Share

3. Masih Perawan

Saat terbangun, Emily langsung tersentak. Matanya berkedip-kedip menatap ruangan yang tampak asing baginya.

"Apa yang terjadi? Bukankah terakhir ...."

Tiba-tiba, bayangan pria berpayung melintas dalam ingatannya. Emily sontak terkesiap. Napasnya menderu, matanya membulat.

"Aku tertidur di jalan? Di hadapan laki-laki itu?"

Ia mendesah tak percaya. Panik, ia buru-buru bangkit. Saat selimut tersingkap, jantungnya nyaris melompat dari tenggorokan. Ia tidak mengenakan apa-apa selain sehelai kaos pria!

"Astaga! Apa yang terjadi semalam? Mungkinkah ... laki-laki itu mengambil keuntungan dariku?"

Membayangkan apa yang mungkin telah menimpanya, Emily mencengkeram kepala. Matanya memerah terlapisi kekesalan.

"Kenapa aku ceroboh sekali? Apa yang harus kujelaskan kepada Cayden nanti? Lalu Louis ... dia pasti akan memakiku. Papa dan Mama ... mereka pasti sangat sedih dan kecewa."

Emily memejamkan mata rapat-rapat. Ia berharap itu hanya mimpi. Akan tetapi, penyesalannya malah terasa semakin nyata.

"Kenapa aku harus mengulang nasib Mama? Tidur dengan orang asing? Yang benar saja! Mama beruntung Papa ternyata adalah orang baik. Sedangkan aku ...."

Selagi Emily menerka-nerka pria macam apa yang telah menidurinya, seseorang melangkah masuk dengan secangkir cokelat hangat di tangannya.

"Hei, kau sudah bangun? Bagaimana keadaanmu? Tidak ada yang sakit, kan?"

Emily terbelalak menatap pria tampan yang hanya mengenakan celana pendek itu. Otot-otot sempurnanya terpampang nyata. Emily sampai lupa berkedip memperhatikannya.

"Pria inikah yang meniduriku? Apakah dia sama seperti Papa? Seorang pengusaha sukses yang dijebak untuk meniduri gadis yang tidak dikenalnya?" batin Emily dengan raut tegang.

Selang satu helaan napas, Emily menggertakkan gigi dan mencengkeram selimut di bawah kakinya.

‘Apa gunanya tampan tapi tidak bermoral? Dia jelas-jelas menyebut namaku semalam. Dia tahu siapa aku dan bagaimana kondisiku. Pria baik tidak mungkin tega mengambil kesempatan dalam kesempitan. Laki-laki ini hanyalah psikopat berwajah tampan!’

"Kau!" Emily melompat dari kasur lalu mendorong pundak sang pria dengan sekuat tenaga. Entah karena ia masih lemas atau pria itu yang terlalu kuat, malah dirinya yang terhuyung-huyung ke belakang.

"Dasar laki-laki hidung belang! Mentang-mentang aku pingsan, kau berani mengambil kesempatan?"

Sang pria menatap Emily dengan raut penuh tanya. "Kesempatan?"

Emily meruncingkan telunjuk dan memasang tampang garang. "Kau kira dengan meniduriku, aku akan menuntut tanggung jawab? Kau pikir segampang itu menjadikan aku milikmu? Jangan harap! Aku tidak akan pernah menerima laki-laki bejat sepertimu ke dalam hidupku. Tidak akan pernah!"

"Tunggu dulu." Pria itu mengangkat sebelah tangan. "Kau sudah salah paham. Aku tidak menidurimu. Aku hanya menolongmu."

Tiba-tiba, Emily melayangkan pukulan ke dada sang pria. "Kau kira aku bodoh? Aku terbangun tanpa baju. Lalu kau datang seperti ini."

"Kau masih mengenakan baju. Kau tidak lihat kaosku di tubuhmu?"

Emily tertunduk mengikuti arah pandang sang pria. Menyadari bentuk tubuh yang tercetak pada kaos, ia cepat-cepat menyilangkan tangan di depan dada. Kekesalannya semakin memuncak.

"Kau masih berani mengelak?" pekik Emily geram.

"Nona Harper yang terhormat, tenang. Ini tidak seperti yang kau bayangkan. Aku terpaksa mengganti pakaianmu yang basah. Tapi aku bersumpah, aku tidak melakukan hal bejat. Aku berpenampilan seperti ini karena aku baru selesai berolahraga."

Alis Emily berkerut mempelajari pria itu. Ekspresinya tampak jujur. Namun, ia masih curiga.

"Lihat saja nanti. Kau pasti akan menyesal. Orang tua dan saudaraku tidak mungkin tinggal diam. Mereka akan segera menyewa pengacara terbaik untuk menjebloskanmu ke dalam penjara."

Sang pria mendesah lelah. "Kau tidak bisa menuntutku, Nona. Aku tidak bersalah. Kau lihat sofa itu?"

Emily melirik ke arah yang ditunjuk. Sebuah bantal dan selimut masih berantakan di situ.

"Kita tidur di tempat yang berbeda. Aku bukan laki-laki hidung belang. Apakah kau tidak ingat? Justru aku yang menyelamatkan kamu dari penguntit itu. Sekarang minumlah cokelat panas ini. Tenangkan pikiran. Kau pasti sangat ketakutan semalam."

Emily menatap apa yang disodorkan dengan alis tertaut. Dalam satu gerakan cepat, ia mengambil cangkir itu lalu menuangkan isinya.

