhaa.. ini cayden kayanya kepentok kayu atau trotoar jd lupa ingatan
goodnovel comment avatar
Monika Anastasia Khim
Heyyyy cayden...sentill nihhh gkgkgk
goodnovel comment avatar
Dewi Novita
Cayden lah.. siapa lagi... hihihi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status