"Hei ...." Sang pria menyeka cokelat panas yang membasahi perut dan celananya. "Kenapa kau menyiramku?"

"Itu akibatnya kalau berani mempermainkan aku. Kau pasti sudah memasukkan obat ke dalam situ. Apa rencanamu setelah ini? Menjualku?" tanya Emily lantang.

Wajah sang pria kini dipenuhi kerutan. "Kenapa kau masih tidak percaya padaku?"

"Orang bodoh mana yang percaya dengan omonganmu? Pria dan wanita tidur sekamar tanpa busana? Apa lagi yang bisa sang pria lakukan kalau bukan mengambil keuntungan?"

Wajah tampan itu terpejam sesaat. Selang gelengan samar, ia mendengus pasrah. "Baiklah, terserah kau saja. Kau mau melaporkan aku? Silakan."

Sang pria berbalik menghadap sebuah pintu. Sebelum ia berhasil melangkah, Emily menahan lengannya. "Mau ke mana kau?"

"Ke kamar mandi. Aku harus membasuh perutku. Kau tidak lihat kulitku sudah memerah? Cokelat tadi panas."

Emily terkekeh datar. Kepalanya menggeleng singkat. "Kau pasti mau kabur. Tidak akan kubiarkan sebelum kau bertanggung jawab."

Sang pria lagi-lagi mendesah samar. "Tanggung jawab apa lagi? Kau mau aku menikahimu? Bukankah tadi kau sendiri yang menolak gagasan itu? Lagi pula, apa kata media kalau pewaris Savior Group menikah dengan seorang pria yang tidak jelas latar belakangnya?"

Emily meninggikan dagu. "Kau harus dihukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku."

Pria itu mengurut pelipis. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia menatap Emily dengan penuh keseriusan. "Haruskah kita memeriksanya langsung?"

Emily mengerjap. Matanya sedikit melebar. "Memeriksa apa?"

"Kau masih perawan atau tidak."

Kepala Emily tertekan mundur. Belum sempat ia menjawab, sang pria melanjutkan, “Kau belum pernah melakukannya sebelum ini, kan? Karena itu, ayo kita buktikan. Kalau kau masih perawan, itu artinya aku memang tidak menyentuhmu semalam.”

Mata Emily berkedip-kedip cepat. Mengapa ia tidak memikirkan hal itu sebelumnya? Ia tidak perlu menjelaskan apa pun kepada Cayden kalau ia masih perawan. Tapi, mungkinkah pria tanpa kaos itu memang tidak menidurinya?

"B-bagaimana cara membuktikannya?" Bibirnya gemetar.

Sang pria mengangkat alis tak percaya. "Kau memang tidak mengerti atau berharap aku membantumu? Apakah tidak masalah kalau dua jari ini ...." Ia menggerakkan kepala ke arah bawah, menunjuk sesuatu yang seolah enggan dilihatnya.

Emily tanpa sadar menahan napas. Ia bisa merasakan pipinya menghangat. "Mana ponselku?" tanyanya mendadak.

Sang pria menunjuk ke arah meja. Emily langsung mengambil ponsel, masuk ke kamar mandi, lalu menguncinya.

"Benarkah laki-laki itu tidak menyentuhku? Bagaimana cara membuktikannya? Ck, aku tidak seharusnya menghindar setiap kali Mama atau Bibi mau mengajarkan tentang ini kepadaku."

Sembari bersandar di balik pintu, Emily melakukan pencarian di internet. Selang beberapa saat, ia bergidik ngeri.

"Beraninya dia menipuku. Tes dua jari itu tidak valid. Untung saja aku tidak nekat melakukannya."

Sembari menyipitkan mata, Emily membaca artikel lain. Begitu selesai, ia bergeming.

"Hanya itu satu-satunya tanda? Tapi aku tidak merasa nyeri. Itu berarti dia memang tidak menyentuhku?"

Emily terpejam dan menghela napas panjang. Ia menyesal sudah menuduh tanpa bukti yang kuat. Mau tidak mau, ia keluar dengan tampang datar.

"Bagaimana? Kau masih mau menjebloskan aku ke penjara?" tanya sang pria.

Emily menekan bibirnya dengan dagu. "Siapa yang tidak curiga kalau berada di posisiku? Lagi pula, kau sendiri yang salah. Kau seharusnya mengenakan pakaian sopan saat menemuiku, dan kau tidak seharusnya bertanya ada yang sakit atau tidak."

Sang pria mendesah geli. "Aku bertanya begitu karena kepalamu membentur trotoar semalam. Apakah kau tidak berkaca tadi? Pelipismu memar."

Emily terbelalak. Namun, sebisa mungkin, ia menjaga gengsi. "Tetap saja, kau yang salah."

Pria itu mendengus tipis. "Sekarang karena semua sudah jelas, giliran aku yang memeriksa diriku. Kalau sampai terjadi apa-apa, kau harus tanggung jawab."

Emily diam-diam melirik ke bawah. Perut yang penuh otot itu memang memerah, dan cokelat yang mengenai celananya telah meresap dengan sempurna. Ketika pria itu hendak melangkah, ia cepat-cepat menghalangi pintu dengan lengannya. "Tunggu dulu."

"Apa lagi? Kau mau tanggung jawab kalau sampai aku tidak bisa punya anak?"

Emily mengerucutkan bibir. "Apakah kau gay?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status